OKI Akan Kirim Tim ke Myanmar Untuk Pelajari Kasus Rohingya
20 Januari 2017
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) berencana mengirim delegasi tingkat tinggi ke negara bagian Rakhine, Myanmar untuk memantau nasib minoritas Rohingya.
Iklan
Pertemuan khusus para menteri luar negeri OKI di Malaysia hari Kamis (19/1) mengeluarkan sebuah resolusi menyangkut krisis Rohingya di Myanmar. Resolusi itu mendesak Myanmar untuk menerima kunjungan delegasi tingkat tinggi OKI yang akan berkunjung ke negara bagian Rakhine.
Resolusi itu juga meminta Myanmar agar menegakkan hukum, berupaya mencari solusi berkelanjutan dan memungkinkan kembalinya para pengungsi Rohingya dengan aman dan akses "tanpa hambatan serta tanpa syarat" bagi bantuan kemanusiaan ke daerah krisis.
Aktivis Rohingya mengatakan, ratusan warga sipil tewas sejak Oktober tahun lalu, meskipun angka-angka ini tidak bisa diverifikasi karena pemerintah Myanmar membatasi akses pekerja bantuan kemanusiaan dan wartawan. Namun gambar-gambar satelit terbaru menunjukkan ribuan rumah dibakar.
Militer Myanmar melancarkan operasi sejak bulan Oktober setelah sembilan polisi tewas dalam sebuah serangan. Aparat keamanan Myanmar dituduh telah melakukan pembunuhan, perkosaan dan pembakaran rumah-rumah yang mengakibatkan sekitar 65.000 orang mengungsi dan melarikan diri melewati perbatasan ke Bangladesh dalam tiga bulan terakhir.
Pemerintah dan militer Myanmar menyatakan, operasi militer dilakukan untuk membersihkan kawasan itu dari kelompok-kelompok bersenjata.
Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman mengatakan, suatu pemantauan independen tentang situasi setempat akan membantu pemerintah Myanmar mengklarifikasi pelanggaran hak asasi yang luas luas terhadap etnis Rohingya.
"Dalam rangka untuk memastikan fakta itu, mengapa tidak menerima tim independen yang akan menilai, apakah apa yang dituduhkan benar-benar terjadi atau hanya sekedar propaganda", kata Anifah kepada wartawan pada akhir pertemuan menteri luar negeri OKI hari Kamis (19/1).
Sebelumnya, Malaysia menyatakan krisis Rohingya bukan lagi masalah intern Myanmar, karena telah memicu eksodus pengungsi yang bisa mengguncang situasi di kawasan. Selain Malaysia, Indonesia juga menawarkan diri untuk menjadi fasilitator dalam upaya menemukan solusi bagi krisis Rohingya.
Dalam pertemuan para menlu OKI, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyampaikan pidato dan memperingatkan, kekerasan harus diakhiri, jika tidak kelompok militan termasuk ISIS bisa menyusup dan meradikalisasi warga Rohingya.
Najib mendesak Myanmar untuk menghentikan semua diskriminasi dan serangan, dan mendesak pemerintah negara itu agar mengijinkan bantuan luar negeri dan kembalinya para pengungsi.
"Ini harus terjadi sekarang… Pemerintah Myanmar membantah terjadinya 'genosida' dan 'pembersihan etnis', tetapi apa pun terminologinya, warga Rohingya tidak bisa menunggu," kata Najib Razak.
Najib mengatakan, Malaysia akan menyumbangkan lagi 10 juta ringgit (sekitar US$ 2,25 juta) untuk bantuan kemanusiaan dan proyek-proyek sosial di Rakhine.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan di sela-sela pertemuan, Jakarta "lebih dari siap untuk memainkan peran menjembatani" dan membantu Myanmar serta etnis Rohingya.
Marsudi mengatakan, dia akan terbang ke Yangon hari Jumat (20/1) untuk bertemu dengan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan berencana melakukan perjalanan ke Rakhine pada hari Sabtu.
Sekretaris Jenderal OKI Yousef Al Othaimeen mengatakan, Myanmar harus menghentikan "diskriminasi yang sedang berlangsung terhadap Rohingya."
Sekelompok kecil warga Rohingya berkumpul di gedung tempat para menteri luar negeri OKI menggelar pertemuan dan menuntut agar dilakukan penyelidikan independen terhadap nasib mereka.
Rohingya: Genosida di Pelupuk Mata
Minoritas muslim di Myanmar hidup di bawah kezaliman mayoritas. Mereka terusir dari rumah sendiri, tidak memiliki kewarganegaraan dan selamanya dinistakan. Inilah potret kelompok etnis paling tertindas di dunia saat ini.
Foto: AP
Pelarian Kaum Terbuang
Sering disebut sebagai minoritas paling teraniaya di dunia, eksistensi Rohingya di Myanmar ibarat bertepuk sebelah tangan. Mereka tidak diakui sebagai warga negara, tidak punya hak sipil dan terjajah di tanah sendiri. Hingga kini ratusan ribu kaum Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Warisan Kolonialisme
Konflik antara etnis di Myanmar adalah warisan era kolonialisme. Sejak Inggris menduduki kawasan Arakan alias Rakhine 1825, ratusan ribu kaum muslim Bangali diangkut ke Rakhine untuk bekerja. Inggris juga membangun sistem Zamindari yang mengizinkan tuan tanah asal Bangladesh menduduki lahan-lahan milik masyarakat pribumi.
Foto: Reuters
"Buruh Ilegal"
Membanjirnya buruh migran asal Chittagong mendorong pertumbuhan perekonomian kolonial di Rakhine. Namun masyarakat pribumi kian tersisih. Sejahrawan mencatat, saat itu mayoritas Buddha di Rakhine meyakini lahan dan lapangan kerja buat mereka dirampas oleh "kaum pendatang ilegal."
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Separatisme Kelompok Islam
Pada dekade 1940an, sebagian warga muslim Rohingya mendeklarasikan kesetiaan pada Pakistan yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah. Mereka bahkan mengundang Islamabad untuk menduduki Rakhine. Ketika ditolak, kelompok tersebut melancarkan gerakan jihad yang bertujuan membentuk negara Islam di utara Rakhine.
Foto: Getty Images
Pembantaian di Arakan
Ketegangan etnis di Rakhine meruncing setelah Inggris mempersenjatai kelompok muslim Rohingya untuk melawan pasukan Jepang selama Perang Dunia II. Celakanya pasukan yang diberi nama Chittagonian V Force itu lebih banyak meneror warga pribumi beragama Buddha yang cendrung mendukung Jepang. Puncaknya terjadi pada 1942 ketika warga Buddha terlibat saling bantai dengan gerilayawan Rohingya.
Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
Tanpa Pengakuan
Setelah kemerdekaan, Myanmar tahun 1948 menetapkan Undang-Undang kewarganegaraan yang tidak mencantumkan Rohingya sebagai salah satu etnis yang diakui negara. Buntutnya etnis minoritas itu tidak mendapat kewarganegaraan dan semakin rentan terhadap diskriminasi.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Petaka di Negeri Jiran
Situasi di negara bagian Rakhine kian runyam menyusul Perang Kemerdekaan Bangladesh 1971 yang mendorong eksodus pengungsi ke Myanmar. Tahun 1975 Duta Besar Bangaldesh di Myanmar, Khwaja Mohammed Kaiser, mengakui ada sekitar 500.000 pengungsi Bangladesh yang melarikan diri ke Rakhine.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Arus Balik
Negosiasi pemulangan pengungsi Bangladesh berlangsung alot antara dua pemerintah. Bangladesh ironisnya menolak mengakui sekitar 200.000 pengungsi yang telah dipulangkan oleh Myanmar. Setelah melewati perundingan panjang, Myanmar setuju menampung para pengungsi tersebut. Proses pemulangan pengungsi pada dekade 1990an yang berada di bawah pengawasan PBB itu berlangsung brutal.
Foto: DW/C. Kapoor
Genosida di Pelupuk Mata
Proses rekonsiliasi antara etnis Rohingya dan mayoritas Buddha di Rakhine berakhir pahit menyusul kerusuhan 2012. Dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Rakhine oleh tiga pria muslim, mayoritas Buddha menyisir kawasan muslim dan membantai 200 penduduk Rohingya. Lebih dari 100.000 ribu terpaksa mengungsi dan kebencian terhadap etnis Rohingya semakin membara di Myanmar.
Foto: picture-alliance/dpa
Bedil Menyalak
Jurang antara mayoritas di Myanmar dengan minoritas muslim melebar seiring perang kemerdekaan yang dilancarkan kaum radikal Islam. Berbagai kelompok, antara lain Rohingya Solidarity Organisation (RSO), mengimpikan negara Islam tanpa kaum Buddha Myanmar. November 2016 silam sekitar 69 gerilayawan separatis Rohingya dan 17 aparat keamanan Myanmar tewas dalam aksi baku tembak di utara Rakhine