Kepadanya dijatuhkan sembilan dakwaan, antara lain makar dan terorisme. Tapi rival Presiden Paul Kagame itu menolak tuduhan kejaksaan, dan mengaku diculik paksa dari pengasingan di Dubai untuk diadili di Kigali.
Iklan
Pengadilan Rwanda memutuskan Paul Rusesabagina terbukti ikut terlibat dalam kelompok bersenjata yang bertanggungjawab atas serangan teror.
"Mereka (terdakwa) dinyatakan bersalah menjadi bagian dari kelompok teror ini – MRCD-FLN,” kata hakim Beatrice Mukamurenzi kepada 20 terdakwa, termasuk pahlawan genosida itu, Senin (20/9).
Rusesabagina dikenal lewat perannya mengecoh ekstremis Hutu demi melindungi pengungsi Tutsi yang berlindung di hotelnya. Saat itu sebanyak 800.000 warga etnis Tutsi dibantai dalam hanya tiga bulan. Kisahnya pernah difilmkan untuk diputar di bioskop dengan judul Hotel Rwanda.
Dalam pengasingannya usai tragedi tersebut, Rusesabagina banyak bersitegang dengan Presiden Paul Kagame, usai satu per satu tokoh oposisi menghilang tanpa jejak. Dia menuduh sang presiden bersikap otoriter, dan gemar menghasut kebencian anti-Hutu.
Saat diinterogasi dalam penahanan di Kigali, Oktober 2020 lalu, dia mengaku ikut membidani pembentukan sayap bersenjata di bawah Fron Pembebasan Nasional (FLN). "Kami membentuk FLN sebagai sayap bersenjata, bukan sebagai grup teroris seperti yang selalu dikatakan jaksa penuntut,” kata dia.
Rusesabagina mengakui FLN beroperasi di bawah partai politiknya sendiri, Gerakan Rwanda Untuk Perubahan Demokratis (MRCD), yang aktif sejak 2017. "Saya tidak membantah FLN melakukan tindakan kriminal, tapi peran saya hanya diplomasi,” imbuhnya.
"Penghilangan paksa" di Dubai
Pada pertengahan 2018, kelompok bersenjata menyerang desa-desa terpencil di perbatasan dengan Burundi. Serangan paling mematikan terjadi di desa Nyabimata, di mana tiga orang meninggal dunia.
Pembantaian Rwanda
Pembantaian di Rwanda tahun 1994 masih meninggalkan jejak kengerian hingga saat ini. Lebih dari 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai oleh ekstremis Hutu.
Foto: Timothy Kisambira
Sinyal genosida
Pada tanggal 6 April 1994, sebuah rudal ditembakkan ke pesawat Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, saat mendekati ibukota Kigali. Habyarimana, rekannya dari Burundi dan delapan penumpang lainnya tewas. Keesokan harinya, mulai terjadi pembantaian yang berlangsung selama tiga bulan. Setidaknya 800.000 warga Rwanda tewas akibat pembantaian itu.
Foto: AP
Target pembunuhan
Setelah pembunuhan terhadap presiden, ekstremis Hutu membunuhi minoritas Tutsi dan Hutu yang moderat. Pembunuhan sudah dipersiapkan dengan baik dan sengaja dilakukan sebagái bentuk perlawanan. Korban pertama pada tanggal 7 April di antaranya adalah salah satu Perdana Menteri Agathe Uwiringiymana.
Foto: picture-alliance/dpa
Penyelamatan orang asing
Sementara pembunuhan terus berlangsung, pasukan khusus Belgia dan Perancis mengevakuasi sekitar 3.500 orang asing. Tanggal 13 April, pasukan Belgia menyelamatkan tujuh karyawan Jerman dan keluarga mereka dari stasiun penyiaran Deutsche Welle di Kigali. Hanya 80 dari 120 karyawan lokal yang bertahan hidup dalam aksi genosida itu.
Foto: P.Guyot/AFP/GettyImages
Seruan pertolongan
Petunjuk pemusnahan Tutsi yang terencana, tercium komandan penjaga perdamaian Kanada Romeo Dallaire sejak awal tahun 1994. Hal itu dikenal sebagai "Faks Genosida', yang menjadi pesan tertanda tanggal 11 Januari kepada PBB namun PBB tidak menanggapinya.
Foto: A.Joe/AFP/GettyImages
Media sebarkan kebencian
Stasiun radio Mille Collines (RTLM) dan surat kabar mingguan Kangura menghasut rasa kebencian terhadap Tutsi. Sekitar tahun 1990, Kangura menerbitkan "Sepuluh Perintah Hutu" yang berbau rasisme. Dengan musik pop dan laporan olahraga Radio Mille Collines menyerukan perburuan dan pembunuhan Tutsi.
Foto: IIPM/Daniel Seiffert
Pengungsi di hotel
Di Kigali, Paul Rusesabagina menyembunyikan lebih dari 1.000 orang di Hotel Des Mille Collines. Setelah manajer hotel tersebut meninggalkan negara itu, Rusesabagina mengambil alih jabatan. Dengan banyaknya alkohol dan uang, dia dapat menahan milisi Hutu untuk tak membunuh para pengungsi.
Foto: Gianluigi Guercia/AFP/GettyImages
Pembantaian di gereja-gereja
Bahkan gereja-gereja, di mana banyak orang mencari perlindungan, tidak mampu menghentikan aksi pembunuh. Sekitar 4.000 pria, perempuan dan anak-anak dibunuh di gereja Ntarama dekat Kigali, baik dengan kapak, pisau dan parang. Kini gereja itu menjadi salah satu dari banyak monumen. Tengkorak dan tulang manusia digantung dan lubang peluru di dinding mengingatkan pernah terjadinya genosida.
Foto: epd
Arus pengungsi
Selama aksi pembunuhan berlangsung, jutaan warga Tutsi dan Hutu melarikan diri ke negara-negara tetangga: Tanzania, Zaire dan Uganda. Dua juta pengungsi lari ke Zaire. Mantan anggota tentara dan mendirikan Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR) dan menyebabkan ketidakamanan di Kongo Timur.
Foto: picture-alliance/dpa
Patroli pemberontak
Di depan Gereja Keluarga Kudus di Kigali, pada tanggal 4 Juli 1994, pemberontak RPF berpatroli. Mereka telah menguasai sebagian besar wilayah dan pelaku pembunuhan melarikan diri. Namun aktivis hak asasi manusia mengeluhkan, bahwa para pemberontak juga melakukan kejahatan dan sampai sekarang lepas dari hukum.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Akhir genosida
Mayor Jenderal Paul Kagame, pemimpin RPF, pada 18 Juli 1994 mendeklarasikan bahwa perang melawan pasukan pemerintah berakhir. Para pemberontak menguasai ibukota dan kota-kota besar lainnya. Pertama-tama, mereka menetapkan pemerintahan sementara. Sejak tahun 2000, Kagame menjadi presiden Rwanda.
Foto: Alexander Joe/AFP/GettyImages
Luka permanen
Genosida berlangsung kira-kira selama tiga bulan lamanya. Para korban biasanya dibunuh secara brutal dengan parang. Tetangga membunuh tetangga. Tubuh atau bagian tubuh dari bayi, anak-anak, orang dewasa dan orang-orang tua terhampar di jalan-jalan. Tak ada satupun keluarga yang tak mengalami luka batin karena anggota keluarganya menjadi korban. Luka itu menjadi memori terjadinya genosida.
Foto: Timothy Kisambira
11 foto1 | 11
Iklan
Pemerintah menuduh FLN bertanggungjawab atas serangan tersebut. Beberapa bulan berselang, tulis harian New York Times, Rusesabagina merilis video di mana dia menegaskan akan mewujudkan perubahan "dengan segala cara.”
Dari balik penjara, dia bersaksi tidak mengingat adanya video itu.
Kejaksaan menuntut hukuman seumur hidup dengan sembilan dakwaan, termasuk terorisme, penyanderaan dan pembentukan kelompok bersenjata dengan niatan makar.
Namun belum sempat hakim membacakan putusan, salah seorang terdakwa jatuh sakit. Akibatnya sidang pembacaan putusan ditunda.
Persidangan terhadap 20 terdakwa dimulai Februari silam, enam bulan setelah Rusesabagina tiba dengan pesawat dari Dubai. Pendukungnya menuduh dia diculik, bukan ditangkap. Dia diklaim ditipu oleh pemerintah Rwanda agar menaiki pesawat dan datang ke Kigali.
Organisasi HAM, Human Rights Watch, mengatakan penangkapannya memenuhi kriteria penghilangan paksa, dan merupakan pelanggaran serius hukum internasional.
Pemerintah Rwanda sebaliknya bersikeras Rusesabagina ditangkap dengan "surat penahanan internasional.” Hal ini dibantah oleh kuasa hukumnya, Vincent Lurquin, yang mengatakan aparat "menggotongnya menaiki pesawat jet pribadi, memberinya obat tidur dan membangunkannya di Kigali.”