Oxfam: Perubahan Iklim Picu Kenaikan Harga
6 September 2012Kegagalan mengurangi emisi gas rumah kaca akan memicu gejolak harga pangan. Demikian dinyatakan organisasi anti kemiskinan Oxfam di Paris.
Kekeringan di Amerika Serikat dan banyaknya hujan di Asia tahun ini telah menyebabkan melonjaknya harga pangan. Tren ini bisa berlanjut dan dalam dua dekade ke depan harga pangan akan begitu erat berkaitan dengan perubahan iklim, sehingga mengancam kehidupan masyarakat.
Cuaca Ekstrim Sebagai Pemicu Harga
Baru-baru ini organisasi anti kemiskinan, Oxfam, mempublikasikan hasil penelitian yang memfokus dampak cuaca ekstrim pada harga pangan. Menurut Oxfam, kebanyakan penelitian sebelumnya memfokus pada perubahan iklim yang lebih lamban dan jangka panjang. Padahal belakangan terbukti bahwa dampak cuaca ekstrim bisa jauh lebih mengancam. Cuaca ekstrim, seperti badai, banjir atau terik panas di luar kebiasaan, biasanya tidak berlangsung lama tapi bisa menggagalkan seluruh hasil panen.
Sebuah model yang dirancang oleh Lembaga Studi Pembangunan Universitas Sussex, menempatkan kenaikan 120% pada harga gandum, dan 107% pada beras di tahun 2030. Berdasarkan riset baru ini, harga jagung ekspor di tahun 2030 bisa lebih tinggi 177% ketimbang pada tahun 2010. Ditengarai, sepertiga kenaikan harga pangan disebabkan oleh perubahan iklim.
Meskipun secara alami harga pangan bisa naik berlipat ganda pada 2030, penelitian ini menunjukkan bahwa satu atau beberapa peristiwa dramatis bisa menyebabkan kenaikan harga yang sebanding dengan kenaikan harga selama 20 tahun berturut-turut. Bagaikan mata rantai kondisi ini bakal berdampak besar pada kehidupan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Di berbagai negara berkembang masih banyak orang yang menggunakan 75% penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kenaikan harga akan dengan cepat menyebabkan meluasnya masalah kekurangan gizi.
Pengelolaan Pangan Dasar
Perubahan harga pangan yang drastis bisa menggoyahkan kepercayaan rakyat pada pemerintah. Sehubungan harga beras, pengalaman terakhir menunjukkan sensitifitas yang sama dengan perubahan-perubahan pada harga gandum. Pasalnya, rantai perdagangan beras relatif kecil, sehingga fluktuasi pada pasokan beras bisa berdampak besar pada harga di pasar. Selain itu, beras secara politik cukup penting dan ini akan mendorong pemerintah untuk reaktif dan bergerak cepat, termasuk untuk menimbun pangan dan dalam menetapkan pembatasan perdagangan. Hal yang juga akan lebih cepat memicu kenaikan harga.
Terkait hal ini, model yang dirancang Program Pendukung Mata Pencaharian (LSP) Universitas Sussex itu juga menunjukkan bahwa negara-negara di Asia Tengah, Afrika Barat dan sejumlah kawasan lain akan menjadi tergantung pada beras impor di tahun 2030, dan karenanya akan mengalami kesulitan menghadapi kenaikan harga pangan secara global. Sementara pangsa ekspor beras dari negara-negara Asia Tenggara dan India akan mencapai setengah dari seluruh ekspor beras secara global.
Membangun ketahanan sistim pangan
Professor Dr John Porter dari Univeritas Kopenhagen menulis, belum ada kesadaran kuat bahwa masalah yang dihadapi ini adalah ketahanan sistem pangan. Perubahan iklim, menurut dia, akan berimbas pada seluruh rantai pangan. Namun, semua ini masih bisa dihindari apabila langkah antisipasi secepatnya diambil.
Mengubah kebiasaan buruk dekade-dekade terakhir yang kurang memperhatikan investasi dalam pertanian ukuran kecil, yang berkepanjangan dan memiliki ketahanan tinggi, merupakan salah satu langkah positif. Hal ini bisa mendorong peningkatan produktivitas kawasan sehingga berkembang sesuai dengan perkembangan populasi. Peningkatan kemampuan komunitas untuk menghadapi bencana juga penting, serupa dengan pengembangan cadangan pangan yang terkoordinasi di tingkat komunitas, nasional dan regional.
Tahun 2011, rata-rata emisi gas rumah kaca secara global merupakan yang tertinggi di seluruh dunia. Diperkirakan, bumi suatu saat akan mengalami kenaikan suhu global antara 2,5 hingga 5 derajat celsius, dan cuaca ekstrim akan semakin sering terjadi. Sudah waktunya disadari bahwa sistem mata rantai pangan tak mampu menghadapi perubahan iklim, tanpa intervensi positif.
ek/vlz (dpa, rtr)