1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Pancasila dan Proksi Ideologi Kiri

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
14 Agustus 2020

PDI Perjuangan memiliki lawan-lawan abadi, yang selalu menanti kelengahannya. Apakah akan mereda jika Prabowo mengajak Puan Maharani sebagai cawapresnya di pilpres mendatang?

Massa yang memerah saat pidato calon yang dijagokan PDI P berpidato zaman kampanye Jokowi tahun 2014Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham

Selalu ada yang paradoks dalam sejarah. Salah satunya adalah soal polemik RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), yang baru saja mereda. Saat itu yang menjadi “bintang panggung” adalah PDIP, parpol yang meng-endorse RUU HIP, yang kebetulan sedang berkuasa saat ini.

Tersebab RUU tersebut, isu yang berkembang menjadi sedikit liar, muncul kekhawatiran akan terjadi semacam “revisi” terhadap ideologi Pancasila, bahkan lebih jauh ada anggapan, PDIP bakal mengusung ideologi kiri. Karena dianggap kontroversial, akhirnya pemerintah menghentikan proses pembahasannya bersama DPR RI, namun anggapan PDIP sebagai proksi “ideologi” kiri masih terus berlanjut.

Lawan tradisional PDIP

Saya sendiri melihat, bahwa pada dasarnya PDIP memiliki lawan-lawan abadi, yang selalu menanti kelengahan dan kesalahan PDIP, meski kesalahannya tidak signifikan. Secara singkat bisa dikatakan, kelompok atau organisasi tersebut sudah apriori pada PDIP sejak dalam pikiran.

Rivalitas dalam politik adalah hal biasa, ada kalanya justru berdampak positif bagi anggota, yakni mempertinggi andrenalin atau militansi segenap eksponen parpol tersebut, termasuk PDIP. Parpol seperti PKS misalnya, bisa juga masuk kategori lawan tradisional PDIP, hanya pertarungannya terjadi di arena elegan, yakni di parlemen dan saat pemilihan presiden (pilpres).

Lawan-lawan tradisional PDIP sejatinya sudah bisa dipetakan sejak lama, mengingat kelompok dimaksud rutin muncul setiap tahun, seputar bulan Juli dan September. Lawan abadi PDIP dimaksud adalah sejumlah ormas yang biasanya muncul menjelang bulan Juli dan September, dengan mengangkat isu kiri (komunis). Rasanya kita semua sudah hapal betul, ibarat pepatah tak ada angin tak ada hujan, pada Juli dan September, isu kiri tiba-tiba saja menjadi trending topic.

Masalahnya sekarang, adakah elite PDIP sudah mengantisipasi jauh hari sebelumnya. Salah satu soal misalnya, sekiranya RUU HIP itu bakal  mengundang kebisingan, sebagaimana yang sedang terjadi, sebaiknya wacana RUU tersebut jangan dibahas menjelang bulan Juli (atau September), karena itu sama saja memberi panggung gratis bagi lawan-lawan tradisional PDIP.  

Seandainya waktu memang tidak bisa ditawar, mungkin karena alasan urgensi, seharusnya PDIP memilih sosok yang kredibel dalam mengelola isu terkait wacana RUU HIP. Soal penempatan “petugas partai” yang kompeten dan kredibel inilah, PDIP acapkali luput, sehingga terjadi blunder, yang pada gilirannya akan menambah beban elite PDIP, terutama figur ketua umum dan sekretaris jenderal. Termasuk dalam wacana RUU HIP ini pula, terkesan PDIP salah pilih dalam menentukan juru bicara (contact person), sebagai representasi partai.

Pilihan pada timing dan anchor (juru bicara) merupakan wujud antisipasi PDIP dalam menetralisir manuver lawan-lawan abadi dimaksud. Namanya juga musuh tradisional, mereka selalu sabar dalam mencari peluang, kapan bisa menggoyang PDIP. Fase ini bisa menjadi catatan penting, PDIP perlu menyiapkan kader yang prima. Memang tidak perlu seperti Partai Golkar, yang dari segi persediaan sumber daya manusia mumpuni, dan boleh dikatakan berlebih untuk ukuran sebuah parpol.

Sekjen dari militer

Secara terang benderang ideologi PDIP adalah nasionalisme, bukan yang lain, saya kira semua orang sudah tahu. Namun bagaimana kemudian dipelintir seolah PDIP menganut ideologi kiri, tentu tak bisa dipisahkan dari motivasi para lawan abadi tersebut, yang memang membutuhkan pembenaran soal masih adanya ancaman komunisme. Pandangan ormas vigilante terhadap PDIP tidak beranjak jauh dari klaim rezim Soeharto, hanya karena lahir pasca-Peristiwa 27 Juli (1996), PDIP senantiasa memperoleh label “kiri”. Bagi lawan tradisional PDIP,  soal bagaimana fakta historis, termasuk nalar, tidak lagi dipermasalahkan. Mereka lebih mengutamakan ada pihak yang dibayangkan menjadi musuh bersama.

Kendati para ahli sosial negeri ini sudah menyatakan, bahwa komunisme sudah tamat, sebagaimana ditulis rohaniwan Franz Magnis-Suseno baru-baru ini (Kompas, 10/7), namun suara para akademisi tersebut seperti terbang bersama angin. Sejumlah ormas tetap saja menjalankan aksi ritualistiknya setiap bulan Juli dan September. Dalam konteks masyarakat kita, ikon komunisme tetap laku untuk ajang konsolidasi. Salah satu cara konsolidasi bagi organisasi atau komunitas, adalah mencari musuh bersama, dan musuh bersama itu bisa didapatkan pada ikon komunisme, meski secara fisik tidak ada wujudnya.

Bagi PDIP menghadapi lawan-lawan tradisional tentu saja membosankan, dan bisa jadi kontra produktif. Tekanan itu bisa diminimalisir, salah satunya dengan cara menempatkan sosok purnawirawan militer (utamanya TNI AD) dalam posisi strategis dalam pengurus pusat PDIP. Bila posisi ketua umum sudah menjadi domain anak atau cucu biologis Soekarno, maka posisi sekjen atau wakil ketua umum, bisa diberikan pada figur militer.

Penempatan figur militer penting bagi PDIP, sebagai pesan pada lawan-lawan tradisional PDIP, bahwa ada kesejajaran ideologis antara PDIP dan militer, yakni sama-sama mengusung nasionalisme, sesuai dengan tagline “NKRI Harga Mati”.

Seperti dulu ketika Megawati selalu didampingi Mayjen (Purn) Theo Syafei (Akmil 1965), gangguan terhadap PDIP tidak semasif sekarang. Setelah Theo Syafei berpulang, posisinya belum ada yang menggantikan. Sehingga perlu dipikirkan, dicari skema dalam kepengurusan mendatang, agar ada ruang bagi figur purnawirawan karismatik, seperti Theo Syafei di masa lalu.

Posisi Prabowo

Masuknya Prabowo dalam kabinet sekarang, memang sedikit mengurangi vitalitas musuh-musuh tradisional PDIP. Saya tidak mengatakan bahwa Prabowo adalah masuk kategori musuh tradisional PDIP. Namun pada momen-momen tertentu, semisal pada Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017, ada semacam simbiosis antara Prabowo dengan kelompok-kelompok tersebut.

Posisi Prabowo sendiri memang unik, khususnya dalam pasang-surut hubungannya dengan Megawati. Saya katakan unik, karena sejak tampil di panggung politik, dalam hal penampilan, Prabowo sempat mengadopsi gaya Soekarno, khususnya dalam model berpakaian. Bagi ormas-ormas pendukungnya yang biasanya sedikit “alergi” dengan simbolisasi Soekarno, khusus terhadap Prabowo, mereka bisa mentolerirnya. Mungkin karena simbolisasi Prabowo ada batasnya, Prabowo hanya sekadar meminjam model berpakaian Soekarno, bukan mengadopsi gagasan Soekarno, terlebih pada gagasan yang paling kontroversial (Nasakom).

Bahkan kini hubungan antara Prabowo dan ormas-ormas tersebut, bisa jadi lebih renggang lagi, ketika pendulum Prabowo lebih mengarah ke Megawati, dalam konteks menjelang Pilpres 2024. Saya kira Prabowo masih akan maju lagi nanti, dan koalisi Pilpres 2009 (PDIP dan Gerindra) akan kembali terulang, hanya dengan formasi terbalik.

Bila benar dugaan saya, maka Prabowo akan mengajak Puan Maharani sebagai cawapresnya pada pilpres yang akan datang. Begitulah, politik adalah bagaimana mencari penyesuaian. Rivalitas personal antara Megawati dan Prabowo pada Pilpres 2014 dan 2019 akan selesai begitu saja. Kalau sebelumnya Megawati sedikit keberatan dengan penampakan Prabowo, yang sempat mengadopsi simbolisasi Soekarno, untuk hari-hari yang akan datang, Megawati akan memberi keleluasaan, citra apa pun yang dikehendaki Prabowo.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.