1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Kesenjangan Antara Kaya dan Miskin Makin Melebar

22 Januari 2018

Satu persen penduduk terkaya dunia menikmati 82 persen pertumbuhan kekayaan dunia tahun 2017, sementara 50 persen penduduk termiskin tidak mendapat apa-apa.

Direktur OXFAM Winnie Byanyima
Direktur OXFAM Winnie ByanyimaFoto: World Economic Forum/J. Polacsek

Menyambut ajang World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, organisasi sosial OXFAM dari Inggris hari Senin (22/1) merilis laporan kesenjangan pembagian kekayaan dunia yang diberi judul: "Reward Work, Not Wealth".

Direktur OXFAM Winnie Byanyima (foto artikel) dalam pernyataannya menyebutkan, booming yang dialami para miliuner "bukan pertanda kebangkitan ekonomi, melainkan gejala kegagalan sistem ekonomi".

Laporan terbaru OXFAM menunjukkan, sejak tahun 2010 harta penduduk terkaya dunia tumbuh enam kali lebih cepat daripada para pekerja biasa. Sejak Maret 2016 sampai Maret 2017, setiap dua hari ada miliuner baru. Laporan itu menggambarkan bagaimana tata ekonomi dunia saat ini hanya menguntungkan segelintir hartawan. Sementara ratusan juta orang "berjuang untuk bertahan hidup dalam kemiskinan".

World Economic Forum, ajang pertemuan para tokoh politik dan bisnis dunia di Davos, SwissFoto: WEF

OXFAM misalnya memaparkan, bagaimana direktur utama dari lima rumah mode terkemuka hanya dalam empat hari bisa mengumpulkan pendapatan yang setara dengan pendapatan seorang pekerja garmen di Bangladesh yang bekerja seumur hidup.

OXFAM juga mengeritik upah perempuan yang "secara konsisten mendapat pembayaran lebih rendah dari pria" bahkan sering dibayar dengan upah terendah.

"Orang-orang yang membuat pakaian kita, merakit telepon genggam kita dan menyuplai makanan kita dieksploitasi untuk memastikan persediaan barang murah, dan memperbesar keuntungan bagi perusahaan serta para investor kaya," kata Winnie Byanyima.

Untuk melawan peruncingan kesenjangan ini, Oxfam meminta pemerintah untuk membatasi tingkat keuntungan para pemegang saham dan tenaga eksekutif puncak, menutup kesenjangan gaji antara lelaki dan perempuan, tindakan keras terhadap penghindaran pajak dan peningkatan anggaran untuk layanan kesehatan dan pendidikan.

Studi yang dirilis tepat menjelang pembukaan pertemuan bergengsi para tokoh politik dan bisnis dunia di ajang WEF di Davos itu ingin mengajak para peserta fokus pada upaya menciptakan "masa depan bersama di dunia yang terpecah".

"Sulit untuk menemukan pemimpin politik atau bisnis yang tidak mengatakan bahwa mereka khawatir tentang kesenjangan," kata Winnie Byanyima.

"Tapi lebih sulit lagi menemukan orang yang mau melakukan sesuatu untuk menghadapinya. Banyak yang secara aktif membuat keadaan jadi lebih buruk dengan cara memotong pajak dan menghapus hak-hak buruh," tandasnya.

hp/   (afp, rtr, ap)