Opini: Beijing 2022, Olimpiade Musim Dingin yang Meragukan
Dagmar Engel
Opini
3 Februari 2022
Sedikit pengaruh politik, hampir tak ada kebebasan, dan sama sekali tak ada salju — adalah beberapa kritik terhadap Olimpiade Beijing. Jurnalis DW Dagmar Engel bertanya apakah perlombaan musim dingin memiliki masa depan.
Iklan
Orang bertanya-tanya apakah Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach merasa kasihan pada dirinya sendiri — ketika harus berpose bersama Presiden Cina Xi Jinping yang menghujaninya dengan pujian.
Xi Jinping bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia terkait penindasan, penahanan, dan penyiksaan terhadap ratusan ribu orang Uighur; menempatkan demokrasi Hong Kong di tempat asing; dan memblokir akses rakyatnya ke pers dan internet yang bebas untuk memastikan mereka tidak pernah mempelajari kebenaran.
Namun, tidak ada yang bisa dilakukan Thomas Bach selain mengulangi mantranya bahwa IOC netral secara politik. Bahwa IOC tidak memiliki mandat untuk mengkritik situasi hak asasi manusia di luar ajang Olimpiade. Bisakah argumen seperti itu memberinya kenyamanan ketika dia harus bercermin setiap malam di hotel mewahnya di Beijing?
Xi Jinping, di sisi lain, tidak berusaha untuk mengekang antusiasmenya dalam hal menarik hubungan antara olahraga dan politik. Seperti biasa, Olimpiade adalah kesempatan bagus untuk menggelar pertunjukan propaganda. Dalam menghadapi kritik internasional yang meningkat, tampaknya Olimpiade adalah alat "kekuatan lunak" terakhir Xi. Dengan demikian, dia tidak mengindahkan besarnya biaya atau dampak lingkungan, dengan menciptakan wilayah baru bagi "olahraga musim dingin" di mana sebelumnya tidak pernah digelar pertandingan dan juga tidak akan ada setelahnya — karena Cina bukanlah negara olahraga musim dingin.
Iklan
Jutaan penggemar baru?
Dalam upayanya untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2022, Beijing membual bahwa 300 juta orang Cina akan menjadi penggemar olahraga musim dingin pada saat penyelenggaraan dimulai.
Pada pertengahan Januari lalu, Xi dengan bangga mengumumkan bahwa segalanya berjalan lebih baik dari yang direncanakan dan Cina sekarang memiliki 349 juta penggemar olahraga musim dingin. Jika angka-angka itu benar adanya – yang mana tidak mungkin untuk memeriksa fakta seperti ini di Cina – itu akan menjadi keuntungan bagi industri ski internasional yang lesu, yang saat ini menderita akibat perubahan iklim.
Namun, akan terlalu picik untuk berpikir bahwa bantuan finansial yang mungkin diberikan oleh Olimpiade Musim Dingin kepada industri ski global akan menjadi alasan untuk memberikan kesempatan ajang olahraga internasional itu berlangsung di Beijing. Bukan juga karena sekitar $8,5 miliar untuk pundi-pundi IOC yang akhirnya menjadikan Beijing tuan rumah Olimpiade 2022. Dana sponsor dan hak siar TV bisa didapatkan di negara lain — negara demokratis yang menghormati hak asasi manusia.
Masalahnya, tidak ada negara lain yang mengajukan tawaran sebesar itu untuk menjadi tuan rumah ajang ini. Dari sembilan negara yang awalnya mencalonkan diri untuk menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin tahun ini, tujuh mengundurkan diri — ketujuhnya adalah negara olahraga musim dingin yang demokratis. Setelah itu, hanya dua yang tersisa yakni Almaty, Kazakhstan, dan Beijing, Cina, untuk bersaing.
Uighur - Diskriminasi di Cina dan Terdesak di Turki
Akibat banyaknya tekanan dari Cina sebagian warga Uighur pindah ke Turki. Awalnya itu tampak seperti solusi bagus, tetapi kini mereka terdesak karena tidak mendapat izin tinggal dan tidak dapat memperbarui paspor Cina.
Foto: Reuters/M. Sezer
Kritik terhadap Cina
Dunia internasional telah berkali-kali mengeritik Cina karena mendirikan sejumlah fasilitas yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tempat penahanan, di mana lebih sejuta warga Uighur dan warga muslim lainnya ditempatkan. Beijing menyatakan, langkah itu harus diambil untuk mengatasi ancaman dari militan Islam. Foto: aksi protes terhadap Cina di halaman mesjid Fatih di Istanbul.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan ekonomi
Pada foto nampak seorang perempuan menikmati santapan yang dihidangkan restoran Uighur di Istanbul, Turki. Pemilik restoran, Mohammed Siddiq mengatakan, restorannya mengalami kesulitan karena warga Uighur biasanya menyantap makanan di rumah sendiri, dan warga Turki tidak tertarik dengan masakan Uighur.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Suara perempuan Uighur
Gulbhar Jelilova adalah aktivis HAM dari Kazakhstan, dari etnis Uighur. Ia sempat ditahan selama 15 bulan di tempat penahanan yang disebut Cina sebagai "pusat pelatihan kejuruan." Ia mengatakan, setelah mendapat kebebasan ia mendedikasikan diri untuk menjadi suara perempuan Uighur yang menderita.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mencari nafkah di Turki
Dua pria Uighur tampak bekerja di toko halal di distrik Zeytinburnu, di mana sebagian besar warga Turki di pengasingan bekerja. Ismail Cengiz, sekjen dan pendiri East Turkestan National Center yang berbasis di Istanbul mengatakan, sekitar 35.000 warga Uighur tinggal di Turki, yang sejak 1960 menjadi "tempat berlabuh" yang aman bagi mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Merindukan kampung halaman
Gulgine Idris, bekerja sebagai ahli rpijat efleksi di Istanbul. Ketika masih di Xinjiang, Cina, ia bekerja sebagai ahli ginekolog. Kini di tempat prakteknya ia mengobati pasien perempuan dengan pengetahuan obat-obatan dari Timur. Turki adalah negara muslim yang teratur menyatakan kekhawatiran tentang situasi di Xinjiang. Bahasa yang digunakan suku Uighur berasal usul sama seperti bahasa Turki.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan bertambah sejak beberapa tahun lalu
Sexit Tumturk, ketua organisasi HAM National Assembly of East Turkestan, katakan, warga Uighur tidak hadapi masalah di Turki hingga 3 atau 4 tahun lalu. Tapi Turki pererat hubungan dengan Cina, dan khawatir soal keamanan. Pandangan terhadap Uighur juga berubah setelah sebagian ikut perang lawan Presiden Suriah Bashar al Assad, yang berhubungan erat dengan Cina.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Kehilangan orang tua
Anak laki-laki Uighur yang kehilangan setidaknya salah satu orang tua mengangkat tangan mereka saat ditanya dalam pelajaran agama di madrasah di Kayseri. Sekolah itu menampung 34 anak. Kayseri telah menerima warga Uighur sejak 1960-an, dan jadi tempat populasi kedua terbesar Uighur di Turki. Sejak keikutsertaan warga Uighur dalam perang lawan Assad, Cina memperkeras tekanan terhadap mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mengharapkan perhatian lebih besar
Sebagian warga Uighur di Turki berharap pemerintah Turki lebih perhatikan kesulitan mereka, dan memberikan izin bekerja, juga sokongan dari sistem asuransi kesehatan. Foto: seorang anak perempuan menulis: "Kami, anak Turkestan, mencintai kampung halaman kami" dengan bahasa Uighur, di sebuah TK di Zeytinburnu. Warga Uighur di pengasingan menyebut kota Xinjiang sebagai Turkestan Timur.
Foto: Reuters/M. Sezer
Situasi terjepit
Warga Uighur juga tidak bisa memperbarui paspor mereka di kedutaan Cina di Turki. Jika kadaluarsa mereka hanya akan mendapat dokumen yang mengizinkan mereka kembali ke Cina, kata Munevver Ozuygur, kepala East Turkestan Nuzugum Culture and Family Foundation. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp)
Foto: Reuters/M. Sezer
9 foto1 | 9
Apakah kita membutuhkan Olimpiade Musim Dingin?
Jika kita ingin menjaga agar kritik terhadap Beijing tidak menjadi pembicaraan ringan yang begitu dibesar-besarkan, kita harus bertanya pada diri sendiri beberapa pertanyaan mendasar.
Apakah kita — sebagai bangsa, penggemar olahraga musim dingin, dan sebagai peserta aktif — masih menginginkan Olimpiade Musim Dingin? Apakah kita masih percaya pada ide Olimpiade? Dalam gagasan kompetisi atletik yang damai, yang sederajat, tanpa diskriminasi? Juga, tidak bisakah pertandingan diselenggarakan dalam istilah yang tidak terlalu bombastis — misalnya, dengan menggunakan infrastruktur dan tempat olahraga musim dingin yang ada, daripada merusak alam untuk membangun fasilitas yang baru?
Apakah IOC perlu dirombak total?
Jika kita menjawab ya untuk semua pertanyaan ini, maka Milan dan Cortina d'Ampezzo memiliki kesempatan untuk membuat segalanya lebih baik dalam waktu empat tahun. Kemudian, kita bisa merayakan pencapaian atlet musim dingin dan mengkritik Cina pada saat yang sama.
Dan itu hanya akan menyisakan satu pertanyaan terakhir: di mana Peng Shuai? (ha/yf)
Fenomena Hilangnya Orang Terkenal di Cina Selama Bertahun-tahun
Setelah membuat tuduhan penyerangan seksual terhadap mantan Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli, petenis Peng Shuai tidak terlihat selama dua minggu. Berikut beberapa tokoh Cina lainnya yang menghilang secara misterius.
Foto: Andy Brownbill/AP Photo/picture alliance
Peng Shuai
Pada 2 November 2021, Peng Shuai membagikan postingan di platform media sosial Weibo, menuduh mantan Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli, telah melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Setelah mengunggah hal tersebut, dia tidak terlihat selama dua minggu. Shuai akhirnya muncul kembali di Beijing dan mengadakan panggilan video dengan Presiden IOC Thomas Bach.
Foto: Bai Xue/Xinhua/picture alliance
Ren Zhiqiang
Pada Februari 2020, Ren Zhiqiang, mantan taipan real estat dan pengkritik Presiden Xi Jinping, menulis esai yang mengkritik otoritas Cina atas kegagalan mereka menanggapi pandemi COVID-19 dan menyebut Xi sebagai "badut." Setelah postingan itu, ia menghilang dari pandangan publik dan pada akhir tahun 2020 dijatuhi hukuman 18 tahun penjara karena kasus korupsi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Color China Photo
Chen Qiushi
Pada awal tahun 2020, jurnalis Chen Qiushi pergi ke Wuhan, pusat pandemi COVID-19, dan membuat video tentang apa yang terjadi di kota tersebut. Pada Februari 2020, ia dibawa pergi oleh pihak berwenang dan muncul kembali 600 hari kemudian. "Selama satu tahun delapan bulan terakhir, saya telah mengalami banyak hal. Ada yang bisa dibicarakan, ada yang tidak," ujarnya.
Foto: Privat
Lu Guang
Pada akhir tahun 2018, Lu Guang, seorang fotografer yang berbasis di AS, dibawa pergi oleh pejabat keamanan negara saat bepergian di provinsi Xinjiang barat Cina, pusat tindakan keras Beijing terhadap Muslim Uighur. Penangkapan Lu menarik perhatian internasional dan kecaman luas. Pada September 2019, istri Lu mencuitkan bahwa suaminya telah dibebaskan beberapa bulan sebelumnya dan aman di rumah.
Foto: Xu Xiaoli
Meng Hongwei
Pada Oktober 2018, mantan Presiden Interpol Cina, Meng Hongwei, menghilang di tengah masa jabatan empat tahunnya saat dalam perjalanan ke Cina. Belakangan diketahui bahwa dia ditahan, dituduh melakukan suap, dan kejahatan lainnya. Interpol kemudian mengumumkan bahwa Meng telah mengundurkan diri dari jabatannya. Dia kemudian dijatuhi hukuman lebih dari 13 tahun penjara.
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Ai Weiwei
Ai Weiwei, seniman dan aktivis terkenal di Cina. Dia bahkan membantu merancang stadion Sarang Burung Olimpiade Beijing 2008 sebelum berselisih dengan pihak berwenang Cina. Pada tahun 2011, Ai ditangkap di bandara Beijing dan menghabiskan 81 hari dalam tahanan tanpa dakwaan. Setelah diizinkan meninggalkan Cina pada 2015, ia tinggal di Jerman dan Inggris. Namun, sejak 2021 dia menetap di Portugal.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Sommer
Jack Ma
Jack Ma, pendiri perusahaan Alibaba, sempat tidak diketahui keberadaannya setelah mengkritik regulator Cina dalam pidato pada Oktober 2020. Meskipun ada desas-desus bahwa Ma ditahan, teman-temannya mengatakan itu tidak benar. Dua bulan kemudian Ma muncul kembali dalam sebuah pesan video, tetapi tidak menyebutkan hilangnya dia dari sorotan publik.
Foto: Blondet Eliot/ABACA/picture alliance
Zhao Wei
Zhao Wei tidak terlihat di depan umum sejak Agustus 2021. Beijing telah memastikan bahwa dia "terhapus" dari sejarah, saat film dan acara TV-nya tak lagi muncul di platform streaming online tanpa penjelasan. Namanya juga telah dihapus dari kredit film dan program TV. Meskipun Wei dilaporkan terlihat di Cina timur pada September, keberadaan pastinya masih belum jelas. (rs/ha)