Pemerintah Jerman membeli dua jenis obat antibodi Covid-19, yaitu Bamlanivimab dan REGN-CoV-2. Obat ini terbukti ampuh melawan Covid-19 pada Trump. Bagaimana cara kerja obat antibodi corona?
Iklan
Daftar kandidat obat Covid-19 sangat panjang. Tiap hari ada berita baru mengenai tema ini. Tapi belum ada satupun yang terbukti ampuh memerangi penyakit yang dipicu virus corona SARS-CoV-2. Termasuk obat-obatan yang digunakan saat ini, terutama yang diberikan untuk mencegah pasien Covid-19 mengalami sakit parah.
Sejak beberapa hari belakangan, diskusi mengenai dua jenis obat antibodi untuk pasien Covid-19 risiko tinggi kembali mencuat di Jerman. Yakni Bamlanivimab dari perusahaan farmasi Eli Lilly, dan REGN-CoV-2 buatan Regeneron, berupa "cocktail" dua antibodi Casirivimab dan Imdevimab.
Apakah Sudah Ada Obat Penyembuh Covid-19?
Euforia pecah saat vaksin corona pertama dinyatakan efektif hingga 95%. Namun banyak yang lupa, penyakit Covid-19 jika sudah menyerang tubuh, harus diobati agar pasien sembuh. Adakah obat ampuh buat melawan Covid-19?
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Dexamethasone Reduksi Kematian Pasien Covid-19
Sejauh ini penyakit Covid-19 hanya diobati gejalanya. Dexamethasone adalah obat keluarga streoid yang murah dan mudah diakses. Dalam uji coba terhadap 2.100 pasien Covid-19 dengan gejala berat, obat anti inflamasi ini mampu mereduksi kematian pasien hingga 30%. Pakar epidemiologi Peter Horby dari Universitas Oxford Inggris, pimpinan riset menyebut, obat murah ini bisa cegah banyak kematian.
Foto: Getty Images/M. Horwood
Favipiravir Kurangi Beban Virus Corona
Favipiravir dikembangkan oleh Fujifilm Holdings Jepang untuk melawan virus lain, dalam kasus ini virus influenza. Dalam sebuah riset disebutkan unsur aktifnya bisa mengurangi beban virus pada tubuh pasien dan mereduksi lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Obat yang di Jepang dikenal dengan merk Avigan ini, juga sudah mendapat izin edar di Rusia dengan nama Avifavir.
Foto: picture-alliance/dpa/Kimimasa Mayama
Remdesivir Tidak Disarankan oleh WHO
Remdesivir sejatinya dikembangkan untuk mengobati Ebola yang dipicu virus corona jenis lain. Obat buatan Gilead Sciences AS ini mula-mula disebut ampuh melawan Covid-19 dan di AS diajukan regulasi darurat. Tapi WHO kemudian menyatakan, tidak merekomendasikan Remdesivir, karena tidak menunjukkan keampuhan signifikan pada pasien Covid-19.
Foto: picture-alliance/Yonhap
Chloroquin Mencuat Akibat Politisasi
Chloroquin dan turunannya Hydroxychloroquin adalah obat anti malaria yang ampuh dan sudah digunakan luas sejak lama. Nama obat ini mencuat gara-gara presiden AS, Trump dan presiden Brazil, Bolsonaro memuji keampuhannya tanpa data ilmiah penunjang. Riset terbaru menyatakan obat antimalaria ini tidak ampuh melawan virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
WHO mula-mula menyarankan jangan mengkonsumsi obat antinyeri Ibuprofen dalam kasus infeksi virus corona. Namun beberapa hari kemudian WHO mencabut lagi saran ini. Pakar virologi Jerman Christian Drosten menyebut, asupan ibuprofen tidak membuat penyakit Covid-19 tambah parah. Sejauh ini sifat virus SARS-Cov-2 memang masih terus diteliti.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
Artemisia Obat Herbal Berpotensi
Tanaman Artemisia dengan unsur aktif artemisinin terbukti ampuh melawan malaria. Penemunya, ilmuwan Cina Youyou Tu dianugerahi Nobel Kedokteran 2015. Kini herbal berkhasiat ini dilirik para peneliti Jerman yang merisetnya untuk mengobati Covid-19. Namun WHO menyarankan semua pihak agar ekstra hati-hati tanggapi laporan efektifitas herbal dalam pengobatan Covid-19. (Penulis: Agus Setiawan)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Kaixing
6 foto1 | 6
Di Amerika Serikat, dua jenis obat antibodi ini telah mendapat izin penggunaan darurat untuk diberikan kepada pasien berusia 12 tahun ke atas, yang memiliki risiko mengembangkan gejala berat Covid-19. Lembaga pengawas obat-obatan AS (FDA) menyebutkan bahwa obat ini bisa menurunkan probabilitas gejala sakit berat.
Walaupun di Uni Eropa obat antibodi ini belum mendapat izin dari lembaga regulasi obat, pemerintah Jerman sudah membeli 200.000 dosis obat antibodi ini seharga 200 Euro (sekitar Rp. 3,4 juta) per dosis, untuk mengobati pasien Covid-19 yang menghadapi risiko gejala parah.
Iklan
Bagaimana cara kerja obat antibodi?
Kedua obat antibodi itu memiliki prinsip kerja yang sama. Antibodi mengikat apa yang disebut "Spike protein" pada virus SARS-CoV-2. Dengan cara itu virus corona dicegah memasuki sel manusia. Antibodi monoklonal ini direkayasa di laboratorium, dan berfungsi membuat virusnya tidak berdaya setelah kasus infeksi.
Obat buatan perusahaan farmasi AS Regeneron ini mengandung dua jenis antibodi monoklonal. Pengobatan menunjukkan pengurangan beban virus, yakni jumlah virus yang terlacak pada tubuh, dan dengan cepat menurunkan gejalanya, demikian keterangan Regeneron. Obat antibodi Regeneron diberikan kepada mantan presiden AS, Donald Trump saat dia terinfeksi corona Oktober 2020 lalu.
"Keunggulan cocktail antibodi Regeneron, probabilitasnya efektifitasnya lebih bagus, karena paling tidak ada satu antibodi yang benar-benar ampuh untuk setiap pengobatan spesifik" ujar pakar virologi Jerman Sandra Ciesek dalam podcast "Coronavirus-Update" dari stasiun penyiaran NDR.
Seperti diketahui, obat antibodi dari perusahaan farmasi Eli Lilly hanya mengandung satu jenis antibodi monoklonal.
Obat antibodi ini berfungsi seperti imunisasi pasif. "Pemberian obat antibodi kepada pasien berisiko tinggi pada stadium awal Covid-19, membantu mencegah munculnya gejala sakit yang lebih parah", kata menteri kesehatan Jerman, Jens Spahn.
Jika obat antibodi diberikan dalam waktu 10 hari setelah terinfeksi, hasilnya terbukti sangat bagus. Demikian hasil penelitian, seperti diungkapkan pimpinan FDA Stephen Hahn.
Apakah ada efek sampingnya?
Sejauh ini riset klinis terhadap pasien yang mendapat pengobatan dengan Regeneron tidak menunjukkan efek samping lebih berat daripada kelompok pembanding. Namun FDA juga mengingatkan, ada kemungkinan potensi efek samping, baik yang lazim maupun yang berat.
Efek vaksinasi pasif yang lazim antara lain, demam, meriang, sakit kepala, mual, pusing, sakit tenggorokan atau ruam pada kulit. Sementara kemungkinan reaksi berlebihan antara lain syok anaphilaktis yang dipicu obat antibodi tersebut.
FDA melaporkan, antibodi Casirivimab dan Imdevimab dari Regeneron maupun Bamlanivimab dari perusahaan farmasi Eli Lilly masih terus diteliti, dan kemungkinan belum semua risiko dikenali atau diketahui. Pada obat antibodi Eli Lilly dalam riset pada 850 kasus mencatat ada dua kasus efek samping berat, yang kemudian ditangani sesuai prosedur.
Hannah Fuchs (as/gtp)
Inilah Efek Samping Vaksin Corona
Reaksi tubuh jika divaksin menandakan kita membangun kekebalan terhadap bibit penyakitnya. Tapi kadang ada efek samping serius yang kasusnya individual. Kenali apa saja efek samping vaksin corona.
Foto: Robin Utrecht/picture alliance
Vaksin Biontech-Pfizer
Pada fase uji klinis, unsur aktif BNT162b2 dari perusahaan BioNTech dari Jerman dan Pfizer dari AS tidak menunjukkan efek samping serius. Tapi setelah mendapat izin, vaksin mRNA ini tunjukkan reaksi alergi berat pada beberapa orang, bahkan tiga mengalami gejala syok anaphylaktis. Ketiga orang itu tidak punya riwayat alergi. Karenanya pengidap alergi disarankan konsultasi sebelum divaksin.
Foto: Jack Guez/Getty Images/AFP
Vaksin Moderna
Vaksin mRNA-1273 dari perusahaan Moderna AS, pada prinsipnya sangat mirip dengan vaksin BioNTech/Pfizer. Setelah dilakukan vaksinasi, muncul laporan efek samping berupa reaksi alergis. Dan pada kasus sangat kecil, kelumpuhan sementara saraf wajah. Efek samping diduga dipicu partikel lipid nano yang menjadi transporter unsur aktifnya, yang diuraikan oleh tubuh.
Foto: Jospeh Prezioso/AFP/Getty Images
Vaksin AstraZeneca - Universitas Oxford
Inggris memberikan izin darurat penggunaan vaksin AstraZeneca yang unsur aktifnya disebut AZD 1222. Berbeda dengan dua vaksin yang pertama mendapat izin, vaksin buatan perusahaan Inggris/Swedia ini adalah vaksin vektor yang dikembangkan dari virus flu simpanse yang dilemahkan. Sejauh ini belum ada efek samping vaksin yang dilaporkan, selain reaksi normal yang khas.
Foto: Gareth Fuller/AP Photo/picture alliance
Vaksin Sputnik V
Rusia sudah izinkan vaksin Sputnik V buatan pusat riset Gamaleja di Moskow, Agustus 2020. Padahal uji klinis fase 3 dengan sampel luas belum dilakukan. Vaksin menggunakan dua unsur aktif adenovirus berbeda yang dimodifikasi. Walau kontroversial, ratusan ribu orang di Rusia, Belarus, India, Brasil, UAE dan Argentina telah divaksin Sputnik V. Tidak ada laporan resmi mengenai efek samping.
Foto: Maria Eugenia Cerutti/AFP
Vaksin Sinovac Biotech
Cina izin darurat penggunaan vaksin Sinovac sejak Juli 2020. Unsur aktif vaksin yang diberi nama CoronaVac adalah virus inaktif. Uji klinis fase 3 secara massal telah dilakukan di Indonesia, Turki dan India. Laporan resmi efek samping yang dirilis perusahaan di Beijing itu sebutkan kurang dari 5% keluhkan reaksi yang umum. Indonesia sejauh ini telah menerima 3 juta dosis vaksin Sinovac. (as/vlz)