Di era milienia ini, siapa yang pas jadi figur rujukan sebagai pahlawan? Ada tokoh kontroversial dalam ulasan Aris Santoso, yang mungkin tak dikenal generasi belia.
Iklan
Generasi baru yang kini lebih populer disebut Generasi Y atau generasi milenium (mereka yang lahir di era 1990-an), terlihat jelas tidak terlalu peduli atas wacana pengangkatan figur Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Isu pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional hanya berputar di kalangan generasi pendahulu Generasi Y, generasi yang hari ini sedang sibuk-sibuknya dalam perburuan kekuasaan.
Pencarian figur yang bisa dijadikan rujukan selalu menjadi problem dari generasi ke generasi. Seorang figur yang telah memperoleh predikat Pahlawan Nasional, tidak secara otomatis menjadikan dirinya dikenal publik, khususnya bagi Generasi Y. Karena bisa jadi figur itu memang benar-benar tidak populer, sehingga tidak ada aspek yang menarik untuk dibahas. Tokoh (tidak menarik) semacam ini di negeri kita tak terhitung jumlahnya.
Dading Kalbuadi dan Amir Sjarifuddin
Dari sekian nama tokoh yang belum memperoleh status sebagai Pahlawan Nasional, saya menawarkan dua nama, yang sosoknya mungkin sudah hampir dilupakan, namun tetap menarik untuk dijadikan bahan diskusi, yakni Letjen. Purn. Dading Kalbuadi (meninggal Oktober 1999) dan Mr. Amir Sjarifuddin (meninggal Desember 1948). Saya mengajukan dua nama ini, berdasarkan pengamatan panjang atas latar belakang hidup mereka yang dramatis, kalau tidak boleh disebut sebagai tragedi.
Bagi saya sendiri Dading dan Amir layak menjadi rujukan perilaku lintas generasi, meski belum berstatus sebagai pahlawan nasional. Dan tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mempromosikan mereka agar masuk dalam nominasi Pahlawan Nasional. Ketiadaan status sebagai pahlawan, tidak mengurangi nilai keduanya dalam konteks kemanusiaan.
Dading dan Amir memiliki posisi yang khas di tengah khazanah figur nasional lainnya, setidaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, citra dirinya yang sedikit dramatis, kalau tidak boleh disebut sebagai kontroversial. Kedua, mereka tidak memiliki rekam jejak tindak korupsi, itu sebabnya posisinya selalu aktual.
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Foto: public domain
Dari Portugis ke VOC
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Foto: public domain
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Foto: public domain
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Foto: public domain
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Foto: public domain
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Foto: Imago
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.
Foto: public domain
Proklamasi di Pegangsaan
Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Foto: public domain
Sang Saka Merah Putih berkibar
Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.
Foto: public domain
Dari Sabang sampai Merauke
Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville
Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.
Foto: en.wikipedia.org/Indonesia/Public Domain
Penyerahan kedaulatan
Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.
Foto: public domain
Peta Hindia Belanda dan sekitarnya
Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.
Foto: public domain
Mencari makna kemerdekaan
Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Husni
13 foto1 | 13
Hidup Bersahaja
Dading adalah figur yang menarik. Tidak seperti perwira tinggi pada umumnya, yang cenderung bergaya hidup hedonis setelah masuk jajaran elite, sementara Dading tetap hidup bersahaja. Dia tidak meninggalkan kegemaran lamanya, yaitu menikmati nasi bungkus.
Kegemaran menikmati nasi bungkus, merupakan refleksi perjalanan hidup Dading yang akrab dengan operasi tempur, dan selalu ingin dekat dengan anak buahnya. Dading sudah terlibat pertempuran sejak usia belia, pada periode Perang Kemerdekaan (1946-1949), saat Dading masih duduk di bangku SMP Purwokerto. Dia tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM (Indonesia Merdeka atau Mati), yang umumnya beranggotakan pelajar di Kota Purwokerto, yang dikenal sebagai ibukota eks Karesidenan Banyumas.
Satuan ini terbilang unik, karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo, di bawah pimpinan Mayor Achmadi. Hal ini bagian dari semangat tradisi banyumasan, sebagai daerah “pinggiran” yang tidak selalu tunduk pada Solo dan Yogya, sebagai pusat kultur Mataraman. Aspirasi ini rupanya juga merembes di kalangan generasi mudanya, sehingga mereka membentuk pasukan pelajar secara mandiri, lepas dari bayang-bayang satuan TP.
Setelah bergabung dalam Korps Baret Merah (Kopassus) pasca perang kemerdekaan, tidak ada operasi tempur yang tidak diikuti Dading. Mulai palagan menumpas DI/TII di Jawa Barat, operasi PRRI/Permesta di Sumbar, hingga Operasi Seroja di Timor Leste. Dari biografi Benny Moerdani kita bisa mengetahui, saat terlibat dalam operasi PRRI, Dading hampir saja tewas, akibat lehernya terkena pecahan mortir.
Nama Dading semakin terkenal, saat memimpin Operasi Flamboyan (1974), sebuah operasi tempur semi tertutup di Timor Leste, yang menjadi pendahulu dari Operasi Seroja, yang lebih terbuka. Di tengah palagan Operasi Seroja inilah, Dading dipromosikan sebagai brigadir jenderal. Sampai sekarang nama Dading masih dijadikan referensi perwira muda, sebagai model komandan tempur sejati di era Indonesia modern.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Foto: picture-alliance/ANP
9 foto1 | 9
Adakah yang lebih tragis dari Amir?
Demikian juga dengan Amir. Dengan gelar akademis dan jaringan yang dimilikinya, dia sama sekali tidak terlihat berupaya menumpuk kekayaan, meskipun peluang itu ada.
Amir pernah membuka praktik sebagai pengacara, dan pernah bekerja pada Departemen Perekonomian Pemerintah Hindia-Belanda di bawah HJ van Mook. Kelak saat Amir menjabat Perdana Menteri RI, dia berjumpa kembali dengan van Mook, selaku kepala pemerintahan NICA.
Adakah yang lebih tragis dari Amir? Saat namanya diumumkan sebagai Menteri Penerangan pada kabinet pertama pasca Proklamasi, dirinya masih meringkuk dalam penjara (tahanan penjajah Jepang). Sebagai seorang mantan Perdana Menteri tidak ada warisan yang layak untuk ditinggalkan bagi keluarganya, usai dirinya dieksekusi mati.
Sebagai tokoh kontroversial
Ada bagian yang mirip antara Dading dan Amir, yaitu soal posisi seorang sahabat. Bagaimana seorang sahabat bisa menentukan jalan hidup seseorang. Dading banyak dibantu oleh Jenderal Benny Moerdani, sahabatnya sejak lama. Sedangkan sahabat Amir sejak masa pergerakan, yaitu M Hatta (selaku Perdana Menteri), justru terlihat tidak sungguh-sungguh untuk menyelamatkannya Amir dari hadangan regu tembak.
Tidak terlalu salah bila Dading dan Amir disebut tokoh kontroversial. Dading terkait perannya dalam operasi tempur di Timor Leste, sementara Amir sehubungan dengan keterlibatannya dengan Peristiwa Madiun 1948. Saya kira itu manusiawi, setiap orang selalu memiliki sisi kelabu, seperti bunyi pepatah lama, tidak ada manusia yang sempurna.
Relevansi Konsep Ben Anderson
Gairah hidup yang kini sedang dijalani Generasi Y linier dengan konsep Indonesianist terkemuka Ben Anderson (almarhum). Menurut Ben, revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun. Kalau kita percaya pada asumsi Ben Anderson, sebenarnya di zaman apapun, lebih khusus lagi di masa sekarang, tidak ada tempat bagi aspirasi konservatif
Namun sayang, dinamika dan kreativitas membuncah yang lahir dari Generasi Y, acapkali tidak bisa dimengerti elite pengusa. Dipilihnya Jenderal Purn. Wiranto sebagai Menkopolhukam baru-baru ini, adalah bukti tidak pahamnya penguasa dengan “dunia batin” generasi baru.
VOC - Mendunia Berkat Bumi Indonesia
VOC menjelma menjadi raksasa dagang berkat menguasai bumi Indonesia. Kompeni bentukan Belanda itu bertindak layaknya negara. Tapi lalu remuk tanpa bersentuhan dengan musuh. Ini perusahaan multinasional pertama di dunia.
Foto: public domain
Jelajah Bumi demi Rempah
Rempah adalah faktor besar yang mendorong kolonialisme. Tidak berbeda dengan Belanda. Lantaran takut tersaingi oleh Portugis dan Inggris, negeri kincir angin ini membentuk perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memonopoli jalur perdagangan rempah di Asia. Berbekal kekuasaannya di Indonesia, VOC menjelma menjadi raksasa multinasional pertama di dunia.
Foto: picture-alliance/akg
Negara dalam Negara
VOC bukan cuma sekedar perusahaan biasa. Ia bertindak layaknya sebuah negara. Kompeni bentukan Belanda ini misalnya berwenang buat merangkai perjanjian multilateral, membangun koloni, memenjarakan dan mengeksekusi mati terpidana, membangun pasukan bersenjata dan membentuk mata uang sendiri.
Foto: public domain
Kaya dan Berkuasa
Sejak berdiri tahun 1602 hingga 1799, VOC tercatat mempekerjakan hampir satu juta penduduk Eropa dan mengirimkan 4785 kapal dagang ke Asia yang membawa sekitar 2,5 juta ton barang dagang. Berkat keberhasilan di Indonesia, VOC bahkan mampu menerbitkan saham pertama di dunia (gambar).
Foto: Privat
Jayakarta Menjadi Batavia
Awalnya VOC mendapat hak dagang dari kesultanan Banten. Namun Gubernur Jendral VOC pertama, Pieter Both memilih Jayakarta sebagai pusat administrasi. Belanda kemudian mengubah kota kecil itu menjadi kota dagang besar dengan benteng dan pelabuhan.
Foto: public domain
Coen, Jagal dari Batavia
Adalah Jan Pieterszoon Coen yang bertanggungjawab atas dominasi VOC di Indonesia. Sempat nyaris terusir oleh Pangeran Jayakarta, Belanda tahun 1627 lalumenugaskan Coen untuk menumpas tentara kerajaan Jayakarta. Setelah berkuasa, Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Oleh sejahrawan, ia digambarkan sebagai pribadi yang kejam dan gemar menggunakan kekerasan.
Foto: gemeinfrei
Jantung Kolonialisme
Nama Batavia berasal dari nama suku Germanik, Batavi, yang bermukim di kawasan sungai Rhein. Penduduk Belanda meyakini, suku tersebut adalah nenek moyang mereka. Di kota baru ini, Belanda membangun banyak infrastruktur yang terutama berfungsi sebagai kantor administrasi, pangkalan militer, pelabuhan dan berbagai tempat hiburan buat penduduk non pribumi.
Foto: public domain
Menggurita di Asia
Kendati bermarkas di Batavia, aktivitas dagang VOC melebar ke wilayah Asia Timur semisal Cina dan Jepang. Indonesia saat itu adalah pemasok rempah terbesar dunia di samping Asia Selatan. Nilai perusahaan swasta Belanda itu ditaksir mencapai 7,4 Milyar US Dollar dengan nilai uang saat ini.
Foto: public domain
Remuk dari Dalam
Tanpa lawan yang memadai, VOC sejatinya mampu bertahan hidup lebih lama. Tapi korupsi yang merajalela membuat perusahaan multinasional pertama di dunia itu ambruk di tahun 1799. Akibatnya semua aset dan utang VOC dilimpahkan pada kerajaan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, menjadi milik Republik Indonesia.
Foto: public domain
8 foto1 | 8
Pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam, mengingatkan kita pada apa yang dulu pernah diucapkan Jenderal Purn Hendro Priyono, saat dirinya digeser dari Pangdam Jaya ke Komandan Kodiklat TNI AD, sekitar tahun 1995.
Hendro sebenarnya agak kesal dengan perpindahan itu, hingga sempat terlontar kalimat keras: ‘lebih baik hidup sehari sebagai macan, daripada hidup seribu tahun tetapi kambing‘. Ungkapan Hendro ini pas untuk menggambarkan figur Wiranto, bahwa durasinya sebagai elit militer dan politik memang terbilang panjang, namun semuanya adalah kesia-siaan belaka.
Merujuk observasi lapangan, dengan mengunjungi komunitas Generasi Y, dari sekian lontaran gagasan yang muncul, ada satu gagasan yang saya kira sangat cemerlang, dan genuine dari generasi ini. Mereka ingin agar lagu kebangsaan (Indonesia Raya), bisa dipadatkan. Dibuat versi yang lebih ringkas, tanpa mengurangi esensinya. Versi ringkas ini lebih diperuntukan bagi kepentingan event internasional, agar tidak merepotkan panitia lokal, dan juga agar penonton (mancanegara) tidak terlalu lama menunggu.
Gagasan ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap masa depan bangsa, sebagai antisipasi bila atlet Indonesia mampu berjaya di tingkat internasional. Dibandingkan dengan lagu kebangsaan negara lain, terutama negara maju, lagu kebangsaan kita memang terlihat terlampau panjang. Hingga lahir gagasan cerdas itu.
Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga HAM (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.