1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Obsesi Barat Merawat Praduga Perempuan Arab yang Tertindas

19 Maret 2020

Kenapa perempuan berjilbab selalu dianggap tertindas? Praduga miring tentang nasib perempuan di dunia muslim masih kukuh di Eropa, meski ikut merendahkan pencapaian kaum perempuan muslim, tulis Claudia Mende.

Iran Hijab - Paradox
Foto: YJC

Di selatan Yordania, seorang perempuan hadir untuk sesi wawancara. Pakaiannya mencerminkan konservatisme sosial yang mengakar di masyarakat muslim: jilbab berpadu dengan pakaian panjang, tanpa make-up atau perhiasan. Namun begitu paras sang perempuan berbanding kontras dengan profesinya sebagai anggota dewan di provinsi Madaba.

“Perempuan tidak ingin dihalangi lagi,” klaimnya. Dia mengeluhkan betapa suara perempuan sulit didengar di Yordania dan bagaimana ia berjuang agar kepentingan perempuan juga diakui oleh dewan provinsi.

Asma Rashahneh, 50, hanya seorang dari puluhan perempuan Arab yang aktif memperjuangkan kesetaraan hak di tengah kungkungan budaya patriarki. Gelombang perubahan sosial ini bergerak dari Libanon ke Yaman, Yordania ke Maroko, dari Teluk hingga ke Sudan. Pandangan tentang peran perempuan dalam keluarga atau pernikahan sudah berubah. 

Perempuan muda Arab memiliki kemauan yang lebih besar untuk menentukan nasib sendiri ketimbang ibu-ibu mereka.       

Apa yang menjadi pengecualian pada generasi silam kini perlahan menjadi norma sosial. Kaum perempuan sekarang ikut berkecimpung di dunia bisnis, menafkahi keluarga seorang diri dan bekerja sebagai olahragawan, seniman, pengacara atau politisi.

Melewatkan Pencapaian Feminisme Islam

Pun di waktu senggang perempuan menemukan kebebasan baru di luar pengawasan saudara atau orangtua. Mereka menuntut haknya sendiri dan berjuang demi tafsir Al-Quran yang lebih peka terhadap isu-isu feminisme.

Kaum perempuan dianggap sebagai motor penggerak gelombang demonstrasi anti korupsi dan kemiskinan di Libanon.Foto: picture-alliance/dpa/H. Ammar

Meski demikian perubahan ini jarang diulas dalam diskurs umum di dunia barat. Sebaliknya kehidupan perempuan di dunia Islam hanya dibahas lewat isu pernikahan paksa, pembunuhan demi kehormatan atau kekerasan dalam rumah tangga. 

Industri percetakan tidak kalah giat merawat paradigma tersebut dengan menyediakan pasokan tak terbatas buku-buku seperti “Aku memilih kebebasan. Bagaimana Menyintasi Pernikahan Paksa dan Penindasan, Dan Tetap Menemukan Harapan,” yang diterbitkan oleh Adeo di Jerman.

Kebanyakan perempuan Arab lebih rentan menghadapi tunggakan sewa rumah, minimnya akses pendidikan bagi anak-anak atau hambatan pada pertumbuhan individu. Namun di mata “kesusastraan tercerahkan” Barat, perempuan Timur Tengah hanya mampu menjalani kehidupan yang bebas jika mereka memutus rantai budaya dan agama sepenuhnya.

Obsesi terhadap tragedi individual semacam itu lah yang menghalangi pemahaman menyeluruh terhadap pergulatan, aspirasi dan kontradiksi dalam kehidupan perempuan Arab. Betapapun juga, contoh ekstrim tidak mampu menceritakan realitas kehidupan mereka.

Struktur Patriarki Lintas Agama

Dan diskurs tak berakhir di media-media mengenai simbolisme jilbab hanya memperkuat praduga tersebut.
Maka paradigma seputar “perempuan Arab yang tertindas,” di mana jilbab menjadi indikasi kehidupan yang muram, menjelma menjadi prasangka buruk yang awet dan terus dirawat. 

Kini prasangka itu membatu di dalam pikiran kolektif kelas menengah barat. Gambaran perempuan berjilbab memicu asumsi mereka memainkan peran kaum tertindas, yang lemah dan harus dibantu.    

Tidak diragukan, perempuan Arab terlalu berpengalaman menghadapi diskriminasi, atau kekerasan seksual yang marak. Perilaku tersebut tentu harus dikecam. Tapi layaknya Kristen, Yahudi atau Buddha dan Hindu, Islam juga memperkuat struktur patriarki di dalam agama.

Namun paradigma seputar “perempuan Arab tertindas” mengabaikan faktor yang sangat krusial. Pertama istilah itu tidak merefleksikan keragaman relasi antargender di kawasan. Di dunia Arab, seperti juga di tempat lain, masih banyak keluarga normal dengan orangtua yang mendukung putrinya (atau putra) untuk mengejar mimpi sendiri.

Tapi untuk setiap Pasha yang gemar merendahkan wanita, ada ayah atau suami yang menyambut kesetaraan hak dalam kehidupan rumah tangga. Dan mereka yang berjuang demi hak perempuan di masyarakat masing-masing pantas mendapat pengakuan atas komitmen tersebut.

Pandangan ini juga ikut dijadikan prasangka karena ia memudahkan asumsi hitam putih antara perempuan bebas di Barat dan korban ketimpangan gender di negara-negara Arab. 

Masyarakat muslim diasumsikan berdiri di atas struktur patriarki, sebaliknya masyarakat barat merupakan contoh modernitas progresif, kata pakar Antropologi Swiss Annemarie Sancar. Tidak satupun asumsi tersebut benar.

Situasi Perempuan di Eropa

Karena di negara barat, perempuan juga mengalami diskriminasi. Fenomena #MeToo, kesenjangan upah, kekerasan dalam rumah tangga adalah beberapa contoh saja. Kita masih jauh dari kesetaraan sempurna.
Mereka yang menolak mengakui cela pada kebudayaan sendiri, tidak akan mampu memahami “kerumitan dan paradoks” pada kehidupan perempuan di negara lain, begitu kata pakar Psikologi dan gender, Birgit Rommelspacher, dalam esainya berjudul “Feminisme, Sekularisme dan Islam.”

Di dalamnya dia mengritik sikap dominan masyarakat barat sering didasarkan pada anggapan, bahwa perempuan di negara lain cendrung “terbelakang.” Dan betapa nasib perempuan di negara lain menjadi “batasan kontras” atas “kemajuan sendiri.”

Warisan Revolusi: Gelombang protes Musim Semi Arab melahirkan generasi perempuan yang aktif memperjuangkan hak sendiri. Foto: kelompok perempuan muda Kairo mengadakan kampanye seni grafiti melawan kekerasan seksual.Foto: DW/W. AlBadry

Prasangka semacam ini tidak hanya mengalihkan perhatian dari isu relasi antargender di Eropa, tetapi juga ikut memadamkan fakta bahwa perempuan dan laki-laki di Timur Tengah dan Afrika Utara bergulat melawan kemiskinan, penindasan politik dan minimnya perspektif atas masa depan sendiri. Alhasil ruang gerak mereka dalam lingkup pribadi menyusut drastis. 

Isu peran gender di dunia muslim tidak bisa dipisahkan dari penindasan politik dan tanggungjawab negara-negara barat atas kondisi tersebut, tegas pakar Antropologi Sosial asal Mesir, Dina Makram-Ebeid, di American University di Kairo.

Sebaliknya lingkup tanggungjawab barat meliputi dukungan politik langsung terhadap kediktaturan dan juga, bahwa negara industri berbekal sumber daya yang kuat, mereduksi kemampuan kawasan lain di dunia untuk tumbuh dan berkembang. 

Gejala perubahan iklim di Asia dan Afrika misalnya menyisakan kerusakan yang lebih besar ketimbang di Eropa.

“Kita di selatan membayar ongkos tertinggi untuk perubahan iklim,” kata Dina Makram-Ebeid. “Tidak kah jelas betapa suhu di Mesir kian hangat dan semakin tidak ramah karena negeri di utara menggunakan sebagian besar sumber daya planet Bumi?”

Praduga tentang “perempuan Arab tertindas” memiliki tradisi panjang dalam sejarah Eropa dan sudah berulangkali digunakan untuk membenarkan praktik kolonialisme. Tapi kenapa pola pikir ini justru menguat, ketika perempuan muslim bergeliat menjemput kehidupan baru? Meski rapuh, perjuangan mereka bertahan di tengah ancaman kaum Islamis dan penindasan oleh otoritarianisme.

Semakin redupnya dominasi budaya barat di dunia, semakin giat pula upaya mereka membumikan konsep “barbarisme Timur Tengah.” Ketika pengaruh Eropa kian goyah, maka semakin sering pula supremasi budaya dirapal dalam perdebatan seputar pengungsi.

Kesangsian yang mengakar di masyarakat barat ketika terjebak di antara globalisasi, krisis pengungsi dan kekhawatiran ekonomi menghasilkan hasrat mendalam untuk mendapat pengakuan. (rzn/vlz)

© Qantara.de 2020

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait