Anak Muda dan Cinta adalah Kunci Masa Depan
Agama sangat erat kaitannya dalam mengatur pada siapa warga negara harus jatuh cinta. Konon, Indonesia melarang pernikahan antar agama sedangkan agama/kepercayaan yang resmi diakui hanya enam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Baru-baru ini komunitas penghayat kepercayaan telah diakui dan boleh meletakkan nama Penghayat sebagai nama di kolom agama kartu identitas. Walau begitu, agama selalu menjadi masalah utama karena orang Indonesia sangat suka untuk menjadikan urusan agama sebagai hal yang publik dan dipertontonkan secara luas.
Salah satunya terkait dengan pernikahan, regulasi agama sangat erat kaitannya dengan pernikahan secara administratif di Indonesia. Hubungan antara agama dan pernikahan sangat erat dan kompleks. Melalui tulisan ini, kita akan coba menjelajahi simpul-simpul tersebut.
Sudah Waktunya Revisi UU Perkawinan 74
Ada dua sebab sulitnya menikah beda agama di Indonesia. Pertama, karena tren pengakuan identitas menguat dan kedua karena hambatan dari hukum dan sejarah. Pengakuan identitas yang menguat tidak disertai dengan peningkatan kapasitas untuk mengetahui asal-usul. Kini muncul kelompok Neo-Nazi Melayu yang mengklaim bahwa bangsa Melayu sebagai ras unggul dan menuntut kemurnian ras melayu. Pengakuan identitas sah saja seperti yang dilakukan oleh Penghayat Kepercayaan, tapi jika terlalu jauh malah terpeleset menjadi chauvinisme.
Kedua, hambatan sejarah mulai dari hukum kolonial yang membeda-bedakan ras dan agama dan selanjutnya peristiwa politik pembantaian ‘65 yang membuat seluruh warga negara harus berafiliasi dengan kelompok agama (resmi) tertentu. Sebab kedua ini menjadi bibit sentimen pada masing-masing kelompok agama. Setiap kelompok agama mencurigai satu dan lainnya dan integrasi agama melalui percintaan menjadi sulit. Dalam mencintai, restu agama menjadi penting sebab pada pasal pertama disebutkan "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 memang sudah waktunya direvisi, sebab ada banyak hal yang sudah harus disesuaikan dengan konteks zaman. Frase pada pasal pertama bermasalah karena pada hari ini ketika identitas kepercayaan telah diterima, pernikahan di dalam komunitas kepercayaan belum diakui secara legal.
Belum lagi soal batas usia pernikahan yang membuat kontradiksi definisi 'anak' antara Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan Anak. Peran bapak sebagai kepala keluarga tidak bisa dipertahankan karena nyatanya banyak perempuan menjadi kepala keluarga, sehingga fasilitas pengurangan penghasilan tidak kena pajak dan syarat peminjaman di bank, harusnya tidak merujuk pada peran gender yang usang tersebut.
Masalahnya di Keluarga dan Komunitas Agama
Upaya untuk merevisi Undang-undang Pernikahan telah dilakukan beberapa kali, namun berkali-kali juga ditolak. Pernikahan beda agama menjadi salah satu poin untuk revisi, namun mentok pada pemahaman di tingkat masyarakat yang masih memandang agama sebagai sesuatu yang krusial dan eksklusif.
Secara birokrasi dan administratif, pernikahan beda agama di Indonesia mungkin dilangsungkan, tapi secara kultural, susah diterima. Apalagi Islam sebagai agama mayoritas. Selama orang beragama selain Islam dipandang sebagai kafir, akan sulit sekali membuka jalan restu bagi agama ini untuk menerima umat beragama lain sebagai ahli kitab. Agama menjadi pedoman sekaligus penghambat dari orang tua untuk memberikan restu pernikahannya.
Kesulitan pernikahan beda agama terletak pada restu orang tua. Manusia tentu tidak bisa menentukan kapan dan kepada siapa dia jatuh cinta, tapi banyak orang tua jelas menentukan dengan siapa kita boleh menikah. Keputusan orang tua dipengaruhi oleh lembaga agama dan afiliasi aliran agama yang dianut keluarga.
Semakin eksklusif dan puritan orang tua memegang keyakinannya dan dapat justifikasi dari organisasi keagamaannya, semakin sulit bagi anak untuk mendapat restu menikah. Orang tua juga punya keinginan untuk berkontribusi bagi komunitas agamanya dengan menambah jumlah pengikut baru, karena pernikahan anak juga berdampak pada pengakuan sosial orang tua di masyarakat. Tren Islam konservatif/reaksioner dan pengakuan agama mayoritas yang semakin mengencang akan mempersulit kemampuan orang-orang untuk saling mencintai.
Cinta sebagai Upaya Rekonsiliasi
Bangsa Indonesia hadir karena adanya perkawinan antar agama dan suku yang terjadi. Misalnya, orang-orang Makassar beragama Islam sebab ada kontak dan perkawinan dengan pedagang beragama Islam dari Arab, Tiongkok dan Persia.
Selama ini ada stereotip terhadap orang-orang Bangka yang berkulit kuning langsat bahwa hal ini terjadi karena adanya pernikahan antara Melayu dan Tionghoa. Sama halnya dengan dengan kecap manis. Sebagai produk budaya, kecap manis adalah hasil kawin silang fermentasi saus kedelainya milik orang-orang Timur Asing dengan gula aren yang banyak ditemui di Nusantara.
Segala hal yang kita banggakan milik Indonesia adalah hasil dari perkawinan dua entitas yang berbeda. Baik secara biologis maupun kultural. Dan hasil perkawinan itu menghasilkan perbaikan keturunan di masa mendatang. Seperti kecap manis yang kita nikmati saat ini.
Jika pernikahan berbeda agama masih dilihat sebagai hal yang tabu, maka integrasi kita sebagai bangsa akan sulit terwujud.
Pasca Pilkada Jakarta 2016, sentimen SARA menyerbak. Pemilu 2019 diisi dengan sentimen agama. Beberapa peneliti politik sudah memprediksi bahwa Indonesia mungkin akan pecah, sebab kelompok Islam mayoritas semakin mempertontonkan kesalehannya dengan mendiskriminasi kaum yang berbeda. Sementara itu, kelompok minoritas semakin merasa terancam. Kondisi seperti ini membuat Indonesia sebagai bangsa menjadi rapuh. Karena masing-masing kelompok, alih-alih membangun jembatan untuk dialog menjadi saling mencurigai dan membuat dirinya semakin eksklusif. Harapan persatuan Indonesia ada pada kelompok pemuda yang tidak terima dengan keadaan tidak boleh saling mencintai.
Anak muda dan cinta adalah kunci masa depan Indonesia. Pelbagai permasalahan seperti intoleransi dan revolusi bentuk keluarga berada di tangan pemuda Indonesia yang masih single. Karena mereka bisa dan harus memperjuangkan masa depannya yang belum mungkin.
Harusnya kepedihan pelarangan mencintai beda agama dan jenis kelamin menjadi pemantik untuk membuat sebuah gerakan untuk merevisi UU Perkawinan dan memperkenalkan konsep keluarga baru. Cinta yang tidak bisa bersatu itu pedih, tapi lebih pedih lagi kalau kita terus biarkan generasi setelah kita terus mengalaminya.
@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.