1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Pandemi Corona Menghantam Telak Korea Utara

Frank Smith
14 April 2021

Kebijakan Korea Utara sejak awal pandemi corona yang dinilai paranoid telah menyusahkan diri sendiri. Mulai dari langkanya makanan dan obat, hingga ke eksodus diplomat asing dan petugas kemanusiaan.

Nordkoreanische Fahne
Foto: picture-alliance/picturedesk.com/H. Ringhofe

Korea Utara adalah salah satu negara pertama di dunia yang secara efektif menutup perbatasannya dengan dunia luar pada Januari 2020 saat pandemi COVID-19 mulai menyebar ke seluruh dunia.

Kini, lebih dari setahun kemudian, saat situasi virus corona di Korea Utara masih juga belum jelas, berbagai laporan media di luar negeri menunjukkan bahwa orang-orang di negara itu hidup menderita, baik dari dampak ekonomi akibat tindakan penguncian atau lockdown, maupun akibat virus itu sendiri.

Reportase mengenai Korea Utara memang perlu melibatkan penyatuan dari potongan-potongan informasi untuk bisa menarik penggambaran realitas yang lebih jelas. Pemerintah di Pyongyang tidak mengizinkan kebebasan berbicara, jadi cukup sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di negara itu.

Mengenai keadaan saat ini, "sejujurnya kami tidak tahu… tidak ada sumber independen di dalam negeri seperti pekerja kemanusiaan atau kedutaan," seperti yang ada saat wabah belum melanda, demikian ungkap Colin Zwirko, dari Korea Risk Group and NK News, kepada DW.

Dalam laporan kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO), Korea Utara mengklaim tidak ada kasus COVID-19 dari 43.052 orang yang telah dites sejauh ini.

Tetap saja, para ahli tidak ragu bahwa setidaknya negara itu telah menderita beberapa kasus virus corona karena ada peningkatan laporan tentang pneumonia dan infeksi saluran pernapasan yang memiliki gejala mirip dengan COVID-19. Namun penggambaran akurat tentang skala penyebaran virus di Korea Utara hampir tidak mungkin dilakukan. 

"Bahkan jika secara resmi Korea Utara menyangkal kasus yang dikonfirmasi, kami menduga bahwa ada kasus yang dikonfirmasi di wilayah perbatasan yang lebih padat penduduknya di tempat-tempat terjadinya perdagangan ilegal," ujar Profesor Kim Jeong dari Universitas Kajian Korea Utara, kepada DW.

Dampak keras COVID-19 di Korea Utara

Ada beberapa laporan yang belum dikonfirmasi tentang penyebaran COVID-19 di Korea Utara. Sumber "resmi" di Provinsi Hamgyong Utara yang tidak disebutkan namanya, mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA) yang didanai pemerintah Amerika Serikat bahwa sekitar 5.400 orang telah didiagnosis sebagai terduga pasien COVID-19 dan lebih dari 10 orang meninggal dunia setelah menunjukkan gejala penyakit tersebut.

Demikian pula, sumber resmi yang tidak disebutkan namanya di kota Rason, Korea Utara, yang terletak di dekat Rusia, mengatakan kepada RFA pada bulan Maret terdapat sekitar 6.000 kasus dan puluhan kematian orang dengan gejala COVID-19.

Pyongyang secara konsisten mengambil tindakan luar biasa untuk menahan penyebaran virus ke dan seluruh negeri. Konsekuensinya dilaporkan suram.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan Korea Utara menderita efek negatif yang serius dari pandemi ini, ditambah pula dampak ekonomi dari kebijakan isolasi diri negara itu. Pelapor khusus hak asasi manusia di Korea Utara, Tomas Ojea Quintana, dalam sebuah laporan untuk Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, menguraikan peningkatan jumlah anak-anak dan orang tua yang mengemis, kematian akibat kelaparan, dan eksekusi.

Tindakan pemerintah dan konsekuensinya terhadap ekonomi

Seiring penutupan perbatasan, pemerintah Korea Utara terus menegakkan langkah-langkah kesehatan  lainnya, termasuk mewajibkan pemakaian masker yang seringkali adalah masker kain buatan sendiri, melakukan desinfeksi, meningkatkan pengawasan perbatasan, memblokir sementara sejumlah jalan, serta kebijakan penguncian secara regional berkala, Jeong Eun Mee, peneliti di Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, mengatakan kepada DW lewat email.

Aktivitas perdagangan dengan Cina telah berkurang hingga 95% yang nyaris mengarah pada laporan kelangkaan bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya, tidak hanya di daerah-daerah miskin tetapi juga di ibu kota Pyongyang. 

Sektor perawatan kesehatan Korea Utara yang terbelakang tidak akan mampu mengatasi seriusnya dampak wabah pandemi corona.

Korea Utara telah mengadopsi strategi yang sangat ketat, hingga beberapa ahli bahkan menggolongkannya sebagai paranoid, guna mencegah masuknya dan menyebarnya virus di negara itu. Baru-baru ini, Pyongyang memutuskan untuk tidak mengirim tim ke Olimpiade Tokyo 2021, sebagian besar karena takut akan COVID-19.

Eksodus pekerja asing

Sejak pandemi dimulai, pemerintah juga dengan cepat membatasi pergerakan komunitas diplomatik ke Pyongyang, dan di dalam Pyongyang, ujar Zwirko dari NK News.

Penerbangan terakhir yang dikonfirmasi dari Korea Utara ke luar negeri adalah pada Maret 2020. Sejak saat itu setiap orang asing, termasuk pekerja kemanusiaan dan petugas kedutaan, harus melintasi perbatasan darat dan sering pula dengan metoda transportasi yang tidak biasa.

Korea Utara tidak ingin ada kereta atau bus membawa orang bolak-balik melintasi perbatasan dan membawa virus. Jadi orang-orang harus mengurus transportasi mereka sendiri untuk mengangkut barang-barang ke luar negeri, terkadang juga harus menggunakan gerobak.

"Mereka tidak ingin ada yang membawa apa pun ke dalam negara ini," kata Zwirko. Hanya sembilan kedutaan asing di Pyongyang yang tetap buka. Secara total, ada kurang dari 290 orang asing di Korea Utara, menurut kedutaan Rusia.

Kedutaan juga menambahkan bahwa langkah-langkah tegas negara itu "belum pernah terjadi sebelumnya, (di tengah terjadinya) kekurangan ekstrem barang-barang pokok, termasuk obat-obatan, (dan) kurangnya (kemampuan) untuk memecahkan masalah kesehatan."

Zwirko mencatat bahwa di sana "tidak ada delegasi… segelintir pejabat kedutaan… tidak ada pekerja kemanusiaan."

Potensi buka kembali jalur perdagangan

Pada Maret tahun ini, Korea Utara memperkenalkan Undang-Undang Disinfeksi Barang Impor, dan telah membangun fasilitas disinfektan di dekat penyeberangan perbatasan. Semua ini diharapkan bisa digunakan ketika Korea Utara membuka kembali perdagangan.

Pembukaan kembali jalur perdagangan ini juga diharapkan dapat memungkinkan perampungan Rumah Sakit Umum Pyongyang yang seharusnya selesai Oktober pada tahun lalu, kata Jeong.

Beberapa pengamat memperkirakan Korea Utara akan segera membuka perbatasannya dengan Cina, setidaknya untuk pengiriman barang.

Sementara radio RFA melaporkan sejumlah inspektur mulai terlihat di fasilitas karantina baru yang didirikan di Dandong dan Sinuiju, di kedua sisi perbatasan Cina-Korea Utara. Tetapi realitas korban dari pandemi COVID-19 di Korea Utara hanya bisa diungkap jika Pyongyang membuka kembali negara itu dan memungkinkan akses yang lebih luas bagi pekerja kemanusiaan dan korps diplomatik.

ae/pkp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait