2030: Satu dari Tiga Orang Turki Badannya Kegendutan
30 Mei 2025
Di seluruh dunia, kini ada lebih dari satu miliar orang yang mengalami obesitas atau terlalu tambun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai "epidemi obesitas”.
Berdasarkan laporan WHO tentang obesitas di Eropa tahun 2022, Turki memimpin dalam kasus kelebihan berat badan ini. Negara ini menempati posisi teratas di Eropa dengan angka 66,8 persen.
Selain itu, Turki termasuk negara OECD dengan peningkatan obesitas tercepat — bahkan nomor satu. Diperkirakan pada tahun 2030, akan ada sekitar 27 juta orang Turki akan mengalami obesitas. Itu artinya hampir satu dari tiga orang badannya bakal makin gembrot.
Para pakar kesehatan dan sosial menelisik: Biang keroknya adalah masalah kurang gizi, ketimpangan sosial, pasokan makanan yang tidak sehat, serta ketiadaan strategi kebijakan yang memadai.
Sebuah studi menunjukkan, satu dari lima anak di Turki mengalami kekurangan gizi, dan 10 hingga 15 persen dari mereka mengalami kelebihan berat badan. Hal ini tampak paradoks, namun salah satu penyebabnya adalah jaringan lemak pada orang gembrot yang menghambat penyerapan dan pemanfaatan nutrisi.
Masalah Kemiskinan?
Turki telah lama bergulat dengan inflasi harga pangan yang tinggi, yang melemahkan daya beli rakyatnya. Sosiolog Hacer Foggo menegaskan, meningkatnya jumlah anak yang kelebihan berat badan terutama karena kemiskinan yang ekstrem.
"Kekurangan gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan sekaligus obesitas. Di Eropa, Turki yang paling parah mengalami masalah ini karena pola makan yang sangat terbatas,” ujarnya.
Sosiolog tersebut merujuk pada laporan Badan Statistik Turki TÜIK tahun 2022, yang menyebut 62,4 persen anak hanya mengandalkan roti dan mie sebagai makanan utama. Data ini merupakan alarm tanda bahaya yang belum cukup mendapat perhatian serius.
Ahli pangan Bülent Şık melihat kaitan langsung antara kenaikan obesitas pada bocah, dengan konsumsi luas makanan olahan rendah gizi dan kandungan tinggi gula.
"Peningkatan konsumsi camilan murah dan minuman manis, berhubungan erat dengan lonjakan obesitas,” papar Şık. Selama produksi produk tersebut tidak dibatasi, berbagai upaya akan menjadi simbolisme semata.
Şık juga memperingatkan bahaya lain: penggunaan bahan kimia beracun seperti pestisida, dan zat aditif dalam produksi makanan, yang berkaitan dengan gangguan hormonal dan kenaikan berat badan. "Beberapa zat beracun ini berdampak negatif pada sistem hormonal, ancaman serius bagi anak-anak yang sedang tumbuh,” jelasnya.
Ia menyebut studi Greenpeace Turki yang menemukan sepertiga makanan yang diuji, mengandung pestisida berbahaya bagi hormon, perkembangan saraf, atau bersifat karsinogenik. Namun, pengawasan negara lebih menitikberatkan pada kadar kalori, bukan bahan berbahaya tersembunyi.
Kementerian kesehatan Turki dalam keadaan waspada
Dalam program baru melawan obesitas, kementerian kesehatan Turki berencana mengukur tinggi badan, berat, dan Indeks Massa Tubuh (BMI) di pusat kota ramai, ruang publik, dan lokasi-lokasi kegiatan.
Tujuannya untuk mengidentifikasi warga yang kelebihan berat badan, dan mengarahkan mereka ke pusat kesehatan atau dokter keluarga, untuk didampingi ahli gizi. Dalam dua bulan, kementerian tersebut punya target untuk menjangkau sepuluh juta warga, memberi edukasi tentang bahaya kegendutan, serta mendorong gaya hidup sehat.
Kelemahan struktural dalam sistem pangan
Para pakar menyesalkan kurangnya regulasi negara terhadap makanan sehat, dan lemahnya pembatasan iklan makanan tidak sehat. Ketiadaan langkah ini membuat anak-anak dan kelompok miskin semakin rentan. “Para pembuat kebijakan seharusnya bertanggung jawab menciptakan solusi,” ujar Şık.
Makanan segar dan sehat seringkali lebih mahal, dan sulit dijangkau oleh keluarga berpenghasilan rendah. Ketimpangan ini menimbulkan obesitas, gangguan tumbuh kembang, dan anemia pada anak-anak.
Şık dan Foggo menekankan perlunya program makanan sekolah gratis. Foggo mengecam bahwa meski usulan ini sering diingatkan, belum pernah ada implementasi nyata. "Catatan parlemen menunjukkan, kementerian kesehatan mengakui masalah ini, dan melihat solusinya pada makanan sekolah—namun belum ada langkah konkret,” tandasnya.
Selain itu, Turki kekurangan tenaga ahli di bidang ini. Serikat pekerja Birlik Sağlık Sen menyebut jumlah konsultan diet yang dapat memberi konsultasi gizi sangat kurang, bahkan berkurang hampir 20 persen di rumah sakit pemerintah selama lima tahun terakhir.
*Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Agus Setiawan