1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

100711 Deutschland Märchen Welttournee

15 Juli 2011

Sekitar 200 tahun lalu, Grimm bersaudara menerbitkan serangkaian dongeng yang disadur dari cerita rakyat Eropa. Kini Goethe Institut mempersiapkan pameran, yang mengangkat dongeng-dongeng itu.

Cinderella (Upik Abu) dalam film kartun HollywoodFoto: AP

Upik Abu, Putri Salju serta Hansel dan Gretel. Di Jerman, tua muda mengenal dongeng-dongeng rakyat yang diceritakan kembali oleh kedua Grimm Bersaudara, Jacob dan Wilhelm. Kini sebuah pameran mengenainya tengah dipersiapkan agar bisa dibawa keliling dunia.

„Pada suatu hari …“ Begitu biasanya sebuah dongeng dimulai. Tapi dalam pameran yang tengah disiapkan, lembaga bahasa Jerman, Goethe Institut tidak bermaksud sekedar mengulang pengisahan cerita-cerita itu. Dongeng-dongeng klasik saduran Grimm bersaudara hanya merupakan pembuka, pintu masuk ke makna pameran. Yang sebenarnya ingin ditampilkan adalah pola-pola dan karakter-karakter utama dibalik sebuah cerita.

Ilustrasi Dongeng Grimm BersaudaraFoto: ullstein - Archiv Gerstenberg

Robert Müller, direktur kreatif perusahaan disain komunikasi "facts & fiction", menjelaskan, " …kami berusaha menelaah struktur dongeng, Jadi ada perempuan baik, perempuan jahat, ada binatang atau latar belakang hutan. Jadi sebenarnya yang dikupas itu struktur dasar ceritanya. Ini kedengarannya pasti garing sekali. Tapi sebenarnya sih, tidak. Sistim ini membantu kita mengerti cara dongeng itu dibangun dan bagaimana fungsi-fungsinya. Lalu dongeng itu bisa diterjemahkan kedalam kehidupan sekarang“

Müller adalah perancang pameran Goethe Institut ini. Tuturnya setiap cerita membutuhkan tokoh pahlawan dan tokoh bajingan, sang pemenang dan si kalah, tokoh-tokoh baik dan jahat. Meski penuh fantasi, dongeng menurut dia, memiliki pola dasar yang tegas. Selain itu menyampaikan aturan main dan nilai-nilai yang jelas. Tokoh-tokoh baik selalu keluar sebagai pemenang di akhir cerita. Kristine Klein yang memimpin proyek, menyiapkan pameran ini agar bisa dimengerti oleh pengunjungnya di seluruh dunia.

"Di bagian tokoh perempuan, tentunya sang putri cantik mendapat peran utama. Kemudian kami mengidentifikasi berbagai tipe karakter. Selain si putri cantik, ada gadis pemberani, ada perempuan bijak yang menjelaskan apa yang benar dan yang salah. Lalu kami tambahkan kutipan pendek pada gambarnya ….Di setiap stasion, ada tokoh jahat dan tokoh heroik, bagian dari 3 tipe karakter yang selalu ada di dalam dongeng.“, begitu cerita Kristine Klein

Untuk mengirim sebuah pameran ke seluruh dunia, bukan hal yang mudah. Harus ringan, tahan panas dan lembabnya udara. Ukurannya setelah dipak harus kurang dari 80 meter persegi. Harus menggunakan multimedia dan banyak gambar. Teksnya harus singkat dan mudah dimengerti. Kristine Klein juga merancang sebuah hutan sebagai latar belakang pameran. Terbuat dari susunan kayu-kayu, diantaranya ada sebuah pohon setinggi 2,20 meter.

Di bawah pohon ini akan ditebar buku-buku cerita. Pengunjung pun diajak mendengarkan berbagai dongeng. Bukan hanya dongeng klasik tapi juga yang disampaikan dalam bentuk baru seperti, rapping. Melalui berbagai permainan, pengunjung juga diharapkan bisa menangkap berbagai pemaknaan baru. Misalnya, krem kulit anti keriput digambarkan sebagai minuman mujarab yang dapat menyulap orang menjadi muda kembali. Sementara tokoh-tokoh pahlawan digambarkan hanya terdapat dalam cerita-cerita fiksi.

Untuk lebih mendalami pemaknaan ini tersedia sebuah peti berisikan harta karun. Robert Müller menuturkan, "Peti harta karun kami gunakan sebagai jembatan untuk bisa pindah ke dunia modern. Di dalamnya ada boneka-boneka kecil dari cerita-cerita komik masa kini. Seperti tokoh Waldemort, penyihir jahat dalam cerita Harry Potter. Jadi dalam peti itulah terdapat warisan-warisan dongeng yang menjelaskan apa yang kita hadapi saat ini.“

Foto: picture-alliance/ dpa

Pameran Upik Abu dan kawan-kawannya dari dongeng-dongeng Grimm bersaudara sedikit banyak bersifat menyuluh. Dibuat bukan saja untuk membantu pengajaran para guru bahasa di Goethe Institut, tapi juga agar para pengunjung bisa menikmatinya, menemukan hal baru di setiap pos dalam rimba buatan itu. Kemudian menambahkan cerita sendiri.

Menurut Robert Müller, "Meja tulisnya dilengkapi Ipad, supaya orang-orang bisa menulis dongeng yang tanpa akhir. Artinya, setiap orang bisa menambahkan sebuah kalimat baru, menyambung pada kalimat sebelumnya. Kami berharap di akhir tur ini sudah terangkum dongeng yang mendunia.“

Günter Birkenstock / Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk