Setiap zaman selalu menghasilkan pahlawan, termasuk bagaimana cara mencapai status terhormat tersebut. Adalah periode revolusi kemerdekaan (1945-1949), sebagai era yang paling banyak menghasilkan pahlawan. Untuk mencapai status pahlawan di masa itu, perlu ikhtiar besar, bila perlu nyawa dikorbankan.
Seiring berjalannya waktu, menggapai status pahlawan relatif menjadi lebih mudah, dan mediumnya menjadi lebih luas, bukan sebatas perjuangan bersenjata. Pebulutangkis seperti Rudy Hartono misalnya, di masa jayanya disanjung-sanjung bak pahlawan, dan statusnya sebagai pahlawan masih berlanjut hingga kini.
Di masa sekarang, untuk menjadi seorang pahlawan tidak perlu lagi bersusah payah seperti Rudy Hartono atau figur lain di masa lalu. Kini ada jalan pintas untuk menjadi "pahlawan”, yakni dengan cara menjadi politisi atau berusaha merapat pada kekuasaan. Hanya memang butuh modal yang lumayan besar, utamanya dalam urusan "tunggangan”. Benar, hahlawan hari ini adalah mereka yang keliling kota Jakarta dengan mobil kelas premium, seperti Alphard, Lexus, Vellfire, dan seterusnya, yang dalam dunia otomotif biasa disebut MPV (minivan).
Wajah mereka baru dikenali rakyat, saat akan turun dari kendaraan, karena saat mobil sedang berjalan, wajah mereka tersembunyi di balik kaca gelap. Mungkin karena udara Jakarta yang panas, kaca mobil harus terus ditutup, agar suhu sejuk dalam mobil terus terjaga.
Berkah bagi dealer mobil
Bisa jadi arah politik negeri ini sedang menuju menuju absurditas.
Pemilu yang masa kampanyenya berlangsung demikian gegap gempita dan cenderung brutal, yang disebut-sebut bakal membelah bangsa ini, ternyata yang memperoleh berkah dari semua ini adalah dealer mobil, itu pun sebatas dealer kelas premium. Salah satu tujuan pemilu adalah untuk kesejahteraan rakyat (bawah), bila kenyataan yang terjadi hanya menguntungkan pengusaha otomotif, berarti ada yang salah dengan proses politik kita.
Lalu kemana perginya ideologi Marhaenisme, yang sempat didengungkan PDIP selaku partai berkuasa (the ruling party), bila pada akhirnya yang muncul segelintir elite politik yang mengendarai Alphard atau Lexus. Bagaimana tidak, sejak masa kampanye, sampai hari-hari menjelang pelantikan presiden (20 Oktober), yang kita saksikan adalah sekumpulan elite-elite politik yang pergi kian kemari guna memperbesar akses dan alokasi kekuasaan. Saat momen itu ditayangkan media elektronik, mayoritas pemirsa niscaya akan ragu, bahwa buang-buang BBM seperti akan ada manfaatnya bagi rakyat kecil.
Ketika menyaksikan safari politik dengan berkendara mobil MPV, saya sempat berpikir keras, adakah peristiwa jauh di masa lalu, yang sekiranya bisa dijadikan model atau perbandingan. Ketika mencari padanannya dengan peristiwa politik masa lalu, sungguh terasa sulit. Sekadar catatan, di masa Orde Baru, Soeharto sangat berkuasa dan semuanya ditentukan olehnya, sehingga tidak pernah tejadi grudag-grudug elite politik seperti itu. Perjalanan hanya terjadi satu arah, elite politikwajib sowan ke Cendana, dan jangan berharap ada kunjungan balasan dari Soeharto.
Rasanya lebih mudah saat mencari padanannya pada kegiatan kesenian, khususnya kelompok kesenian tradisional, seperti ketoprak atau ludruk, yang di masa lalu biasa berkeliling menumpang bus atau truk, untuk pentas di kampung-kampung di pelosok Pulau Jawa. Atau bagi warga Jabodetabek lebih akrab dengan pentas komidi puter yang pentas dari kampung ke kampung, saat musim pasar malam.
Komparasi itu rasanya tidak berlebihan, mengingat dua entitas yang terlibat, yakni para elite politik dan para pegiatan kesenian (tradisional) sejatinya sama-sama mencari nafkah, hanya volumenya yang berbeda, para pegiat kesenian tradisional sekadar menyambung hidup. Sementara para elite politik berniat mencari nafkah, namun yang diincar demikian besar, maka diperlukan modal yang besar pula, yakni soal penampilan dan pencitraan, yang membutuhkan biaya sangat besar. Bahkan para pegiat kesenian keliling, dalam truk atau tobongnya biasanya diisi sembako dan peralatan masak demi menghemat pengeluaran.
Salah memahami Prabowo
Mengapa bisa terjadi fenomena Alphard atau Lexus dalam panggung politik kita? Salah satu "kesalahan” para elite politik kita adalah dalam memilih keteladanan. Coba bila mereka meneladani politisi luhur macam M. Natsir (tokoh Masyumi) atau M. Hatta (proklamator), tentu bencana politik seperti ini tidak akan terjadi.
Mungkin sudah tidak ada yang ingat lagi, bagaimana Natsir pulang ke rumah naik sepeda, usai pamit pada Presiden Soekarno di istana. Pada dekade 1950-an, kabinet acapkali berganti, salah satu Perdana Menteri masa itu adalah Natsir. Saat kabinetnya jatuh, Natsir mundur selaku PM, dan mobil dinasnya langsung dikembalikan pada negara. Tersebab itulah Natsir dengan ringannya naik sepeda kembali.
Atau Bung Hatta, yang hanya sanggup menyimpan iklan sepatu Bally, karena tidak sanggung membelinya, meski dalam posisi sebagai Wapres.
Bila figur masa lalu, seperti Natsir atau Bung Hatta, tidak lagi dijadikan model, lalu kira-kira siapa tokoh yang menjadi referensi perilaku para elite politik sekarang?
Saya menduga kuat, salah satu yang dijadikan model adalah Prabowo Subianto. Perlu saya tegaskan, saya sama sekali tidak bermaksud menyalahkan Prabowo. Kesalahan lebih pada pada para epigonnya.
Fenomena meniru Prabowo bisa terjadi, mengingat Prabowo adalah semacam "Indonesian dream”. Namun para epigon Prabowo ini, ternyata juga salah dalam memahami Prabowo. Mereka hanya melihat Prabowo pada sisi permukaannya saja.
Sejatinya Prabowo tidak mudah ditiru, karena Prabowo memiliki modal sosial dan finansial, yang belum tentu dimiliki orang lain pada umumnya. Modal dimaksud antara lain adalah, latar belakang hidupnya sangat kuat, seperti sejarah masa lalu keluarga besar yang gemilang, kemudian perjalanan hidupnya yang berliku, namun tetap saja selalu berakhir manis. Harus diakui Prabowo adalah trendsetter dalam kehidupan elite di Jakarta, bahkan sejak masih aktif di tentara dulu.
Ketika masih menjadi Komandan Kopassus (1995-1998), ketika komandan satuan lain umumnya masih mengendarai jeep (seperti CJ-7) sebagai kendaraan dinasnya, Prabowo menetapkan merek atau jenis kendaraan lain, yakni Range Rover bagi komandan di jajaran Kopassus, dan ini bersifat eksklusif, artinya kendaraan jenis itu hanya boleh dipakai oleh Kopassus.
Pembawaan Prabowo yang selalu ingin unggul dalam segala hal, kemudian terbawa-bawa terus saat dirinya terjun ke politik praktis. Cuma ada satu hal yang mungkin kurang diketahui publik, termasuk bagi para elite politik generasi baru, khususnya bagi yang ingin meniru gaya Prabowo. Poin dimaksud adalah soal kekuatan finansial Prabowo, sebuah sumber daya yang belum tentu dimiliki politisi kita pada umumnya.
Diperlukan "logika terbalik” dalam memahami Prabowo terkait gaya hidupnya. Prabowo berasal dari keluarga kaya raya, baru jadi tentara dan politisi. Jadi berkebalikan dengan tujuan politisi kita pada umumnya, yang terjun ke politik agar bisa sejahtera. Prabowo adalah figur yang benar-benar berbeda, saat masih menjadi komandan pasukan dahulu misalnya, dia tidak segan-segan mengeluarkan dana pribadi (atau dana keluarga besar dari pihak ayah) untuk membiayai satuannya, agar performa satuannya selalu unggul, termasuk dalam urusan menalangi pengadaan Range Rover, atau keperluan pasukan lainnya.
Kini bola panas ada di tangan Prabowo. Semoga saja Prabowo sadar betul bahwa dia menjadi trendsetter para politisi, khususnya dalam soal perilaku dan kendaraan. Bila berkuasa kelak, Prabowo harus bisa melaksanakan "revolusi mental”, salah satunya dengan bersedia mengendarai mobil sederhana, seperti biasa terjadi pada elite politik di India. Prabowo harus bisa tunjukkan itu, dengan mengendarai mobil Esemka misalnya.
Bila para politisi itu meniru Prabowo dalam hal patriotisme dan cinta Tanah Air, tentu rakyat akan senang. Namun, kalau yang ditiru adalah soal kebiasaan Prabowo dalam berkendara, sudah jelas para politisitersebut misleading, dan tentu saja hal itu bukan menjadi tanggungjawab Prabowo lagi.
Tokoh yang fana
Di luar sekian tokoh yang seakan-akan tak henti-hentinya bersafari politik dengan mengendarai Alphard atau Lexus, sebenarnya masih segelintir tokoh yang sempat memberi harapan. Secara acak saya hanya menyebut tiga nama saja. Tokoh dimaksud adalah Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie, dan Nono Sampono.
Tiga figur tersebut memiliki rekam jejak yang mumpuni, yang rasanya kita semua sudah mengetahuinya. Namun mereka menjadi terkesan tak berdaya juga, ketika memasuki pusaran kekuasaan. Daya tarik kekuasaan memang luar biasa, dan itu hanya bisa dipahami bagi yang pernah merasakannya. Bagi rakyat jelata (termasuk penulis), tentu akan sulit untuk mengerti, bagaimana besarnya magnitudo sebuah kekuasaan.
Seperti Mahfud MD dan Jimly misalnya, yang di masa lalu pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga yang sangat terhormat dan berwibawa, ternyata saat ini keduanya masih saja mencari-cari jalan untuk kembali ke lingkaran kekuasaan. Metafora yang paling pas untuk menggambarkan kekuasaan: ibarat minum air laut, semakin diminum akan semakin haus.
Bagaimana tokoh seperti Jimly masih berhasrat untuk memimpin DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI atau MPR RI, yang bila diperhitungkan secara kasar, jelas itu tidak mungkin. Namun Jimly terus saja maju, hingga sempat konflik kecil-kecilan dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas dalam forum DPD, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu bagi tokoh sekelas Jimly.
Begitu juga dengan Nono Sampono. Saat masih aktif di pasukan (Korps Marinir), Nono adalah perwira dengan prestasi membanggakan, sehingga namanya masuk dalam "radar” Jenderal Benny Moerdani (Pangab 1983 – 1988), dengan menjadi ajudan Jenderal Benny. Bagi yang sedikit mengetahui soal Korps Marinir, tentu akan paham bagaimana sulitnya menjadi jenderal melalui jalur kesatuan tersebut, mengingat pos jenderal untuk perwira marinir memang lebih terbatas, dan salah satu yang sedikit itu adalah Nono Sampono.
Nono Sampono sempat menjadi orang nomor satu di Korps Marinir, setelah sebelumnya sempat menjadi Komandan Paspampres di masa Presiden Megawati. Singkatnya, Nono adalah benar-benar orang yang terpilih. Namun apa yang kita lihat sekarang, sungguh sulit dimengerti. Nono Sampono ibarat "terjun bebas”. Bagaimana mungkin, dari perwira muda yang sempat masuk lingkaran Benny Moerdani, kemudian di masa tuanya justru terhegemoni oleh politisi semenjana Oesman Sapta Odang, ketika sama-sama aktif di DPD RI.
Namun saya cukup tenang, ketika membahas tiga nama tokoh tersebut (Mahfud, Jimly, Nono Sampono), saya belum sampai pada pengetahuan apa jenis kendaraan yang mereka pakai sehari-hari. Sehingga saya masih bisa berharap, bila mereka berkuasa kelak, seperti juga harapan saya pada Prabowo, yakni soal kesediaan mereka untuk mengendarai mobil produk anak negeri sendiri, seperti elite politik di India.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.