Awal 2014 lalu sekelompok orang berpakaian necis berkumpul di Kamar Dagang AS, Washington D.C. Di sebuah ruang dengan jendela yang berhadapan dengan gedung putih, sekitar 30 advokat, pelobi dan politisi Partai Republik bersumpah akan menjegal setiap regulasi iklim yang dirumuskan pemerintahan Obama.
Dan kini saat itu telah tiba.
Amerika Serikat ingin serius menata jejak karbonnya. Senin (3/8) Presiden Barack Obama menelurkan regulasi iklim yang memaksa sektor energi menurunkan emisi karbon sebesar 32 persen dari level 2005 pada tahun 2030.
"Kita adalah generasi pertama yang merasakan dampak perubahan iklim dan kita adalah generasi terakhir yang bisa berbuat sesuatu," ujar Obama di Gedung Putih. Rencana pemerintah AS disambut oleh organisasi lingkungan, termasuk World Wildlife Fund (WWF) dan PBB.
Serangan Balik dari Kubu Konservatif
Saat ini produksi listrik menyumbang sepertiga dari emisi CO2 Amerika Serikat dan, repotnya, juga menjadi sumber rezeki buat jutaan orang. Maka tidak heran jika badai kritik berhembus ke arah Gedung Putih.
Asosiasi Tambang AS (NMA) yang mewakili industri batu bara mencibir rencana itu sebagai kebijakan "oportunis" dan meminta implementasinya ditunda. NMA mengatakan regulasi Obama akan membuat harga listrik melonjak. Senator Republik John McCain meyakini Undang-undang Iklim akan "melukai ekonomi dan konsumen."
Rencana yang lebih rinci sedang diracik oleh Jaksa Agung di negara bagian West Virginia, Patrick Morrisey. Kader Republik itu mengaku telah mengumpulkan 15 jaksa agung lain untuk menggugat rencana Gedung Putih.
"Koalisi kami akan mencakup banyak negara bagian, konsumen, buruh tambang, operator batu bara dan pelaku bisnis yang bersatu buat melawan kebijakan yang radikal dan ilegal ini," ujarnya.
Kompromi Luar Negeri
Rancangan regulasi iklim untuk sektor energi AS lebih merupakan hasil kompromi dengan dunia internasional ketimbang manuver politik dalam negeri. Betapapun juga AS termasuk pendosa iklim terbesar di dunia. "Jika kita tidak melakukannya, tidak seorangpun akan mau," ujar Obama.
"Alasan satu-satunya bahwa Cina ikut serta adalah karena mereka melihat kita akan melakukannya juga," tukasnya lagi. "Jika dunia menghadapi tantangan terbesarnya, Amerika memimpin jalan ke depan."
Rencana Obama akan banyak bergantung pada masing-masing negara bagian. Dalam hal ini pemerintah federal cuma mampu membuat stimulus agar negara bagian mau memenuhi tenggat pengurangan emisi hingga 2022.
rzn/vlz (dpa,ap)
Kendati mencatat kemunduran, Indeks Perlindungan Iklim 2015 memastikan bahwa untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan meningkatnya emisi CO2. Berikut negara-negara pendosa iklim terbesar di dunia.
Foto: ReutersLevel emisi yang diproduksi negeri para Emir ini tidak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Namun bukan itu yang menjadi masalah terbesar. Perekonomian Arab Saudi masih banyak bertumpu pada penjualan minyak mentah. Terlebih, niat pemerintah memproduksi 50 Gigawatt listrik dari energi terbarukan hingga 2032 sejauh ini cuma terwujud di atas kertas.
Foto: picture-alliance/dpaPemerintahan konservatif di bawah Tony Abott ternyata serius mencoret perlindungan iklim dari agenda utama Australia. Peringkat negeri kangguru itu pun merosot 21 tempat. Organisasi Germanwatch menetapkan lima indikator buat menyusun indeks iklim, yakni level emisi (30%), pertumbuhan emisi (30%), pembangunan energi terbarukan (10%), efisiensi energi (10%) dan kebijakan iklim (20%).
Foto: picture-alliance/dpaNegeri kaya minyak dan gas ini sebenarnya getol menelurkan undang-undang perlindungan iklim. Kazakhstan adalah negara bekas Uni Soviet pertama yang menerapkan sistem perdagangan emisi karbon. Namun aktivis lingkungan mengeluhkan, implementasi kebijakan iklim tidak menyentuh pendosa terbesar, yakni industri minyak dan gas.
Foto: REUTERSGermanwatch kecewa pada program perlindungan iklim Kanada yang sedang mengalami stagnasi. Ambisi pengurangan emisi CO2 yang ditargetkan Canberra hingga 2020 diyakini akan meleset sebanyak 20 persen. Transportasi dan industri hingga kini masih menyumbangkan jejak emisi terbesar, tanpa adanya upaya serius untuk menggenjot efisiensi energi di kedua sektor tersebut.
Foto: dapdSebenarnya pemerintahan baru di Teheran mulai banyak berbuat untuk perlindungan iklim, antara lain dengan menelurkan sederet undang-undang dan menggariskan sasaran iklim baru yang lebih ambisius. Iran misalnya berniat menggenjot pembangunan infrastruktur energi terbarukan hingga 2020. Kendati mendapat nilai merah, Iran memperoleh catatan positif terkait perspektif perlindungan iklim di masa depan
Foto: ISNAMenurut Departemen Energi AS, Rusia menyumbangkan 5,6 persen terhadap emisi karbon global. Sebagian besar berasal dari penggunaan bahan bakar oleh industri dan produksi listrik. Gas, batu bara dan nuklir adalah tiga pilar pasokan energi negeri beruang ini. Pemerintah di Moskow sebenarnya sudah menggariskan efisiensi produksi energi. Namun implementasinya belum berdampak pada neraca karbon Rusia
Foto: picture-alliance/dpaNegeri kaya di semenanjung Korea ini sedang memasuki puncak industrialisasi. Batu bara dan minyak bumi adalah tulang punggung pasokan energi di Korea Selatan. Sebab itu pemerintah berupaya memangkas emisi karbon dengan menetapkan pajak lingkungan, merangsang efisiensi energi melalui teknologi baru dan mencanangkan industri IT hijau. Sayangnya upaya tersebut belum berdampak pada neraca iklimnya.
Foto: Fotolia/Marzky RagsacSeperti yang bisa diduga, sebagian besar emisi karbon milik Taiwan berasal dari sektor manufaktur dan energi. Kendati mencatat perkembangan positif dalam hal efisiensi energi dan neraca karbon, adalah kebijakan iklim yang dinilai terlalu berpihak pada industri yang menyeret posisi Taiwan ke peringkat delapan dalam daftar hitam pendosa iklim.
Foto: picture alliance/ChromorangeTiga faktor membuat posisi Jepang melorot tajam, yakni level emisi, efisiensi energi dan kebijakan iklim. Negeri Sakura itu kini sangat bergantung pada energi fosil pasca insiden di Fukushima. Terlebih, Tokyo juga merevisi sasaran iklimnya dengan membatasi kenaikan emisi sebesar 3,8 persen dari level 2005. Sebelumnya Jepang berambisi memangkas 25 % emisi karbon hingga 2020
Foto: picture-alliance/APMenurut klaim pemerintah, nyaris 90 persen emisi CO2 Malaysia berasal dari asap kendaraan bermotor. Namun faktor terbesar yang menambah dosa emisi negeri jiran ini sebenarnya adalah laju industrialisasi, pembukaan lahan hutan dan emisi dari limbah pabrik. Padahal Malaysia berambisi memangkas emisi karbondioksidanya sebanyak 40 persen hingga tahun 2020.
Foto: Manan Vatsyayana/AFP/Getty ImagesDirunut berdasarkan jumlah emisi, maka Cina adalah pendosa iklim terbesar di muka bumi dengan sumbangan sebesar 26,4 persen terhadap emisi global. Tapi di balik itu Cina adalah investor terbesar untuk teknologi energi terbarukan. Selain itu kesediaan Beijing membuat komitmen pengurangan emisi yang disepakati bersama dengan Amerika Serikat beberapa pekan lalu juga menyisakan catatan positif.
Foto: ReutersAmerika Serikat menyumbangkan emisi karbon terbesar kedua di dunia dengan 17 persen. Tapi di sisi lain AS berhasil memangkas emisi karbon dari sektor transportasi. Rendahnya pertumbuhan emisi adalah satu-satunya catatan positif buat AS. Terkait kebijakan iklim, bercokolnya kelompok konservatif di parlemen mempersulit upaya pemerintahan Barack Obama meregulasi emisi di tingkat federal
Foto: Reuters/Erik De CastroDi mata Germanwatch, Indonesia memiliki catatan hijau terkait perlindungan iklim. Pertumbuhan emisi dan efisiensi energi adalah dua faktor yang mencuatkan posisi kita di dalam indeks perlindungan iklim. Namun begitu sejumlah masalah masih belum terselesaikan, yakni emisi kendaraan bermotor dan giatnya pembukaan lahan untuk industri.
Foto: Reuters