Opini: UU Kewarganegaraan Baru India Melanggar Konstitusi
Debarati Guha
12 Desember 2019
India mengesahkan UU Kewarganegaraan yang mengecualikan umat muslim dari jalur cepat pemberian suaka politik. Produk hukum yang diskriminatif ini akan mengubah wajah inklusif India, tulis Direktur Asia DW, Debarati Guha
Iklan
Doktrin keterbukaan pada sistem kewarganegaraan India sejak awal sudah mengakar kuat pada konstitusi negeri yang menitikberatkan pada prinsip kesetaraan, terlepas dari jenis kelamin, kasta, agama, kelas sosial, etnis atau bahasa.
Tapi Amandemen Undang-undang Kewarganegaraan (CAB) yang baru disahkan justru berlaku sebaliknya. Produk hukum itu melanggar setiap nilai fundamental di dalam konstitusi dan membantu menyebarkan sentimen "Hindutva" atau Nasionalisme Hindu, dengan meletakkan agama sebagai kunci untuk mendapat kewarganegaraan.
Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi ini juga melanggar pasal-pasal Undang-undang Dasar yang menjamin kesetaraan hak dan kesetaraan individu di depan hukum, serta perlakuan non-diskriminatif oleh negara.
Legislasi teranyar yang mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan 1955 itu ikut pula meruntuhkan visi inklusif yang memandu India dalam pergulatannya merebut kebebasan dari pemerintah kolonial Inggris. UU terbaru ini mempercepat proses pengakuan hak suaka bagi pengungsi dari Bangladesh, Afghanistan dan Pakistan, hanya jika mereka bukan beragama Islam.
Nantinya kaum Sikh, Buddha, Jain, Parsi, Kristen dan Hindu yang menghadapi persekusi di negeri sendiri bisa meminta perlindungan ke India dengan lebih mudah. Namun hal serupa tidak berlaku bagi muslim, bahkan untuk warga etnis Rohingya yang dipersekusi di Myanmar atau Ahmadiyah yang dikucilkan di Pakistan.
Jadi rasionalisasi seperti apa yang membenarkan pengecualian tersebut? Apakah muslim hanya separuh manusia atau tidak menghadapi brutalitas di negara-negara tersebut?
Seseorang bisa mengatakan ini adalah proses legislasi pertama yang berhasil mengecualikan muslim dari kemungkinan mendapat amnesti dan kewarganegaraan India, tanpa alasan lain kecuali agama.
Usai memenangkan Pemilihan Umum terakhir, kebijakan Perdana Menteri Narendra Modi dan partainya, Bharatiya Janata Party (BJP) memperjelas iktikad mereka mengabaikan minoritas muslim. Bahkan Mahkamah Agung India baru-baru ini menyerahkan situs bersejarah bekas lokasi Masjid Babri dari abad ke16 untuk dijadikan kuil bagi Dewa Ram. Masjid tersebut dihancurkan oleh massa Hindu pada tahun 1992 karena diyakini dibangun di atas kuil purba.
Lembaga Arkeologi India tidak bisa memastikan adanya peninggalan kuil Hindu di atas lokasi Masjid Babri. Meski demikian pengadilan tertinggi di India menyerahkan lahan itu kepada "saudara tua" dan memerintahkan "saudara kecil" yang dirundung agar bermain di tempat lain.
Pemerintah juga mewajibkan semua warga mendaftarkan diri pada Pusat Pencatatan Kewarganegaraan Nasional (NRC), di mana mereka wajib melaporkan agama yang dianut. Langkah itu dikhawatirkan akan semakin memarjinalkan minoritas muslim.
Derita Warga Kashmir Akibat Konflik Politik India-Pakistan
India dan Pakistan terus berseteru karena Kashmir, wilayah bergejolak yang telah dilanda pemberontakan bersenjata selama hampir tiga dekade. Banyak warga Kashmir yang sudah muak dengan Islamabad dan New Delhi.
Foto: Getty Images/AFP/T. Mustafa
Bahaya yang belum pernah ada sebelumnya?
Pada tanggal 27 Februari 2019, militer Pakistan mengatakan bahwa mereka telah menembak jatuh dua jet tempur India. Seorang juru bicara militer Pakistan mengatakan jet itu ditembak jatuh setelah mereka memasuki wilayah udara Pakistan. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, di mana dua negara, yang memiliki senjata nuklir melakukan serangan udara terhadap satu sama lain.
Foto: Reuters/D. Ismail
India menjatuhkan bom di Pakistan
Militer Pakistan merilis gambar ini untuk menunjukkan bahwa pesawat tempur India menyerang wilayah Pakistan untuk pertama kalinya sejak kedua negara terlibat perang tahun 1971. India mengatakan serangan udara itu sebagai tanggapan terhadap serangan bom bunuh diri baru-baru ini terhadap pasukan India yang berbasis di Jammu dan Kashmir.
Foto: AFP/ISPR
Militer bukan solusi
Warga sipil India percaya bahwa pemerintah India tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawab dengan menuduh Islamabad menciptakan kerusuhan di lembah Kashmir. Sejumlah organisasi HAM menuntut agar pemerintahan Narendra Modi mengurangi jumlah pasukan di Kashmir dan membiarkan rakyat menentukan nasib mereka.
Foto: Getty Images/AFP/T. Mustafa
Kekerasan tiada akhir
Pada 14 Februari 2019, setidaknya 41 polisi paramiliter India tewas dalam serangan bom bunuh diri di wilayah Kashmir yang dikuasai India. Kelompok militan yang berbasis di Pakistan, Jaish-e-Mohammad, mengaku bertanggung jawab. Serangan itu meningkatkan ketegangan dan memicu kekhawatiran konfrontasi bersenjata antara dua negara yang memiliki kekuatan senjata nuklir.
Foto: IANS
Konflik yang pahit
Sejak tahun 1989, gerilyawan Muslim telah memerangi pasukan India di bagian Kashmir yang dikelola India. Wilayah ini berpenduduk 2 juta orang, dan sekitar 70 persen di antaranya adalah Muslim. Dua dari tiga perang antara India dan Pakistan sejak kemerdekaan tahun 1947 adalah karena sengketa wilayah Kashmir.
India menumpas pemberontakan militan
Pada Oktober 2016, militer India melancarkan serangan terhadap pemberontak bersenjata di Kashmir, yang mengepung sedikitnya 20 desa di distrik Shopian. New Delhi menuduh Islamabad mendukung militan, yang melintasi "Line of Control" Pakistan-India dan menyerang pasukan paramiliter India.
Foto: picture alliance/AP Photo/C. Anand
Kematian seorang separatis Kashmir
Situasi keamanan di Kashmir bagian India memburuk setelah peristiwa pembunuhan Burhan Wani, seorang pemimpin muda gerakan separatis Kashmir pada Juli 2016. Protes terhadap pemerintahan India dan bentrokan antara separatis dan tentara telah merenggut ratusan nyawa sejak saat itu.
Foto: Reuters/D. Ismail
Serangan Uri
Pada September 2016, militan Muslim membunuh setidaknya 17 tentara India dan melukai 30 lainnya di Kashmir India. Tentara India mengatakan para pemberontak telah menyusup ke bagian Kashmir India dari Pakistan. Investigasi awal menunjukkan bahwa gerilyawan itu adalah anggota kelompok Jaish-e-Mohammad yang bermarkas di Pakistan, yang telah aktif di Kashmir selama lebih dari satu dekade.
Foto: UNI
Pelanggaran HAM
Pihak berwenang India memblokir sejumlah situs media sosial di Kashmir setelah video yang menunjukkan pasukan India melakukan pelanggaran HAM berat menjadi viral di internet. Video-video itu menimbulkan kemarahan di media sosial. Salah satu video menunjukkan pemrotes Kashmir diikat pada jip tentara India, diduga digunakan sebagai tameng hidup.
Foto: Getty Images/AFP/
Demiliterisasi Kashmir
Mereka yang mendukung Kashmir untuk merdeka ingin Pakistan dan India membiarkan rakyat Kashmir menentukan masa depan mereka. "Sudah saatnya India dan Pakistan menarik pasukan mereka dari wilayah yang mereka kendalikan dan mengadakan referendum yang diawasi secara internasional," kata Toqeer Gilani, Presiden Front Pembebasan Jammu dan Kashmir, kepada DW.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Tidak ada peluang untuk memisahkan diri
Sebagian besar pengamat Kashmir tidak melihat Kashmir merdeka dalam waktu dekat. Mereka mengatakan, meskipun sebagian strategi keras yang digunakan India untuk berurusan dengan militan dan separatis di Kashmir telah berhasil, cepat atau lambat New Delhi harus menemukan solusi politik untuk krisis ini. Perpisahan Kashmir, kata mereka, bukan bagian dari solusi. (Teks: Shamil Shams. Ed.: na/ap)
Foto: Getty Images/AFP/T. Mustafa
11 foto1 | 11
Menteri Dalam Negeri India Amit Shah berjanji bahwa Undang-undang Kewarganegaraan yang baru (CAB) akan diimplementasikan secara terpisah dengan NRC. Namun dalam opini saya, kedua produk perundang-undangan itu harus dilihat dalam konteks yang sama. Jika Parlemen mampu meloloskan CAB, apa yang bisa menghentikan mereka untuk tidak mengesahkan NRC?
Program NRC di negara bagian Assam saja menghasilkan dua juta penduduk kehilangan kewarganegaraan. Hal ini mendemonstrasikan ongkos kemanusiaan yang harus dibayar ketika pemerintah memecahbelah penduduk dan menggantungkan status kewarganegaraan dengan sejumlah dokumen di sebuah negara, di mana jutaan orang masih buta huruf dan tidak memiliki dokumen resmi.
Mereka yang dipersekusi menderita oleh tindak kekejian, keluarga yang terpisah atau kehilangan kewarganegaraan. Hal yang sama dialami warga muslim.
Lantas apakah tidak ada penolakan di India terhadap UU Kewarganegaraan yang baru? Tentu saja ada. Seisi negeri saat ini sedang dilanda aksi protes dan demonstrasi massal.
Tidak sedikit pula kaum akademik dan intelektual, serta warga biasa, yang melayangkan kritik dan ikut turun ke jalan. Tapi apakah hujan kritik itu mampu mempengaruhi anggota legislatif? Jelas tidak.
Undang-undang Kewarganegaraan yang baru menunjukkan bahwa India membutuhkan kebijakan pengungsi yang sesuai dengan hukum internasional, bukan produk hukum yang berdasarkan diskriminasi dan didikte oleh sebuah ideologi yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik.
Bisa dipastikan, CAB akan menciptakan perpecahan dan penderitaan di antara penduduk, ketimbang membidik kebutuhan fundamental masyarakat, mulai dari keamanan pangan dan lapangan pekerjaan, hingga penghapusan diskriminasi berdasarkan kasta, agama atau jenis kelamin.
Sayangnya CAB akan menjadi produk hukum resmi, karena kedua majelis di parlemen sepakat meloloskan RUU tersebut. Yang mengejutkan adalah bahwa CAB mendapat legitimasi di majelis tinggi, Rajya Sabha, di mana BJP tidak memiliki mayoritas suara.
Jika fenomena ini berlanjut tanpa henti, tidak lama lagi karakter plural yang fundamental pada India akan pula ikut berubah. (rzn/vlz)
Mahatma Gandhi: Pengacara yang Menjadi Bapak Bangsa
Perjuangan Gandhi yang selalu berpihak pada rakyat kecil dan cinta perdamaian tidak hanya signifikan untuk India, melainkan juga dunia. Ia menjadi Bapak Bangsa India, yang berhasil mengakhiri 200 tahun kekuasaan Inggris.
Foto: Getty Images/Hulton Archive
Lahirnya jiwa yang besar
Mahatma Gandhi memiliki nama asli Mohandas Karamchand Gandhi. Ia lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, negara bagian Gujarat, India. Di dunia ia lebih dikenal dengan nama Mahatma Gandhi. Kata "mahatma" yang disematkan pada namanya memiliki arti "jiwa yang besar".
Foto: Reuters/P. Ravikumar
Menikah di usia belia
Pada Mei 1883, Gandhi menikah dengan Kasturba Mankaji pada usia 13 tahun. Kasturba berusia 14 tahun pada waktu itu. Mereka menikah karena dijodohkan, satu praktik yang umum saat itu di India.
Foto: AP
Pengacara lulusan Inggris
Gandhi kuliah hukum di London dari September 1888 hingga Juni 1891. Setelah menyelesaikan studinya, ia kemudian kembali ke India. Di sana ia menjadi pengacara dari tahun 1891 hingga 1893.
Foto: picture-alliance/akg-images
Pindah ke Afrika Selatan
Pada tahun 1893, Gandhi pergi ke Afrika Selatan untuk bekerja menjadi pengacara. Di bulan Mei di tahun yang sama, ia mengalami tindakan rasisme. Karena warna kulitnya, ia dikeluarkan dari gerbong kelas satu kereta yang ia tumpangi.
Foto: picture-alliance/dpa
Memulai "Satyagraha"
Pada tahun 1894, Gandhi mendirikan Natal Indian Congress (Kongres India di wilayah Natal, Afrika Selatan) untuk melawan diskriminasi dan membantu imigran India di Afrika Selatan. Dia memulai gerakan Satyagraha yang merupakan gerakan protes sipil tanpa kekerasan.
Foto: Getty Images/Hulton Archive
Mulai memakai dhoti putih
Pada tahun 1906, Gandhi berjanji untuk hidup selibat dan mulai mengenakan hanya dhoti putih. Dhoti adalah pakaian tradisional untuk laki-laki di India.
Foto: AP
Unjuk rasa dari Natal ke Transvaal
Pada tahun 1913, ia memimpin unjuk rasa dari Natal ke Transvaal, Afrika Selatan, demi memperjuangkan hak para imigran India. Lebih dari dua ribu orang berpartisipasi dalam demonstrasi ini.
Foto: AP
Melawan aturan Inggris
Gandhi kembali ke India pada tahun 1915. Di sini ia mengorganisasi protes satu hari terhadap aturan pemerintahan Inggris, di mana setiap orang India yang dicurigai sebagai teroris akan dipenjara.
Foto: AP
Menjadi pemimpin partai
Dari tahun 1920 hingga 1924, Gandhi menjadi pemimpin utama partai Kongres Nasional India dan berkampanye untuk merdeka dari Inggris. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah Inggris, salah satunya dengan memboikot produk-produk Inggris. Akibatnya, ia ditangkap dan harus mendekam di penjara selama dua tahun.
Foto: AP
Protes garam
Pada tahun 1930, Gandhi memimpin protes "Dandi March" atau juga dikenal dengan "Salt March" atau protes garam. Protes ini menentang aturan Inggris yang melarang orang India untuk membuat dan menjual garam. Ribuan orang ikut serta dalam protes selama 24 hari ini.
Foto: AP
Kunjungan ke Inggris
Pada tahun 1931, Gandhi pergi ke Inggris untuk berbicara dengan pemerintah Inggris tentang masa depan India. Namun, Inggris menolak untuk memberikan kemerdekaan pada India.
Foto: AP
Mogok makan
Pada tahun 1932, pemerintah Inggris menahan Gandhi di penjara di Pune, Maharashtra. Di sini ia mogok makan selama enam hari dalam rangka melawan diskriminasi terhadap kelompok yang tak dianggap dalam sistem elektoral baru. Di dalam kelompok ini termasuk orang-orang yang berada di golongan kasta terbawah atau yang tidak masuk ke dalam sistem kasta sama sekali.
Foto: AP
Gerakan "Keluar dari India"
Pada tahun 1942, Mahatma Gandhi memulai gerakan tanpa kekerasan "Quit India" atau "Keluar dari India" untuk memperjuangkan kemerdekaan dari pemerintah Inggris. Gerakan ini menyebar ke seluruh negeri. Gandhi pun kembali dijebloskan ke penjara.
Foto: AP
Mogok makan untuk meredam kerusuhan Hindu-Muslim
Pada 15 Agustus 1947, India merdeka dari kekuasaan Inggris. Namun, negara itu terbagi menjadi dua kubu. Kerusuhan pecah antara umat Hindu dan Muslim beberapa bulan sebelum India merdeka. Untuk meredam kerusuhan dan menciptakan suasana yang kondusif, Mahatma Gandhi melakukan mogok makan.
Foto: AP
Ditembak mati
Seorang ekstremis Hindu, Nathuram Godse, menembak mati Gandhi pada 30 Januari 1948 di New Delhi. Setelah pembunuhan itu, gelombang duka menyebar di seluruh negeri. Lebih dari satu juta orang menghadiri pemakaman Gandhi.
Foto: picture-alliance/Imagno
Bapak Bangsa
Selain "jiwa yang besar", Gandhi juga dijuluki sebagai "Bapu", yang berarti ayah. Ia menjadi Bapak Bangsa India, yang dikenang bukan hanya di India, namun di seluruh dunia, terutama dalam peringatan hari jadinya yang ke-150 pada 2 Oktober 2019 ini. (Teks: dpa. Ed: na/ts)