Setelah lebih dari 30 tahun, pemerintah Pakistan akhirnya berencana memberikan penghargaan untuk Abdus Salam, fisikawan pemenangan hadiah Nobel yang berkeyakinan Islam Ahmadiyah
Iklan
Sejak lama kaum minoritas Ahmadiyah di Pakistan tidak diakui, dilarang menyebut diri muslim dan mengalami presekusi oleh aparat keamanan atau kaum ekstremis Islam.
Tahun 1979 Abdus Salam mencatatkan diri sebagai muslim pertama yang memenangkan hadiah Nobel. Bersama Sheldon Glashow dan Steven Weinberg, ia membuka jalan bagi penemuan Higgs Boson alias "partikel tuhan," yang merupakan terobosan terbesar ilmu pengetahuan dalam 100 tahun terakhir.
Namun berkat protes dari ulama garis keras, Abdus Salam dilarang mengajar di universitas negara semur hidup, bahkan setelah memenangkan penghargaan Nobel.
Ladang Diskriminasi
Kini Perdana Menteri Nawaz Sharif berencana menghormati prestasinya itu dengan menamakan institut National Centre for Physics di Quaid-i-Azam University di Islamabad dengan nama Salam. "Perdana menteri telah menginstruksikan Kementerian Pendidikan untuk mengambil langkah formal," tulis kantor kepresidenan, Senin (5/12).
Pakistan sejak lama menjadi ladang diskriminasi buat minoritas Ahmadiyah. Tahun 1974 pemerintah mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai non muslim. Sepuluh tahun kemudian parlemen menelurkan Undang-undang yang mengancam setiap warga Ahmadiyah dengan hukuman penjara jika mengaku sebagai umat muslim.
Ulama garis keras bahkan mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah warga Ahmadiyah dan menjanjikan surga buat mereka yang membunuh pengikutnya. Tindak presekusi bahkan dilakukan dengan menyebarkan pamflet berisikan nama dan alamat pengikut Ahmadiyah.
Nasib Salam tidak jauh berbeda. Kuburannya di Rabwah, kota yang menjadi pusat komunitas Ahmadiyah di Pakistan, berulangkali dirusak. Pemerintah lokal bahkan mencoret kata "muslim" dari batu nisan Salam yang bertuliskan "Muslim pertama pemenang Nobel."
Tari Mengusir Takut: Kisah Waria di Pakistan
Ketika siang hari, Waseem berdagang aksesoris ponsel. Di malam hari ia berubah sosok jadi penari perempuan. Profesinya itu bukan tanpa risiko di negeri yang berada di bawah cengkraman kaum ultra konservatif itu
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Bergoyang di Malam Hari
Ketika malam menyaput Rawalpindi, Waseem berganti rupa. Pria berusia 27 tahun itu berlaku sebagai "hijra," yakni jenis kelamin ketiga. Jumlahnya diyakini mencapai ribuan di Pakistan. Kaum Hijra sangat diminati sebagai penari di pesta pernikahan atau kelahiran bayi. Acara semacam itu adalah satu-satunya kesempatan bagi waria Pakistan untuk diterima oleh masyarakat.
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Normal di Siang Hari
Sewaktu siang menyambang, Waseem menjajakan aksesoris ponsel di sebuah pasar di jantung kota Rawalpindi. Rekan kerja dan teman-teman terdekatnya sekalipun tidak mengetahui aktivitas terselubungnya pada malam hari.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Muheisen
Kenalkan, Rani sang Penari
Buat Waseem, kehidupan gandanya itu diperlukan untuk mencapai kemakmuran. "Menjadi penari menggandakan penghasilan saya ketimbang cuma bekerja di toko," ujarnya. Buat kaum Hijra, hidup adalah pergulatan tak berujung. Mereka yang tak berbakat menjadi penari, kebanyakan terseret dalam arus prostitusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bersama dalam Keterasingan
Sebagian besar kaum muslim Pakistan membenci kaum yang disebut "mahluk antara perempuan dan laki-laki," itu. Tidak jarang Hijra menjadi sasaran penganiayaan di tempat-tempat umum. Sebab itu pula kaum waria Pakistan hidup menyendiri di dalam komunitas tertutup. "Hidup bersama penari lain seperti keluarga. Cuma bersama mereka lah saya merasa aman dan dihormati," ujar Bekhtawar, 43 tahun
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Diakui tapi Dicampakkan
Banyak kaum waria memilih anonimitas kota besar dan menyembunyikan identitas asli dari rekan kerja atau bahkan keluarga. Hukum di Pakistan sebenarnya memihak mereka. 2011 silam Mahkamah Agung di Islamabad memutuskan negara mengakui jenis kelamin ketiga. Artinya kaum Hijra berhak menuliskan jenis kelamin waria di dalam passpor, formulir kerja atau keuangan serta berhak memilih.
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Demi Kesetaraan
Untuk pertama kalinya kaum transgeder seperti Bindiya Rana (ka.) mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, 2013 silam. Kendati gagal, ia tetap berjuang demi kesetaraan dan melawan diskriminasi.
Foto: picture-alliance/AP/Shakil Adil
Berani Akui Identitas Hijra
Hingga kini cuma segelintir kaum transgender yang berani membuka identitas dirinya seperti Amjad. "Satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan adalah mengandung bayi," ujarnya.