1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Opini: Status Khusus Hong Kong Hanya Ada di Atas Kertas

17 Juni 2019

Upaya pemerintah pusat di Beijing membatasi demokrasi di Hong Kong disambut lantang dengan aksi protes massal. Cina ingin meninggalkan prinsip "satu negara, dua sistem". Opini editor DW Dang Yuan.

Hongkong Proteste gegen Auslieferungsgesetz
Foto: imago images / ZUMA Press

Para pengunjuk rasa yang marah tidak hanya berbaris menentang RUU yang diusulkan, tetapi juga pengambilalihan Hong Kong oleh pemerintahan di Beijing. Aksi mereka adalah perjuangan demi mempertahankan identitas Hong Kong.

Sebagai bekas jajahan Inggris, konstitusi Hong Kong menjamin hak-hak sipil dan kebebasan politik seperti yang berlaku di negara-negara demokrasi Barat. Kebebasan ini mencakup kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Semua hal yang ditindas di Cina daratan.

Pemimpin Cina Deng Xiaoping tahun 1987 memperkenalkan prinsip dasar pengembalian Hong Kong oleh Inggris kepada Cina pada tahun 1997: "Satu negara, dua sistem." Pemerintahan di Beijing akan menangani kebijakan luar negeri dan pertahanan, tetapi Hong Kong akan membentuk pemerintahannya sendiri dalam status kawasan otonomi khusus.

Aksi protes di Hong kong masih berlanjut, 17 Juni 2019Foto: Reuters/T. Peter

Status Istimewa?

Kondisi Hong Kong terus memang benar-benar berbeda dari Cina daratan. Di sini ada sistem politik dengan pemisahan legislatif dan yudikatif. Hong Kong punya mata uangnya sendiri:  Dolar Hong Kong. Bahkan sistem berkendara juga berbeda dengan Cina daratan. Hong Kong mengikuti Inggris dengan lalu lintas di lajur kiri.

Namun pemerintah Cina sudah lama berusaha mempreteli status khusus Hong Kong. Sejak lama, situasi di lapangan sudah jauh berbeda dari kesepakatan di atas kertas. RUU ekstradisi memicu aksi protes massal ini hanyalah puncak dari kemarahan warga Hong Kong atas campur tangan Beijing.

Akhir 2015 beberapa penjual buku dari Causeway Bay Books, yang menjual semua buku non-fiksi yang dilarang di Cina daratan, menghilang. Salah satunya Lee Bo, yang menghilang tanpa jejak di Hong Kong, namun setelah beberapa bulan diumumkan ada dalam tahanan Cina. Menurut mengatakan, dia pergi secara sukarela ke Beijing. Tetapi Lee tidak membawa dokumen perjalanan, dan otoritas perbatasan Hong Kong tidak memiliki catatan resmi tentang kepergiannya.

Miliarder dan pengusaha Xiao Jianhua menurut laporan laporan Financial Times tahun 2017 didekati di depan apartemen mewahnya di Hong Kong oleh "lima atau enam agen keamanan publik berpakaian Cina yang kemudian membawa dia dan dua pengawalnya ke Cina daratan." Keberadaan Xiao, dan tuduhan apa yang diajukan terhadapnya, sampai sekarang masih belum diketahui.

Jika RUU ekstradisi disahkan, aktivis anti-Cina dan para pengeritik rezim yang berlinduing di Hong Kong bisa ditangkap. Bahkan para aktivis bisa ditangkap kalau mereka tinggal di negara lain dan hanya melakukan perjalanan transit di Hong Kong. Ini akan membuat kondisi Hong Kong menjadi sama dengan semua kota lain mana pun di Cina daratan.

Mempertahankan demokrasi

Menurut konstitusinya, Hong Kong mendapat jaminan kebebasan politik selama 50 tahun setelah penyerahan dari Inggris pada tahun 1997. Namun hanya 22 tahun kemudian, kebebasan dan demokrasi di Hong Kong sudah tertatih-tatih.

Pemilihan langsung dan demokratis anggota parlemen dan kepala pemerintahan Hong Kong, hal yang secara tegas diatur dalam konstitusi – hingga kini tidak pernah terjadi.

Kepala eksekutif Hong Kong sekarang dipilih oleh sebuah komite yang dikuasasi oleh pejabat pro-Cina. Parlemen kota saat ini terdiri dari 70 orang, hanya 35 orang dipilih secara langsung, sisanya ditentukan sendiri oleh Beijing. Di parlemen Hong Kong saat ini, kelompok-kelompok pro-demokrasi hanya menguasai sekitar seperempat kursi.

Di media Cina daratan yang disensor ketat, tidak ada satu pun berita tentang demonstrasi di Hong Kong. Di sana pemerintah dan publik masih percaya, model "satu negara, dua sistem" ternyata berfungsi baik. Padahal itu hanya  ada di atas kertas. (hp/ts)