1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikJerman

Pembukaan Pameran Buku Frankfurt Dibayangi Perang Gaza

18 Oktober 2023

Polemik muncul sejak pembukaan pameran, ketika panitia menggunakan forum untuk mengecam serangan teror Hamas dan bersolidaritas dengan Israel, yang direspons dengan aksi boikot penerbit dari sejumlah negara muslim.

Deutschland Literatur l 75. Frankfurter Buchmesse
Foto: Arne Dedert/dpa/picture-alliance

Belum apa-apa, seremoni pembukaan Pameran Buku Frankfurt (FBF) pada Rabu, (18/10), sudah dirundung gejolak. Penyebabnya adalah pidato filsfuf Slovenia, Slavoy Zizek, yang mengecam serangan teror Hamas di Israel, namun menegaskan pentingnya mendengarkan aspirasi warga Palestina untuk memahami konflik di Timur Tengah.

Imbauan itu direspons secara negatif di negeri yang hingga kini masih bergulat dengan sejarah Holocaust. Selama pidato Zizek, sejumlah tamu meninggalkan aula sebagai aksi protes. Utusan khusus negara bagian Hessen untuk urusan antisemitisme, Uwe Becker, secara terbuka mengritik sang filsuf dan menuduhnya telah menisbikan kejahatan teror Hamas.

Meski sarat polemik, direktur FBF, Juergen Boss, mengaku "senang bahwa kita mendengar pidato (Zizek) hingga akhir, meski kita tidak menyukai atau bahkan mengecam isinya. Sangat penting untuk saling mendengar."

Filsuf Slovenia, Slavoy ZizekFoto: Arne Dedert/dpa/picture alliance

Kegaduhan di hari pertama FBF menandakan prahara yang lebih besar. Sebelumnya, seremoni penyerahan penghargaan LiBeraturpreis bagi penulis Palestina Adania Shibli juga dibatalkan. Penghargaan itu khusus diberikan kepada penulis perempuan dari Asia, Afrika, Amerika Latin dan Arab. Panitia penghargaan, Litprom, mengakui pembatalan disebabkan oleh "perang yang dikobarkan Hamas."

Buntutnya, sebuah surat terbuka yang ditandatangani 600 sastrawan, penerbit dan agen buku dari seluruh dunia mengecam Litprom, karena "menutup ruang bagi suara Palestina." Termasuk ke dalam daftar pendukung petisi adalah dua pemenang Nobel Sastra, Abdulrazak Gurnah dan Olga Tokarczuk, serta Pankaj Mishra, William Dalrymple, Colm Toibin dan Naomi Klein.

Solidaritas dan aksi boikot

Frankfurt Book Fair tahun ini sejatinya menjadi forum internasional ini untuk menyuarakan solidaritas bagi Israel dan mengecam serangan "barbar" Hamas, yang oleh utusan khusus kebudayaan Jerman, Claudia Roth, dianggap sebagai "serangan terhadap kemanusiaan."

"Kami mengecam keras teror ini dan ikut berduka dengan warga Israel," ucapnya dalam pidato pembukaan. FBF juga berjanji akan menampilkan Israel secara lebih mencolok untuk membantu mempopulerkan kesusasteraan Yahudi. "Kami berduka bersama keluarga korban tindak kekerasan ini dan semua warga di Israel dan Palestina yang menderita akibat perang," kata Boos, direktur FBF.

Ungkapan solidaritas itu ditanggapi oleh penerbit di sejumlah negara muslim, dengan melakukan aksi boikot. Indonesia menyatakan menarik diri dari FBF 2023. Keputusan FBF "untuk mendukung dan memberikan platform bagi Israel sembari melupakan penderitaan bangsa Palestina adalah ibarat membaca satu buku dan merasa memahami seisi dunia," tulis Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dalam surat pernyataannya.

Sikap FBF dinilai "melanggar prinsip-prinsip dialog dan upaya membangun saling pemahaman." Pun, pemerintah Malaysia menolak mengirimkan penerbitnya lantaran "sikap pro-Israel" yang ditunjukkan panitia pameran. Keputusan serupa dibuat Otoritas Buku Sharjah dan sejumlah lembaga sastra lain di Uni Emirat Arab dan Mesir.

Indonesia Dalam Panggung Literasi Dunia

01:48

This browser does not support the video element.

Sastra berpolitik

Ketika ditanya soal aksi boikot, Juergen Boos mengaku "sangat kecewa," oleh keputusan yang menurutnya "disebabkan isu geopolitik," dan tidak berkaitan dengan kesastraan.

"Hal ini menjadi bencana bagi kami, bagi saya sendiri. Saya ingin agar para pengunjung bisa menikmati diskursus yang jujur dan berdiskusi, bahkan jika isunya kontroversial."

Utusan antisemitismedi negara bagian Hessen, Becker, mengatakan hak dan penderitaan bangsa Palestina bisa dibahas, tapi tidak selayaknya "demi membenarkan ketidakadilan, kekerasan dan terorisme. Itu tidak bisa," kata dia kepada kantor berita Jerman, dpa. "Bahasa kebebasan pun mengenal batas, di mana sebuah konteks menisbikan, meremehkan dan memukul rata sesuatu yang tidak sama."

Tahun ini, FBF juga menempatkan penulis buku Ayat-ayat Setan, Salman Rushdie, sebagai bintang tamu utama. Sastrawan berdarah India itu hidup dalam kemelut sejak divonis mati oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini pada 1989. Penampilan publik Rushdie yang langka dipastikan akan semakin  meramaikan edisi ke75 Pameran buku Frankfurt tahun ini.

rzn/hp (afp,dpa,kna)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya