Kebijakan Korea Utara sejak awal pandemi corona yang dinilai paranoid telah menyusahkan diri sendiri. Mulai dari langkanya makanan dan obat, hingga ke eksodus diplomat asing dan petugas kemanusiaan.
Iklan
Korea Utara adalah salah satu negara pertama di dunia yang secara efektif menutup perbatasannya dengan dunia luar pada Januari 2020 saat pandemi COVID-19 mulai menyebar ke seluruh dunia.
Kini, lebih dari setahun kemudian, saat situasi virus corona di Korea Utara masih juga belum jelas, berbagai laporan media di luar negeri menunjukkan bahwa orang-orang di negara itu hidup menderita, baik dari dampak ekonomi akibat tindakan penguncian atau lockdown, maupun akibat virus itu sendiri.
Reportase mengenai Korea Utara memang perlu melibatkan penyatuan dari potongan-potongan informasi untuk bisa menarik penggambaran realitas yang lebih jelas. Pemerintah di Pyongyang tidak mengizinkan kebebasan berbicara, jadi cukup sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di negara itu.
Mengenai keadaan saat ini, "sejujurnya kami tidak tahu… tidak ada sumber independen di dalam negeri seperti pekerja kemanusiaan atau kedutaan," seperti yang ada saat wabah belum melanda, demikian ungkap Colin Zwirko, dari Korea Risk Group and NK News, kepada DW.
Dalam laporan kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO), Korea Utara mengklaim tidak ada kasus COVID-19 dari 43.052 orang yang telah dites sejauh ini.
Tetap saja, para ahli tidak ragu bahwa setidaknya negara itu telah menderita beberapa kasus virus corona karena ada peningkatan laporan tentang pneumonia dan infeksi saluran pernapasan yang memiliki gejala mirip dengan COVID-19. Namun penggambaran akurat tentang skala penyebaran virus di Korea Utara hampir tidak mungkin dilakukan.
Fakta Unik tentang Korea Utara
Korea Utara adalah negara miskin yang secara internasional terisolasi. Saking tertutupnya, tidak banyak yang diketahui tentang negara ini. Berikut beberapa fakta unik tentang Korea Utara:
Foto: picture-alliance/AP Images/P. Semansky
Ideologi Negara
Secara resmi Korea Utara bukan lagi negara komunis. Sejak tahun 2009, negara ini menganut ideologi baru yang disebut “Juche”. Ideologi yang pertama kali dicetuskan oleh Kim Il-sung pada tahun 1955 ini mengandung prinsip: "manusia menguasai segala sesuatu dan memutuskan segala sesuatu".
Foto: AP
Penanggalan
Sebenarnya menurut penanggalan kalender tradisional Korea, Dangun, yang mulai dipakai sejak 2333 SM, Korea Utara saat ini berada di tahun 4349. Namun, negara ini memilki satu cara penanggalan lain yang unik, yaitu berdasarkan tahun kelahiran pemimpin besar Kim Il-sung tahun 1912. Jadinya di Korea Utara sekarang baru tahun 105.
Foto: Colourbox/PetraD
Surga di Korea Utara
Korea Utara terkenal sebagai negara konservatif, rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan tertekan di bawah kepemimpinan seorang diktator. Namun begitu, ada juga yang menganggap negara ini sebagai surga, setidaknya bagi pemakai marijuana. Daun memabukan ini dilegalkan di Korea Utara, bahkan tidak dikategorikan sebagai narkoba.
Foto: picture alliance/Photopqr/l'Alsace
Stadion Terbesar di Dunia
Satu bangunan yang menjadi kebanggaan Korea Utara: Stadion Hari Buruh Rungrado, yang diselesaikan pada 1 Mei 1989, mampu menampung 150.000 penonton. Stadion tempat menggelar event olahraga, seperti sepak bola dan atletik atau juga Arirang, festival senam masal dan artistik ini kapasitasnya jauh lebih besar dibanding peringkat 2, Stadion Michigan (107.601) di AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Potongan Rambut
Sekitar setahun setelah berkuasa, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengeluarkan satu peraturan baru mengenai potongan rambut. Pria hanya diperbolehkan memilih 10 potongan rambut. Tapi model rambut yang dimiliki Kim Jong-un bukanlah salah satu yang diperbolehkan. Sementara, pilihan bagi perempuan lebih banyak: 18 model.
Foto: picture alliance/AP Images
Tanggal Ulang Tahun yang Sepi
Tidak ada seorangpun di Korea Utara yang lahir pada tanggal 8 Juli atau 17 Desember berani merayakan hari ulangtahun mereka. Alasannya, kedua tanggal ini merupakan hari kematian Kim Il-sung dan Kim Jong-il. Gantinya, sekitar 100.000 warga Korea Utara, yang lahir pada tanggal tersebut, merayakan hari ulang tahun pada 9 Juli atau 18 Desember.
Foto: Fotolia/Jenny Sturm
Busana yang Diharamkan
Korea Utara menganggap Amerika Serikat sebagai musuh utamanya. Saking besar rasa permusuhan yang dimiliki, pemerintah Korea Utara melarang warganya untuk mengenakan busana jeans. Jenis pakaian ini dianggap simbol Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/chromorange
7 foto1 | 7
"Bahkan jika secara resmi Korea Utara menyangkal kasus yang dikonfirmasi, kami menduga bahwa ada kasus yang dikonfirmasi di wilayah perbatasan yang lebih padat penduduknya di tempat-tempat terjadinya perdagangan ilegal," ujar Profesor Kim Jeong dari Universitas Kajian Korea Utara, kepada DW.
Dampak keras COVID-19 di Korea Utara
Ada beberapa laporan yang belum dikonfirmasi tentang penyebaran COVID-19 di Korea Utara. Sumber "resmi" di Provinsi Hamgyong Utara yang tidak disebutkan namanya, mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA) yang didanai pemerintah Amerika Serikat bahwa sekitar 5.400 orang telah didiagnosis sebagai terduga pasien COVID-19 dan lebih dari 10 orang meninggal dunia setelah menunjukkan gejala penyakit tersebut.
Demikian pula, sumber resmi yang tidak disebutkan namanya di kota Rason, Korea Utara, yang terletak di dekat Rusia, mengatakan kepada RFA pada bulan Maret terdapat sekitar 6.000 kasus dan puluhan kematian orang dengan gejala COVID-19.
Pyongyang secara konsisten mengambil tindakan luar biasa untuk menahan penyebaran virus ke dan seluruh negeri. Konsekuensinya dilaporkan suram.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan Korea Utara menderita efek negatif yang serius dari pandemi ini, ditambah pula dampak ekonomi dari kebijakan isolasi diri negara itu. Pelapor khusus hak asasi manusia di Korea Utara, Tomas Ojea Quintana, dalam sebuah laporan untuk Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, menguraikan peningkatan jumlah anak-anak dan orang tua yang mengemis, kematian akibat kelaparan, dan eksekusi.
Tindakan pemerintah dan konsekuensinya terhadap ekonomi
Seiring penutupan perbatasan, pemerintah Korea Utara terus menegakkan langkah-langkah kesehatan lainnya, termasuk mewajibkan pemakaian masker yang seringkali adalah masker kain buatan sendiri, melakukan desinfeksi, meningkatkan pengawasan perbatasan, memblokir sementara sejumlah jalan, serta kebijakan penguncian secara regional berkala, Jeong Eun Mee, peneliti di Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, mengatakan kepada DW lewat email.
Aktivitas perdagangan dengan Cina telah berkurang hingga 95% yang nyaris mengarah pada laporan kelangkaan bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya, tidak hanya di daerah-daerah miskin tetapi juga di ibu kota Pyongyang.
Sektor perawatan kesehatan Korea Utara yang terbelakang tidak akan mampu mengatasi seriusnya dampak wabah pandemi corona.
Korea Utara telah mengadopsi strategi yang sangat ketat, hingga beberapa ahli bahkan menggolongkannya sebagai paranoid, guna mencegah masuknya dan menyebarnya virus di negara itu. Baru-baru ini, Pyongyang memutuskan untuk tidak mengirim tim ke Olimpiade Tokyo 2021, sebagian besar karena takut akan COVID-19.
Penerbangan terakhir yang dikonfirmasi dari Korea Utara ke luar negeri adalah pada Maret 2020. Sejak saat itu setiap orang asing, termasuk pekerja kemanusiaan dan petugas kedutaan, harus melintasi perbatasan darat dan sering pula dengan metoda transportasi yang tidak biasa.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Korea Utara tidak ingin ada kereta atau bus membawa orang bolak-balik melintasi perbatasan dan membawa virus. Jadi orang-orang harus mengurus transportasi mereka sendiri untuk mengangkut barang-barang ke luar negeri, terkadang juga harus menggunakan gerobak.
"Mereka tidak ingin ada yang membawa apa pun ke dalam negara ini," kata Zwirko. Hanya sembilan kedutaan asing di Pyongyang yang tetap buka. Secara total, ada kurang dari 290 orang asing di Korea Utara, menurut kedutaan Rusia.
Kedutaan juga menambahkan bahwa langkah-langkah tegas negara itu "belum pernah terjadi sebelumnya, (di tengah terjadinya) kekurangan ekstrem barang-barang pokok, termasuk obat-obatan, (dan) kurangnya (kemampuan) untuk memecahkan masalah kesehatan."
Zwirko mencatat bahwa di sana "tidak ada delegasi… segelintir pejabat kedutaan… tidak ada pekerja kemanusiaan."
Potensi buka kembali jalur perdagangan
Pada Maret tahun ini, Korea Utara memperkenalkan Undang-Undang Disinfeksi Barang Impor, dan telah membangun fasilitas disinfektan di dekat penyeberangan perbatasan. Semua ini diharapkan bisa digunakan ketika Korea Utara membuka kembali perdagangan.
Pembukaan kembali jalur perdagangan ini juga diharapkan dapat memungkinkan perampungan Rumah Sakit Umum Pyongyang yang seharusnya selesai Oktober pada tahun lalu, kata Jeong.
Beberapa pengamat memperkirakan Korea Utara akan segera membuka perbatasannya dengan Cina, setidaknya untuk pengiriman barang.
Sementara radio RFA melaporkan sejumlah inspektur mulai terlihat di fasilitas karantina baru yang didirikan di Dandong dan Sinuiju, di kedua sisi perbatasan Cina-Korea Utara. Tetapi realitas korban dari pandemi COVID-19 di Korea Utara hanya bisa diungkap jika Pyongyang membuka kembali negara itu dan memungkinkan akses yang lebih luas bagi pekerja kemanusiaan dan korps diplomatik.