1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Oposisi Parsial Era Jokowi

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
27 Februari 2021

Apa jadinya bila sebuah pemerintahan berjalan tanpa oposisi, tentu cenderung membosankan. Ketiadaan oposisi sebenarnya sangat mengkhawatirkan, seperti yang pernah kita alami saat Demokrasi Terpimpin di masa lalu.

Kabinet Joko WidodoFoto: picture-alliance/dpa/D. Alangkara

Boleh dikatakan, dinamika sosial-politik hari ini lebih "senyap” dari era Orde Baru. Masyarakat terkesan tenang bukan karena sejahtera, tetapi lebih karena dibayangi pesimisme.

Seluruh kubu gerakan politik dan tokoh yang menjadi simpul jaringan, semua sudah bergabung pada Istana. Setiap zaman selalu menyimpan paradoksnya sendiri, rezim Orde Baru yang begitu otoriter, justru sanggup memunculkan seniman "perlawanan” seperti WS Rendra, Iwan Fals, Wiji Tukul, dan seterusnya. Bisa disebut juga grup Elpamas, yang lagunya "Pak Tua”, sesuai konteks saat itu, sejatinya merupakan sindiran halus terhadap Soeharto, namun dikemas secara kreatif, sehingga tidak mengundang reaksi berlebihan aparat.

Selaras dengan perkembangan teknologi digital, terlihat gerakan oposisi sudah bergeser ke platform media sosial. Terus terang saya sendiri tidak terlalu mengikuti "pertempuran” antara grup pendukung rezim dan oposisi di media sosial. Selain tidak terlalu berminat, juga ada keterbatasan memori dalam menerima dan mengolah informasi. Arus informasi era digital mengalir seperti banjir bandang, membuat kita tersesat, tanpa sempat melakukan verifikasi.

Sekuat apa pun narasi oposisi di media sosial, tentu daya tekannya terhadap penguasa masih di bawah aksi lapangan. Gerakan oposisi di masa lalu, mulai aksi mahasiswa berpeluh keringat di jalanan, sampai deklarasi perlawanan di ruangan berpendingin udara, secara substansial memang lebih diperhitungkan penguasa. Sementara gerakan oposisi melalui platform media sosial, ibarat menulis di atas air, cepat ditulisnya, cepat pula dilupakannya.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Reuni Malari

Salah satu komunitas yang konsisten beroposisi adalah mantan aktivis gerakan Malari, yang direpresentasikan oleh figur sentralnya, yakni Hariman Siregar. Meskipun tidak secara rutin, saya sendiri selalu mengikuti reuni komunitas tersebut. Dalam pengamatan saya, reuni komunitas mantan aktivis Malari, sudah merupakan subkultur tersendiri dalam tradisi oposisi di tanah air. Dalam pandangan saya, bangsa ini sedikit tertolong dengan adanya reuni Malari (setiap 15 Januari), bahwa ternyata masih ada gerakan oposisi.

Memang kegiatannya hanya sehari, dan esoknya mungkin sudah dilupakan publik, namun masih lebih baik ketimbang tidak ada perlawanan sama sekali. Komunitas itu sendiri sudah terjadi perluasan, atau alih generasi, sesuai dengan konsep subkultur. Sejak memasuki Abad 21, motor penggerak komunitas Malari, termasuk panitia reuni, sudah dipegang oleh generasi yang lebih baru, yang mungkin masih duduk di bangku SD atau TK, saat peristiwa Malari terjadi tahun 1974.

Sekadar menyebut nama, figur yang dikenal dekat dengan Presiden Jokowi, seperti Teten Masduki atau Fajroel Rachman, di masa lalu termasuk peserta tetap reuni Malari, namun setelah merapat ke Istana, tidak pernah datang lagi. Ketidakhadiran mereka semakin menguatkan asumsi posisi reuni Malari, sebagai medium sikap kritis terhadap kekuasaan, siapapun rezim yang sedang berkuasa.

Salah satu yang menarik dari reuni Malari, sebagaimana direpresetasikan oleh Hariman Siregar, dia tidak memiliki pamrih kekuasaan. Sebagian besar tamunya mungkin memiliki pamrih kekuasaan, tapi tidak dengan Hariman dan teman-teman dekatnya. Beberapa tokoh Malari yang sejak awal bergabung dengan kekuasaan, seperti Theo Sambuaga, secara alamiah akan hilang dari lingkaran itu.

Gerakan oposisi di Tanah Air identik dengan tokoh, tanpa tokoh karismatik, yang terjadi hanya kesia-siaan. Gerakan oposisi sempat semarak, meskipun hanya sesaat, dengan tampilnya tokoh seperti Jendral TNI (Purn) Gatot Nurmantyo dan Habib Rizieq Shihab (HRS). Namun sayang stamina mereka tidak sekuat Hariman.

Keduanya sempat digadang-gadang sebagai lokomotif gerakan oposisi, namun akhirnya mereka ditundukkan dengan cara relatif mudah. Gatot mendadak luluh, selepas menerima bintang penghargaan dari Istana. Demikian juga dengan HRS, pamornya sirna begitu saja, ketika organisasi pendukungnya (FPI), dibubarkan pemerintah. Apa yang sedang kita saksikan hari ini, sekadar oposisi parsial.

Kutukan periode ketiga

Bila kita kembali belajar dari pengalaman rezim Orde Baru, konflik internal semakin mengeras setelah dua periode pemerintahan atau satu dekade. Mungkin masih ada yang ingat, pasca satu dekade Soeharto berkuasa, mulai muncul beberapa jenderal kritis, seperti Widodo, HR Darsono (Pak Ton), Bambang Triantoro, Syaiful Sulun, Benny Moerdani, dan seterusnya. Rezim Orde Baru adalah rezim yang sangat tertutup, perubahan hanya mungkin terjadi bila ada gebrakan dari dalam, dan itu terjadi begitu memasuki periode ketiga, sampai jatuhnya Soeharto tahun 1998.

Periode ketiga laksana kutukan. Itu sebabnya rezim Jokowi wajib menjauh dari impian berkuasa tiga periode. Cukup santer terdengar, para pendukung fanatik Jokowi bakal mengangkat wacana tiga periode jabatan presiden, dengan lebih dulu melakukan amandemen terhadap undang-undang terkait. Soal argumentasi kenapa periode Jokowi perlu diperpanjang, para pendukung tidak akan pernah kehabisan narasi, baik narasi untuk konsumsi media sosial, sampai makalah serius setara naskah akademik, dokumen yang biasa dipakai sebagai pendamping penyusunan RUU. Namun sebagus apa pun alasan yang telah disiapkan, satu yang pasti, lupakan saja aspirasi itu.

Bila aspirasi periode ketika benar-benar terjadi, yang kita saksikan tak lebih sebuah opera sabun, yaitu kebisingan tiada habisnya dalam hal perebutan sumber daya ekonomi. Berdasarkan kenyataan peta politik saat ini, dimana terlalu banyak king maker di sekeliling Jokowi, antara lain Hendro Priyono, Luhut Panjaitan, Megawati, Surya Paloh, Prabowo, dan seterusnya.

Seperti sudah disinggung di atas, situasinya bakal mengulang zaman Soeharto pada dekade 1980-an dan 1990-an awal. Era Soeharto bisa jadi masih lebih baik, karena para jenderal oposan sejatinya hanya sampai taraf "merepotkan”, artinya kendali masih di tangan Soeharto. Situasi sekarang jauh lebih kompleks, mengingat para king maker itu, kekuatannya hampir setara dengan Jokowi.

Sekadar perkiraan, salah satu elemen yang berpotensi resisten terhadap Jokowi, adalah PPP. Perkiraan ini berdasar kalkulasi, PPP selalu mendapat alokasi anggota kabinet paling sedikit dari waktu ke waktu.

 Partai "warisan” Orde Baru ini ibarat mimikri, yang bisa menyesuaikan diri di segala situasi, seperti halnya Golkar. Hanya bedanya Golkar tetap stabil sebagai partai besar, sementara PPP sedang mengarah pada partai semenjana. Untuk itu dibutuhkan inovasi kreatif, agar pamornya bisa terangkat kembali, mengulang masa gemilang di hari-hari terakhir Orde Baru, dengan tagline "Mega Bintang” yang membahana. 

Pimpinan PPP sekarang berencana melakukan manuver sejenis itu, demi mendongkrak citra partai, salah satunya dengan berusaha mendekatkan diri pada generasi milenial. Publik tentu mahfum, mendekati generasi muda dengan gaya business as usual, tidak akan memberi efek berarti, untuk itu diperlukan gebrakan. Menjadi oposan merupakan (pengubah permainan) bagi PPP kelak. Tentu dengan catatan, bila periode ketiga Jokowi, memang benar menjadi kenyataan.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.