Pandemi Corona Mengubah Paradigma Pertahanan dan Keamanan
Miodrag Soric
28 April 2020
Ketika anggaran militer secara global terus meningkat, beberapa negara mulai meninjau ulang paradigma pertahanannya. Pandemi Corona menelanjangi rapuhnya konsep pertahanan nasional saat ini.
Bahkan Angkatan Laut AS pun tidak berdaya. COVID-19 baru-baru ini menyebar di atas kapal induk USS Theodore Roosevelt, dengan kapasitas sekitar 5000 awak kapal. Pihak Angkatan Laut bingung menghadapinya.
Ketika wabah terus menyebar, infrastruktur kesehatan di banyak negara bagian AS kewalahan mengatasinya. "Orang Amerika sekarang menuntut investasi yang lebih besar dalam sistem perawatan kesehatan," kata Christopher Preble. Tapi menurut dia, sikap ini bisa saja berubah begitu pandemi berlalu.
Alexander Golz mengatakan, Presiden Vladimir Putin memang melakukan pertemuan dengan perwakilan industri militer saat pandemi corona melanda Rusia. “Tadinya mereka mengira Presiden Putin akan membahas cara-cara merestrukturisasi ekonomi untuk meningkatkan produksi obat-obatan, pakaian pelindung dan masker wajah," katanya kepada DW. Tetapi ternyata, fokus pembicaraannya hanya tentang bagaimana memastikan senjata bisa terus diproduksi dan diekspor.
Bakal Kandidat Pilpres AS dari Partai Demokrat, Joe Biden, sudah mengumumkan rencananya membentuk pos kabinet khusus yang fokus pada ancaman pandemi dan perubahan iklim, seandainya dia terpilih.
Chris Murphy, senator Demokrat dari Connecticut, juga mengatakan kepada wadah pemikir, German Marshall Fund (GMF) bahwa AS harus mendefinisikan ulang agenda keamanannya dengan mempertimbangkan adanya pandemi, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan sebagai ancaman keamanan serius.
Siapa Yang Berperang di Konflik Suriah?
Konflik di Suriah memasuki babak baru setelah militer Turki melancarkan serangan terhadap posisi milisi Kurdi di timur laut Suriah. Inilah faksi-faksi yang berperang di Suriah.
Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images
Perang Tiada Akhir
Suriah telah dilanda kehancuran akibat perang saudara sejak 2011 setelah Presiden Bashar Assad kehilangan kendali atas sebagian besar negara itu karena berbagai kelompok revolusioner. Sejak dari itu, konflik menarik berbagai kekuatan asing dan membawa kesengsaraan dan kematian bagi rakyat Suriah.
Foto: picture alliance/abaca/A. Al-Bushy
Kelompok Loyalis Assad
Militer Suriah yang resminya bernama Syrian Arab Army (SAA) alami kekalahan besar pada 2011 terhadap kelompok anti-Assad yang tergabung dalam Free Syrian Army. SAA adalah gabungan pasukan pertahanan nasional Suriah dengan dukungan milisi bersenjata pro-Assad. Pada bulan September, Turki meluncurkan invansi militer ketiga dalam tiga tahun yang menargetkan milisi Kurdi.
Foto: picture alliance/dpa/V. Sharifulin
Militer Turki
Hampir semua negara tetangga Suriah ikut terseret ke pusaran konflik. Turki yang berbatasan langsung juga terimbas amat kuat. Berlatar belakang permusuhan politik antara rezim di Ankara dan rezim di Damaskus, Turki mendukung berbagai faksi militan anti-Assad.
Foto: picture alliance/dpa/S. Suna
Tentara Rusia
Pasukan dari Moskow terbukti jadi aliansi kuat Presiden Assad. Pasukan darat Rusia resminya terlibat perang 2015, setelah bertahun-tahun menyuplai senjata ke militer Suriah. Komunitas internasional mengritik Moskow akibat banyaknya korban sipil dalam serangan udara yang didukung jet tempur Rusia.
Sebuah koalisi pimpinan Amerika Serikat yang terdiri lebih dari 50 negara, termasuk Jerman, mulai menargetkan Isis dan target teroris lainnya dengan serangan udara pada akhir 2014. Koalisi anti-Isis telah membuat kemunduran besar bagi kelompok militan. AS memiliki lebih dari seribu pasukan khusus di Suriah yang mendukung Pasukan Demokrat Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Images/US Navy/F. Williams
Pemberontak Free Syrian Army
Kelompok Free Syrian Army mengklaim diri sebagai sayap moderat, yang muncul dari aksi protes menentang rezim Assad 2011. Bersama milisi nonjihadis, kelompok pemberontak ini terus berusaha menumbangkan Presiden Assad dan meminta pemilu demokratis. Kelompok ini didukung Amerika dan Turki. Tapi kekuatan FSA melemah, akibat sejumlah milisi pendukungnya memilih bergabung dengan grup teroris.
Foto: Reuters
Pemberontak Kurdi
Perang Suriah sejatinya konflik yang amat rumit. Dalam perang besar ada perang kecil. Misalnya antara pemberontak Kurdi Suriah melawan ISIS di utara dan barat Suriah. Atau juga antara etnis Kurdi di Turki melawan pemerintah di Ankara. Etnis Kurdi di Turki, Suriah dan Irak sejak lama menghendaki berdirinya negara berdaulat Kurdi.
Foto: picture-alliance/AA/A. Deeb
Islamic State ISIS
Kelompok teroris Islamic State (Isis) yang memanfaatkan kekacauan di Suriah dan vakum kekuasaan di Irak, pada tahun 2014 berhasil merebut wilayah luas di Suriah dan Irak. Wajah baru teror ini berusaha mendirikan kekalifahan, dan namanya tercoreng akibat genosida, pembunuhan sandera serta penyiksaan brutal.
Foto: picture-alliance/dpa
Afiliasi Al Qaeda
Milisi teroris Front al-Nusra yang berafiliasi ke Al Qaeda merupakan kelompok jihadis kawakan di Suriah. Kelompok ini tidak hanya memerangi rezim Assad tapi juga terlibat perang dengan pemberontak yang disebut moderat. Setelah merger dengan sejumlah grup milisi lainnya, Januari 2017 namanya diubah jadi Tahrir al-Sham.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Nusra Front on Twitter
Pasukan Iran
Iran terlibat pusaran konflik dengan mendukung rezim Assad. Konflik ini juga jadi perang proxy antara Iran dan Rusia di satu sisi, melawan Turki dan AS di sisi lainnya. Teheran berusaha menjaga perimbangan kekuatan di kawasan, dan mendukung Damaskus dengan asistensi startegis, pelatihan militer dan bahkan mengirim pasukan darat.
Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images
10 foto1 | 10
Paradigma baru tentang ancaman keamanan
Ulrich Schlie, pakar studi keamanan dan strategi pertahanan di Universitas Bonn, mengakatan: "Krisis yang kita alami sekarang adalah momen yang menentukan - juga untuk pemahaman kita tentang kebijakan keamanan." Ulrich Schlie pernah memimpin divisi perencanaan di Kementerian Pertahanan Jerman selama bertahun-tahun. Kepada DW dia mengatakan, sudah saatnya untuk mengadopsi "gagasan keamanan yang lebih luas" yang melampaui pertimbangan militer dan anggaran persenjataan saja.
Dalam pandangannya, negara-negara di dunia harus juga membahas berbagai ancaman keamanan, termasuk pandemi, tantangan terkait migrasi, dan fenomena lainnya, di samping "anggaran untuk tentara konvensional." Dia mendesak negara-negara anggota Uni Eropa untuk berkoordinasi lebih baik lagi dalam urusan keamanan.
Namun Ulrich Schlie tidak merekomendasikan penciutan anggaran pertahanan konvensional. Dia menekankan, untuk menghadapi bahaya pandemi dan ancaman non-militer lainnya, negara-negara harus meningkatkan anggaran pertahanan mereka secara keseluruhan. (hp/ rzn)