Klaim bahwa “Negara Pancasila” sebagai konsep politik-pemerintahan dan ketatanegaraan yang tidak Islami dan jauh dari norma-norma dan nilai-nilai keislaman sebuah propaganda semata. Demikian opini Sumanto Al Qurtuby.
Iklan
Belakangan santer bergema suara-suara yang ingin mengganti Ideologi Negara Pancasila dengan apa yang mereka klaim sebagai "Ideologi Islam”. Yang menggemakan penggantian Pancasila ini adalah sejumlah elit politik, tokoh agama, aktivis Muslim, dan ormas Islamis dari berbagai kelompok dan faksi keislaman, bukan hanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saja yang selama ini memang dikenal begitu semangat dan heroik hendak mengganti Pancasila, UUD 1945, dan aneka sistem hukum-politik-pemerintahan Republik Indonesia (RI) karena dipandang sebagai tidak Islami dan produk kebudayaan kafir-sekuler.
Khusus untuk HTI (sebagaimana doktrin Hizbut Tahrir), yang di Indonesia sudah dibubarkan oleh pemerintah (secara politik), kelompok ini "bernafsu” sekali mengubah seluruh bangunan politik-pemerintahan RI dengan "Negara Khilafah” yang menurut mereka diklaim sebagai lebih Islami dan "lebih syar'i”.
Saya ingin menyebut kelompok ini sebagai "kaum Islamis”, yaitu kelompok yang berpegang teguh pada atau ingin memperjuangkan "filosofi” dan ideologi Islamisme. Islamisme adalah sebuah gerakan reformasi yang mengadvokasi penataan ulang tatanan, sistem, dan struktur pemerintah dan masyarakat sesuai dengan apa yang kaum Islamis klaim sebagai "aturan dan hukum Islam”.
Bassam Tibi, seorang ahli kajian Islam politik ternama di University of Gottingen, Jerman, dalam Islamism and Islam (2012) mendefinisikan "Islamisme” sebagai sebuah gerakan fundamentalis berbasis politik atau sebuah ideologi politik yang berdasar pada "a reinvented version of Islamic law”. Bagi Tibi, apa yang kaum Islamis klaim sebagai "aturan dan hukum Islam” mengenai tatanan politik-pemerintahan dan ketatanegaraan itu pada hakikatnya hanyalah sebuah pemahaman dan penafsiran ulang atas sejumlah teks, wacana, doktrin, dan norma kepolitikan dalam Islam atau penjabaran ulang tentang "fiqih politik” (fiqh al-siyasah) sesuai dengan perkembangan sosial-politik kontemporer.
"Rekayasa sosial” untuk politik
Dengan demikian Islamisme adalah sebuah "rekayasa sosial” kaum Islamis untuk menjadikan Islam semata-mata sebagai "organ politik”. Awalnya, ide dan gerakan ini sebagai reaksi atas kolonialisme Eropa dan imperialisme Barat tetapi dalam perkembangannya juga disebabkan oleh sejumlah faktor sosial-politik lokal (termasuk rezim politik Muslim yang berhaluan sekuler, liberal, sosialis, atau nasionalis) dimana kaum Islamis itu berasal atau berada. Pula, Islamisme bukan hanya berkembang di kalangan Sunni tetapi juga Syiah. Para tokoh, ideolog, dan pemikir utama ideologi Islamisme ini antara lain Abul A'la Maududi (w. 1979), Sayyid Qutb (w. 1966), Imam Khomeini (w. 1989), Muhammad Qutb (w. 2014), dlsb.
Jadi jelaslah bahwa Islamisme itu berbeda secara substansial dengan Islam yang merupakan sistem keimanan, agama, dan jalan hidup kaum Muslim yang mencakup sebuah aspek kehidupan umat manusia: sosial, intelektual, kultural, ritual, spirtiual, dlsb, bukan melulu masalah kepolitikan.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Islamisme juga berbeda dengan Salafisme, Wahabisme, Jihadisme, atau Fundamentalisme misalnya karena tidak semua ideologi dan gerakan ini berorientasi politik-kekuasaan. Banyak dari kelompok Salafi-konservatif ini (baik klasik maupun kontemporer) yang hanya bertujuan untuk melakukan "reformasi moral-kultural-teologikal-keagamaan” masyarakat saja, tidak memiliki keinginan, tujuan, dan tendensi politik praktis untuk mendirikan sebuah negara atau pemerintah dengan sistem politik berbasis Islam.
Karena karakter politik yang begitu kuat dalam Islamisme, maka sejumlah sarjana kadang-kadang menyamakan atau menyebut Islamisme dengan "Islam politik”. Lihat beberapa studi tentang ini, misalnya, Asef Bayat (Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam) atau Richard Martin dan Abbas Barzegar (Islamism: Contested Perspectives on Political Islam).
Mengatasnamakan dogma
Berdasarkan penjelasan singkat ini, maka jelaslah bahwa apa yang kaum Islamis di Indonesia klaim sebagai pendirian negara berbasis Islam, pada praktiknya adalah berdasar "Islamisme” ini. Islam sebagai sebuah agama tidak pernah mengatur tentang bentuk, sistem, dan mekanisme politik-pemerintahan dan ketatanegaraan. Tidak ada juklak dan juknis yang baku dan terang-benderang tentang hal ini di dalam agama Islam.
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)
Foto: Reuters/I. A. Mustafa
8 foto1 | 8
Jika disimak dengan seksama, Al-Qur'an dan Hadis juga hanya memuat tentang etika, norma, moralitas, tata-nilai, dan tanggung jawab sebuah "pemimpin politik”, bukan desain sistem politik-pemerintahan. Islam hanya menanamkan tentang pentingnya keadilan, keamanan, ketenteraman, kedamaian, dan kemakmuran sebuah masyarakat tidak peduli mereka tinggal dan hidup dalam sistem monarkhi, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, republik, komunisme, sosialisme, dlsb. Dengan kata lain, Islam hanya mewacanakan tentang "substansi” atau "isi” bukan "bungkus” dan "kulit permukaan”.
Dalam sejarahnya, Islamisme tidak menjamin sebuah negara, kawasan, dan masyarakat didalamnya menjadi adil-makmur hidup sejahtera aman tenteram dan sentosa. Sebaliknya, dalam bingkai Islamisme, negara justru tenggelam dalam keterpurukan dan ketidakadilan. Masyarakat hidup mencekam dalam ketakutan dan kebiadaban karena diteror oleh kaki-tangan rezim Islamis yang mengatasnamakan dogma dan Tuhan.
Salah satu contoh nyata dari sebuah negara di bawah Islamisme ini adalah Afganistan di zaman rezim Taliban, 1996–2001. Di bawah kendali Mullah Mohammed Omar dan Mullah Mohammad Rabbani Akhund, Afganistan yang waktu itu bernama Emirat Islam Afganistan, bukannya maju pesat dan menjadi masyarakat berperadaban malah hancur-lebur berkeping-keping untuk kesekian kalinya (simak buku cemerlang karya Thomas Barfield, Afghanistan: A Cultural and Political History).
Jadi, "Negara Islam” (atau "Negara Khilafah Islam”) yang dikampanyekan dan dipropagandakan oleh sejumlah kalangan Islamis di Indonesia yang menjanjikan adanya kemakmuran, keadilan, ketenteraman, kedamaian, dlsb hanyalah "pepesan kosong” dan "janji-janji surga” belaka.
Klaim kaum Islamis bahwa "Negara Pancasila” sebagai sebuah konsep politik-pemerintahan dan ketatanegaraan yang tidak Islami dan jauh dari norma-norma dan nilai-nilai keislaman juga sebuah propaganda semata untuk menarik simpati masyarakat awam yang buta wawasan keislaman dan sejarah Islam politik dan politik Islam.
Buah Haram Wahabisme
Sejak lama dunia mengkhawatirkan paham Wahabisme sebagai wadah terorisme global. Ajaran puritan itu diyakini tidak cuma menjadi rumah ideologi, tapi penganutnya juga ikut membiayai tindak terorisme di Timur Tengah.
Foto: Reuters/C. Barria
Wahabisme Telurkan Radikalisme?
Sejak 2013 silam parlemen Eropa mewanti-wanti terhadap paham Wahabisme. Bahkan Dewan Fatwa Malaysia menilai faham tersebut kerap melahirkan pandangan radikal dan bisa berujung pada tindak terorisme. Pasalnya Wahabisme menganut prinsip pemurnian Islam. Bentuknya yang cenderung eksklusif dan intoleran terhadap ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.
Foto: Reuters
Sumber Ideologi
Kebanyakan kelompok teror dari Nigeria, Suriah, Irak hingga ke Pakistan mengklaim Wahabisme atau Salafisme sebagai ideologi dasar. Al-Qaida, Islamic State, Taliban, Lashkar-e-Toiba, Front al Nusra dan Boko Haram adalah kelompok terbesar yang jantung ideologinya merujuk pada paham Islam puritan itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda dari Riyadh
Hingga kini pemerintah Arab Saudi sudah mengucurkan dana hingga 100 miliar dolar AS untuk mempromosikan paham Wahabisme ke seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Uni Soviet cuma menghabiskan dana propaganda Komunisme sebesar 7 miliar dolar AS selama 70 tahun sejak dekade 1920-an. Pakar keamanan mencurigai, sebagian dana dakwah itu disalahgunakan untuk membiayai terorisme.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Brakemeier
Dana Gelap di Musim Haji
Pada nota rahasia senat AS dari tahun 2009 yang bocor ke publik, calon presiden AS Hillary Clinton menyebut hartawan Arab Saudi sebagai "donor terbesar" kelompok terorisme di seluruh dunia. Biasanya teroris memanfaatkan musim haji untuk masuk ke Arab Saudi tanpa mengundang kecurigaan aparat keamanan.
Foto: AFP/Getty Images/M. Al-Shaikh
Bisnis Perang
Penyandang dana teror terbesar di Arab Saudi tidak lain adalah hartawan berkocek tebal. Dengan mengandalkan uang minyak, mereka secara langsung atau tidak langsung menyokong konflik bersenjata di Pakistan atau Afganistan. Hal tersebut terungkap dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor di Wikileaks.
Foto: Getty Images/AFP/A. Karimi
Sumbangan buat Laskar Tuhan
Kelompok teroris tidak jarang menggunakan perusahaan atau yayasan untuk mengumpulkan dana perang. Lashkar-e-Toiba di Pakistan misalnya menggunakan lembaga kemanusiaan Jamaat-ud Dakwa, untuk meminta sumbangan. Kedoknya adalah dakwah Islam. Salah satu sumber dana terbesar biasanya adalah Arab Saudi.
Foto: AP
Senjata dari Emir
Arab Saudi bukan satu-satunya negara Islam yang menyokong terorisme. Menurut catatan Pentagon yang dipublikasikan majalah The Atlantic, Qatar membantu Jabhat al-Nusra dengan perlengkapan militer dan dana. Kelompok teror tersebut sempat beroperasi sebagai perpanjangan tangan Al-Qaida di Suriah. Jerman juga pernah melayangkan tudingan serupa terhadap pemerintah Qatar ihwal dana untuk Islamic State
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Jebreili
Dinar untuk al Nusra
Tahun 2014 silam Washington Post memublikasikan laporan yang mengungkap keterlibatan Kuwait dalam pembiayaan kelompok teror di Suriah, seperti Jabhat al Nusra. Laporan yang berlandaskan kesaksikan perwira militer dan intelijen AS itu menyebut dana sumbangan raksasa senilai ratusan juta dolar AS.
Foto: Reuters/H. Katan
Dukungan "tak langsung"
Harus ditekankan tidak ada bukti keterlibatan kerajaan al-Saud dalam berbagai aksi teror di seluruh dunia. Namun pada serangan teror 11 September 2001 di New York, AS, komite bentukan senat menemukan bahwa pelaku memiliki hubungan "tidak langsung" dengan kerajaan dan "mendapat dukungan dari kaum kaya Saudi dan pejabat tinggi di pemerintahan."
Foto: AP
Pencegahan Setengah Hati
Sejauh ini pemerintah Arab Saudi terkesan setengah hati membatasi transaksi keuangan gelap untuk pendanaan terorisme dari warga negaranya. Dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor ke publik, Riyadh misalnya aktif melumat sumber dana Al-Qaida, tapi banyak membiarkan transaksi keuangan untuk kelompok teror lain seperti Taliban atau Lashkar-e-Toiba.
Foto: picture-alliance/dpa/Saudi Press Agency
Bantahan Riyadh
Namun Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, membantah hubungan antara ideologi Wahabi dengan terorisme. "Anggapan bahwa Saudi membiayai ekstremisme atau Ideologi kami menyokong ekstremisme adalah omong kosong. Kami aktif memburu pelaku, uang dan dalang di balik tindak terorisme," tukasnya.
Foto: Reuters/C. Barria
11 foto1 | 11
Pancasila sudah sangat Islami
Sebagai sebuah filosofi, fondasi kebangsaan, dan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila sudah sangat Islami dan Qur'ani karena kelima silanya berbasis pada (dan mendapat rujukan kuat dalam) ayat-ayat Al-Qur'an dan praktik kenabian. Jika Pancasila tidak sesuai dengan Islam dan Al-Qur'an, tentu saja para tokoh Muslim dan pendiri bangsa yang terlibat merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia ini tidak akan menyetujui dan merestuinya. Itulah sebabnya para ulama NU berpengaruh seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdul Wachid Hasyim, KH Ahmad Siddiq, KH As'ad Syamsul Arifin, dlsb dengan lantang membela dan mempertahankan Pancasila dari rongrongan kelompok anti-Pancasila.
Pancasila juga dinilai sangat tepat untuk bangsa dan negara Indonesia karena watak dan karakternya yang sangat merangkul semua agama, golongan, etnis, suku, dan ras yang sangat majemuk di Tanah Air tercinta ini. Pancasila juga dinilai paling pas dan tepat karena ia merupakan produk atau hasil kesepakatan bersama para Bapak Pendiri Bangsa yang tentunya bukan hanya kaum Muslim saja. Para founding fathers seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, KH Abdul Wachid Hasyim, Agus Salim, Alexander Andries Maramis, Ahmad Soebardjo, Ki Hadikusumo, dlsb, adalah para pendiri bangsa yang sudah dengan susah payah merumuskan Pancasila sebagai fondasi kenegaraan-kebangsaan Republik Indonesia. Sebagai sebuah ideologi negara dan fondasi kebangsaan, Pancasila sudah final.
Kini, tugas kita bersama sebagai warga negara Indonesia—apapun agama dan etnis kita—untuk merawat, menjaga, memelihara, membela, sekaligus mengimplementiskan nilai-nilai ideal Pancasila dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara, bukan malah bersikeras untuk mendongkel dan menggantinya dengan ideologi-ideologi baru yang tidak jelas.
Akhirul kalam, bagiku, demi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang lebih baik di masa mendatang: Pancasila Yes, Islamisme No.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/yf)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS