Soekarno diangkat menjadi pahlawan nasional tanpa penentangan berarti. Bagaimana dengan Suharto, yang mengawut-awut kehidupan satu negara semata untuk kenyamanan satu keluarga? Berikut pandangan Geger Riyanto.
Iklan
Soekarno punya kekurangannya. Hatta, kolega terdekatnya, pernah menggambarkannya tanpa tedeng aling-aling. Sang Presiden adalah diktator. Ia tak terima kritik. Ia membangun sistem yang akan rontok seketika ia pergi.
Dan, ironis. Tak lama setelah tulisan "Demokrasi Kami" yang memuat kritik Hatta terbit, koran-koran diperingatkan agar tidak menerbitkan pikirannya lagi. Mantan wakil presiden pertama itu selepasnya kesulitan untuk bersuara melalui media, bahkan dengan media yang rutin menerbitkan pandangannya.
Kondisi ekonomi dan politik Indonesia memang ruwet pada masa itu. Ada yang mengatakan otoritarianisme Soekarno di sana-sini dapat dimaklumi. Di tengah-tengah maraknya pemberontakan sejumlah daerah serta kelompok, mencuatnya pendapat figur sekelas Hatta di publik rawan menginspirasi insurgensi baru. Dan Soekarno, kalau kita mau bersimpati dengannya, adalah sosok yang terlalu mencintai keutuhan Indonesia.
Namun, satu hal tetap tak dapat ditampik. Soekarno punya seteru. Ketidakpuasan Hatta pun, dapat dipastikan, hanya pucuk dari kegeraman yang terlihat. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus-menerus menanjak dan ketidakengganan Soekarno memperlihatkan keriaan-keriaan istana ke khalayak, antipati terhadap presiden adalah hal yang terpupuk dan terus terpupuk.
Soe Hok Gie menumpahkan kepenatan ini dalam catatan hariannya. Soekarno, ia mencurigai, sedang didekadensi secara sistematis. "Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar-kaisar yang punya harem," tulis Gie. "Tiap minggu diadakan pesta di istana dengan omongan cabul dan perbuatan-perbuatan cabul."
Koruptor Paling Tamak Dalam Sejarah
Hampir tidak ada diktatur di dunia yang tidak menilap uang negara. Tapi ketika sebagian puas dengan vila atau jet pribadi, yang lain rakus tanpa henti. Berikut daftar koruptor yang paling getol mengumpulkan uang haram
Foto: AP
#1. Soeharto, Indonesia
Selama 32 tahun berkuasa di Indonesia, Suharto dan keluarganya diyakini menilap uang negara antara 15 hingga 35 miliar US Dollar atau sekitar 463 trilyun Rupiah. Jendral bintang lima ini lihai menyembunyikan kekayaannya lewat berbagai yayasan atau rekening rahasia di luar negeri. Hingga kini kekayaan Suharto masih tersimpan rapih oleh keluarga Cendana
Foto: picture alliance/CPA Media
#2. Ferdinand Marcos, Filipina
Ferdinand Marcos banyak menilap uang negara selama 21 tahun kekuasaanya di Filipina. Menurut Transparency International, ia mengantongi setidaknya 10 milyar US Dollar. Terutama isterinya, Imelda, banyak menikmati uang haram tersebut dengan mengoleksi lebih dari 3000 pasang sepatu. Imelda kini kembali aktif berpolitik dan ditaksir memiliki kekayaan sebesar 22 juta USD
Foto: picture-alliance/Everett Collection
#3. Mobutu Sese Seko, Zaire
Serupa Suharto, Mobutu Sese Seko berkuasa di Zaire selama 32 tahun. Sang raja lihai memainkan isu invasi negara komunis Angola untuk mengamankan dukungan barat. Ketika lengser, Mobutu Sese Seko menilap hampir separuh dana bantuan IMF sebesar 12 milyar US Dollar untuk Zaire dan meninggalkan negaranya dalam jerat utang.
Foto: AP
#4. Sani Abacha, Nigeria
Cuma butuh waktu lima tahun buat Sani Abacha untuk mengosongkan kas Nigeria. Antara 1993 hingga kematiannya tahun 1998, sang presiden meraup duit haram sebesar 5 milyar US Dollar atau sekitar 66 trilyun Rupiah. Sesaat setelah meninggal, isterinya lari ke luar negeri dengan membawa 38 koper berisi uang. Polisi kemudian menemukan perhiasan senilai jutaan dollar ketika menggeledah kediaman pribadinya
Foto: I. Sanogo/AFP/Getty Images
#5. Slobodan Milosevic, Serbia
Slobodan Milosevic yang berkuasa di Serbia antara 1989-1997 dan kemudian Yugoslavia hingga 2000 tidak cuma dikenal berkat serangkaian pelanggaran HAM berat yang didakwakan kepadanya, melainkan juga kasus korupsi. Selama berkuasa Milosevic diyakini menilap uang negara sebesar 1 milyar US Dollar atau sekitar 13 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
#6. Jean-Claude Duvalier, Haiti
Selama 15 tahun kekuasaannya di Haiti, Jean-Claude Duvalier tidak cuma bertindak brutal terhadap oposisi, tetapi juga rajin mengalihkan uang negara ke rekening pribadinya di Swiss. Saat kembali dari pengasingan 2011 silam, Duvalier didakwa korupsi senilai 800 juta US Dollar.
Foto: picture-alliance/AP/Dieu Nalio Chery
#7. Alberto Fujimori, Peru
Alberto Fujimori berkuasa selama 10 tahun di Peru. Buat pendukungya, dia menyelamatkan Peru dari terorisme kelompok kiri dan kehancuran ekonomi. Tapi Fujimori punya sederet catatan gelap, antara lain menerima uang suap dan berbagai tindak korupsi lain. Menurut Transparency International ia mengantongi uang haram sebesar 600 juta US Dollar atau sekitar 8 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Soekarno menjadi pahlawan nasional
Soekarno diangkat menjadi pahlawan nasional pada 2012, tanpa keberatan berarti. Tak ada yang mempertanyakan kelayakannya. Kini, pertanyaan saya, apakah figur Soekarno akan memperoleh gelarnya semulus itu andai penghargaan diadakan awal 1970-an? Kita boleh meragukannya. Benar, kita tak bisa melupakan Orde Baru tengah melancarkan upaya-upaya desukarnoisasi saat itu. Tetapi, ingatan buruk publik ihwal masa kepemimpinannya pun masih terlalu pekat.
Terlepas benar atau salah tindakan-tindakannya sebagai presiden, sosok Soekarno belum pudar kelekatannya dengan masa-masa ekonomi paling pelik dalam sejarah pemerintahan Indonesia serta ketidakmampuan jajaran pemerintahan menanggapinya dengan satu bahasa yang dimengerti insan awam: cepat. Kendati masih memiliki basis pendukung dan citra yang nyaris mesianistis, Sukarno pun sudah menjadi sosok yang fana.
Penobatan kepahlawanan Soekarno, setidaknya bisa dipastikan, akan menghadapi lebih banyak suara miring dibanding ketika ia diangkat pahlawan nasional oleh Presiden SBY tempo hari, pada saat publik sudah berjarak dengan kekalutan pada masanya.
Bagaimana dengan Suharto?
Dan kini, pertanyaan kedua saya. Apakah Suharto, yang saat ini tengah diragukan kepatutannya untuk menjadi pahlawan nasional, sedang mengalami nasib yang saya ilustrasikan barusan? Apakah kita masih terlalu dekat dengan detik-detik pelengserannya sehingga belum bisa berpikir melampaui peninggalan-peninggalan buruknya? Apakah pikiran kita masih belum cukup jernih untuk memikirkan maslahat yang dibawakan kepresidenannya?
Suharto, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, lagi pula, memiliki cerita-cerita suksesnya. Kepresidenannya melanggengkan pemerintahan stabil yang benar-benar hanya dapat diimpikan sebelumnya. Seperti julukannya, Bapak Pembangunan, eranya diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang menjulang.
Singkat kata, argumentasi mengapa Suharto layak dijadikan pahlawan nasional akan selalu ada.
Namun, kita seyogianya tidak lupa dengan satu hal yang akan saya sampaikan ini, sampai kapan pun. Pada masa Suharto, kita pernah menjadi saksi tak berdaya ketamakan tiada tara yang dilindungi kesewenang-wenangan mengerikan. Gambarannya? Saya belum bisa membayangkan penggambaran yang lebih tepat dari analogi informan penelitian disertasi Francisia SSE. Seda ini.
"Bu, kalau kepala desa bisa memiliki dua lumbung, bukankah hal yang biasa bila presiden memiliki tiga lumbung?"
“Boleh-boleh saja. Masalahnya, orang-orang tersebut [Suharto dan para kroni] tidak memiliki tiga, melainkan sepuluh.”
Itulah yang, nyaris secara harfiah, terjadi.
Perkenankan saya memperlihatkan sekadar beberapa di antara kemarukan yang sangat memalukan tersebut.
Kemarukan demi kemarukan
Mungkin tak semua ingat ketika saya menyebut satu akronim ini: BPPC. Tetapi, banyak warga Indonesia Timur tak akan lupa. Mereka mengingat pendirian Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh ini sebagai permulaan hari-hari di mana mereka menebangi pohon cengkeh milik mereka.
Pada 1992, Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden yang berujung cengkeh hanya bisa dipasarkan melalui BPPC. Badan ini diketuai oleh, terka saja, Hutomo Mandala Putra. Tommy Suharto. Sebelumnya, cengkeh dapat ditaksir Rp9.000-10.000 per kilogram. Tetapi, BPPC menetapkan petani harus melepasnya ke KUD dengan harga serendah Rp2.000-2.500 per kilogram (Pindai, 09/04).
Para petani, tentu saja, tak punya pilihan. Anak-anak petani cengkeh tak bisa melanjutkan sekolah. Banyak petani yang sebagai akibatnya terbelit kemiskinan dan sebagian memilih merantau ke kota, menjadi buruh kasar. Dan BPPC? BPPC, sebelum dibubarkan Gus Dur pada 1998, ditaksir ICW mengambil sejumlah uang yang seharusnya disalurkan kembali kepada petani. Negara dirugikan sebesar Rp1,9 triliun. Uang yang masuk ke kocek Tommy? Entah.
Ini baru satu cerita. Pada 1980, menurut laporan Tempo 16 November 1998, impor dan ekspor minyak serta gas Pertamina dilakukan oleh sebuah perusahaan perantara, Permindo. Perusahaan ini dimiliki tak lain oleh Bambang Trihatmojo, putra kedua Suharto, dan nama lain yang tak asing, Aburizal Bakrie. Perusahaan ini menghasilkan Rp183 miliar tiap bulan sampai dengan ia dibubarkan pada 1998.
Mesin Uang Gurita Cendana
Keserakahan keluarga Cendana nyaris membuat Indonesia bangkrut. Oleh banyak pihak keluarga Suharto disebut mengantongi kekayaan sebesar 200 triliun Rupiah. Inilah jurus gurita cendana mengeruk duit haram dari kas negara:
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Gurita Harta
Suharto punya cara lihai mendulang harta haram. Ia mendirikan yayasan untuk berbinis dan mendeklarasikannya sebagai lembaga sosial agar terbebas dari pajak. Dengan cara itu ia mencaplok perusahaan-perusahaan mapan yang bergerak di bisnis strategis, seperti perbankan, konstruksi dan makanan. Menurut majalah Time, Suharto menguasai 3.6 juta hektar lahan, termasuk 40% wilayah Timor Leste
Foto: AP
Yayasan Siluman
Tidak hanya menghindari pajak, yayasan milik keluarga Cendana juga mendulang rejeki lewat dana sumbangan paksaan. Cara-cara semacam itu tertuang dalam berbagai keputusan presiden, antara lain Keppres No. 92/1996 yang mewajibkan perusahaan atau perorangan menyetor duit sebesar 2% dari penghasilan tahunan. Dana yang didaulat untuk keluarga miskin itu disetor ke berbagai yayasan Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/J. Macdougall
Bisnis Terselubung
Bekas Jaksa Agung Soedjono Atmonegoro pernah menganalisa laporan keuangan ke empat yayasan terbesar Suharto. "Yayasan ini dibentuk untuk kegiatan sosial," tuturnya. "Tapi Suharto menggunakannya untuk memindahkan uang ke anak dan kroninya." Soedjono menemukan, Yayasan Supersemar menggunakan 84% dananya untuk keperluan bisnis, semisal pinjaman lunak kepada perusahaan yang dimiliki anak dan kroninya
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong
Lewat Kartel dan Monopoli
Cara lain yang gemar ditempuh Suharto untuk menggerakkan mesin uang Cendana adalah melalui monopoli. Teman dekatnya, The Kian Seng alias Bob Hasan, misalnya memimpin kartel kayu lewat Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO). Pengusaha yang kemudian dijebloskan ke penjara itu sering disebut sebagai ATM hidup keluarga cendana.
Foto: Getty Images/AFP/Firman
Bisnis Tepung Paman Liem
Taipan lain yang juga menjadi roda uang Cendana adalah Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong. Sejak tahun 1969 pengusaha kelahiran Cina itu sudah mengantongi monopoli bisnis tepung lewat PT. Bogasari. Dari situ ia membangun imperium bisnis makanan berupa Indofood. Pria yang biasa disapa "Paman Liem" ini juga menjadi mentor bisnis buat putra putri Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Uang Minyak
Bukan rahasia lagi jika Pertamina pada era Suharto menjelma menjadi dompet raksasa keluarga Cendana. Sejak awal sang diktatur sudah menempatkan orang kepercayaannya, Ibnu Sutowo, buat memimpin perusahaan pelat merah tersebut. Sutowo kemudian memberikan kesaksian kepada majalah Time, tahun 1976 ia dipaksa menjual minyak ke Jepang dan menilap 0,10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak yang diekspor.
Foto: picture-alliance/dpa
Pewaris Tahta Cendana
Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut sejak awal sudah diusung sebagai pewaris tahta Cendana. Putri tertua Suharto ini tidak cuma menguasai puluhan ribu hektar lahan sawit, stasiun televisi TPI dan 14% saham di Bank Central Asia, tetapi juga memanen harta tak terhingga lewat jalan tol. Hingga 1998 kekayaannya ditaksir mencapai 4,5 triliun Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Merajalela Lewat Bulog
Dari semua putera Suharto, Bambang adalah satu-satunya yang paling banyak berurusan dengan Liem Sioe Liong. Setelah mendirikan Bimantara Grup, Bambang terjun ke bisnis impor pangan lewat Badan Urusan Logistik yang saat itu didominasi Liem. Menurut catatan Tempo, selama 18 tahun kroni Suharto mengimpor bahan pangan lewat Bulog senilai 5 miliar Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Duit Cengkeh untuk Tommy
Melalui monopoli Hutomo Mandala Putra meraup kekayaan hingga 5 triliun Rupiah. Tahun 1996 ia mendapat status pelopor mobil nasional dan berhak mengimpor barang mewah dan suku cadang tanpa dikenai pajak. Selain itu Tommy juga menguasai Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang memonopoli penjualan dari petani ke produsen rokok. BPPC ditengarai banyak membuat petani cengkeh bangkrut.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Akhir Pahit Diktatur Tamak
Secara lihai Suharto membajak pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan keluarga. Menurut Bank Dunia, antara 1988 hingga 1996, Indonesia menerima investasi asing senilai USD130 miliar. Tapi struktur perekonomian yang dibuat untuk memperkaya kroni Cendana justru menyeret Indonesia dalam krisis ekonomi dan mengakhiri kekuasaan sang jendral. (rzn/yf: economist, times, bloomberg, bbc, kompas, tempo)
Foto: Gemeinfrei
10 foto1 | 10
Di sisi suplai dan distribusi bensin dari industri yang sama, terdapat lima pemain dan kelimanya punya relasi dengan Suharto serta keluarganya. Proyek pemasangan pipa gas sepanjang Pulau Jawa dimonopoli Tutut. Pembangunan Depo Pertamina dijalankan Ari Sigit. Enam puluh persen distribusi BBM di Indonesia dikuasai Titik Suharto—yang hari ini menjadi anggota DPR dari fraksi Golkar.
Dan, selain masih banyak lagi fakta penguasaan sumber daya berharga yang mencengangkan, masing-masing anak Suharto memiliki jatah sumur minyaknya.
Pemandangan keseharian keluarga Suharto ini bukan hanya memuakkan bagi warga biasa. Para jenderal, yang pernah begitu dipercaya Suharto dan memiliki aktivitas licinnya masing-masing, juga tak dapat menahan kegeramannya dari waktu ke waktu.
Ibnu Sutowo, ambil saja, yang kemudian memiliki dinasti bisnisnya sendiri yang acap dianggap bermasalah, tak menahan diri untuk berpendapat blak-blakan dalam wawancara dengan Seda. Suharto, menurutnya, terlalu korup. Ia tak akan pernah bisa mempunyai strategi industrialisasi nasional jangka panjang, imbuhnya.
Dan sejauh apa keberatan warga awam punya arti dalam situasi ini?
Saya gambarkan saja dengan sebuah cerita. Menurut satu cerita yang direkam A. Pambudi dalam bukunya Sintong dan Prabowo, suatu hari ketika keduanya bersantai bersama, Benny Murdani mengingatkan Suharto perihal anak-anaknya. Suharto, yang sedang bermain bilyar dengannya, serta-merta saja hening. Ia lantas memasuki kamarnya, meninggalkan Murdani sendirian. Suharto tersinggung.
Pada saat itu juga Murdani sadar, kata-katanya telah membelejeti kariernya sendiri. "Wah, bapake kethoke nesu banget," ujar Benny kepada Sudomo setelahnya. "Jadi [karier] saya pasti sudah selesai, hanya akan sampai di sini." Dan Murdani benar.
Murdani bukan orang sembarangan. Menurut David Jenkins yang menyusun penelitian paling komprehensif tentang drama di antara Suharto dan para jenderalnya, Murdani adalah salah satu sosok paling berkuasa di Indonesia pada masanya.
Memang, ada versi cerita lain tentang mengapa karier Murdani yang melesat tiba-tiba saja terantuk tembok tak terlihat. Namun, fakta bahwa cerita barusan berseliweran di mana-mana mengisyaratkan cerita ini terlalu masuk akal bagi banyak orang. Suharto, memang, dapat melakukan apa pun untuk melindungi kesemenaannya maupun kesemenaan mereka yang berada di lingkaran terdekatnya.
Apa yang dilakukan Suharto dalam kehidupan pribadinya pada hari-hari kejayaan tersebut?
Satu yang dapat dipastikan, ia disibukkan dengan kesenangan merumuskan petuah-petuah arif yang kemudian terhimpun dalam buku Butir-butir Budaya Jawa. Buku ini terbit pada 1987 dan, pada halaman pembukanya, Suharto mewariskan ini kepada anak-anaknya “sebagai pegangan hidup."
Apa yang diingat orang-orang dari buku ini adalah ajarannya—selayaknya buku-buku kebijaksanaan tentu. Namun, lebih tepatnya, ironinya. Ironi ajarannya.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Seberapa ironis?
Saya cuilkan saja satu nasihatnya: "Harta yang bersih itu harta yang asalnya dari bekerja dan dari hasil lainnya yang tidak merugikan orang lain. Sedang harta yang tidak bersih itu harta curian atau menemu kepunyaan orang lain yang ketahuan oleh yang kehilangan."
Tetapi, pada masanya orang-orang tak terlalu naif untuk mencari gambaran Suharto dari kata-katanya sendiri. Mereka mencarinya dari guyonan, cemooh, gosip karena di sanalah, kendati tak selalu akurat, mereka memperoleh gambaran yang tak munafik. Dan satu gambaran yang paling memuaskan saat itu datang dari cerpen Seno Gumira Ajidarma—"Kematian Paman Gober."
"Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari," tulis Seno dalam cerpennya. "Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh." Paman Gober tak hafal lagi pabrik apa saja yang dimilikinya. Uang dicetak seakan untuknya. Namun dengan kekayaannya yang tanpa banding, para bebek masih diperas untuk bekerja tanpa bayaran olehnya.
Para bebek tak berdaya. Apa yang dapat dilakukan hanyalah menunggu Paman Gober, yang memang sudah lanjut usia, mati. Dan itulah yang mereka lakukan. Setiap pagi, mereka tak sabar melihat koran dengan harapan berita utama hari itu adalah kematian Paman Gober.
Siapakah Paman Gober?
Mungkin bukan siapa-siapa. Seno, mungkin saja, tak sedang berusaha mencemooh sosok nyata tertentu dan fiksinya tak pernah diniatkan menjadi lebih dari fiksi. Namun, fakta bahwa cerpen ini begitu mengisap perhatian pada masanya mengisyaratkan pembaca merasakan keterkaitan ganjil antara fiksi ini dengan kenyataan yang mereka hidupi.
Hidup mereka sama peliknya mungkin—berputar di satu sosok yang sama-sama sewenang-wenang dan vulgar dalam mementaskan kesewenang-wenangannya.
Suharto, dus, pada titik ini kita dapat mengatakan, punya kekurangannya. Kekurangannya dapat dihitung. Sama dengan kelebihannya. Namun, seandainya pun kelebihannya jauh lebih banyak, kekurangan Suharto fatal—terlalu fatal. Figurnya adalah ikon sebuah ketidakpatutan yang tak akan pernah bisa dibenarkan—yang mengawut-awut kehidupan satu negara semata untuk kenyamanan satu keluarga. Sepanjang Indonesia disepakati bersilakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya dan kita masih ingat betapa sesaknya hari-hari di bawah pemerintahannya, pengangkatan Suharto menjadi pahlawan nasional adalah noda.
Kendati begitu, mungkin saja suatu hari kita lupa. Mungkin, itu yang diharapkan berbagai pihak yang mendesak penabalan kepahlawanannya. Mungkin apa yang mereka harapkan, ingatan kita yang tersisa tinggal betapa murah harga-harga di masa kepresidenannya, dan betapa tenangnya masyarakat di hari-hari itu.
Tetapi, saya percaya, banyak yang akan terus memastikan kita mengingat dengan benar. Bahwa hak kita, pada hari-hari kekuasaannya, sama murahnya. Bahwa ketenangan, pada masa itu, dibeli dengan kepatuhan buta.
Bahwa, sejatinya, kita tak menginginkan hari-hari itu kembali.
Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.