Paksa Parlemen Reses Panjang, PM Inggris Disebut Diktator
29 Agustus 2019
Ribuan warga Inggris turun ke jalan di London hari Kamis (29/8) untuk melampiaskan kemarahan mereka atas keputusan PM Boris Johnson meliburkan parlemen mulai 9 September sampai 14 Oktober 2019.
Iklan
Dalam upaya membungkam kritik terhadap kebijakannya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson melakukan langkah luar biasa. Dia memutuskan bahwa parlemen diliburkan mulai 9 September sampai 14 Oktober mendatang. Langkah itu mengejutkan para lawan politiknya maupun penentang Brexit No Deal, yaitu proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa perjanjian.
Hari Kamis (29/8) aksi protes bermunculan dan menyebar di jalan-jalan di London. Bahkan di kalangan Partai Konservatif sendiri, langkah tidak biasa Boris Johnson menyulut debat. Sebuah petisi online dengan cepat mengumpulkan sampai satu juta tandatangan menentang kebijakan Boris Johnson.
Pembekuan kegiatan parlemen selama lima minggu adalah tidak biasa, karena biasanya parlemen hanya reses selama dua minggu. Namun belakangan, kritik dan penentangan terhadap Boris Johnson makin lantang, karena ia ingin mendorong proses Brexit tanpa perjanjian, sekalipun kalangan ekonomi dan keuangan berulangkali memperingatkan, langkah itu akan membawa kerugian besar dan mengguncang perekonomian Inggris.
"Langkah berbahaya"
Pemimpin oposisi dari Partai Buruh Jeremy Corbyn menggambarkan berbagai reaksi protes sebagai "kemarahan konstitusional", Demokrat Liberal Jo Swinson menyebut itu "berbahaya dan tidak dapat diterima."
Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon juga dengan cepat mengecam keputusan PM Boris Johnson. "Ini bukan cara demokrasi, ini adalah kediktatoran. Dan jika anggota parlemen tidak menemukan cara untuk bersama-sama menghentikan Boris Johnson di jalurnya, maka hari ini akan dicatat sejarah sebagai hari kematian demokrasi Inggruis Raya," katanya.
Parlemen akan diliburkan mulai pertengahan September dan dibuka kembali pada 14 Oktober, hanya dua minggu sebelum batas waktu Inggris keluar dari Uni Eropa. Banyak yang melihat langkah itu sebagai akal Boris Johnson untuk membungkam para pengeritiknya. Karena dalam waktu dua minggu, hampir tidak mungkin menggagas alternatif lain, selain proses Brexit tanpa perjanjian.
"Seperti seorang diktator"
Boris Johnson sendiri membantah bahwa dia berusaha membungkam para anggota parlemen. "Akan ada cukup waktu di parlemen, bagi anggota parlemen, untuk berdebat tentang Brexit," tandasnya.
Partai Buruh mengumumkan akan memungkinkan sesi debat tentang Brexit minggu depan. Mereka berharap bisa memperkenalkan rancangan undang-undang yang akan memblokir langkah Brexit tanpa kesepakatan, sehingga bisa menjegal maksud PM Boris Johnson.
Ribuan orang melakukan aksi spontan di sekitar gedung parlemen di London dengan kampanye bertagar #StopTheCoup di media sosial. Mereka bertekad menghentikan Boris Johnson yang mereka anggap sudah bertindak seperti seorang diktator yang melakukan kudeta terhadap parlemen yang demokratis.
hp/vlz (rtr, afp, ap)
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.