1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pandemi Corona Perdalam Kesenjangan Digital

11 April 2020

Kebijakan pembatasan serta lockdown demi meredam Covid-19 membuat akses pada teknologi digital jadi sangat penting. Tapi sekaligus memperdalam kesenjangan digital.

Coronavirus | Digital | Internet | Chat |  Spanien
Foto: Reuters/A. Gea

Dunia menyaksikan salah satu transformasi tercepat dalam sejarah, ketika pemerintahan dan bisnis sangat bergantung pada internet selama masa-masa pembatasan bergerak dan lockdown demi meredam laju penyebaran Covid-19. 

Adopsi teknologi digital ke dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari berlangsung dalam tempo yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang diminta untuk bekerja dari rumah, sekolah dan universitas melaksanakan kelas dan kuliah online, dokter dan pasien beralih ke telemedicine, para pemimpin politik melakukan konferensi tingkat tinggi secara virtual. 

Peralatan digital seperti aplikasi ponsel cerdas dengan transfer data cepat, digunakan untuk memantau penyebaran virus dan pergerakan orang-orang yang berpotensi tertular. Sementara perusahaan teknologi raksasa seperti Alibaba dan Tencent di Cina, Google dan Microsoft di AS, menggunakan kemampuan jaringan komputer kapasitas tinggi untuk membantu penelitian para ahli mencari obat untuk Covid-19. 

“Namun seiring dengan meningkatnya ketergantungan pada platform digital, makin besar pula jurang teknologi antara negara-negara, maupun di dalam satu negara”, kata Torbjörn Fredriksson, kepala ekonomi digital di badan untuk perdagangan dan pembangunan PBB, UNCTAD, kepada DW . 

Jurang digital makin dalam 

Fredriksson menunjuk pada kasus orang-orang lanjut usia, yang bahkan di negara-negara paling maju sekalipun, tidak dilengkapi secara digital atau tidak mampu memiliki akses terhadap semua informasiyang disebarkan secara online dalam menanggapi wabah Covid-19. Padahal mereka termasuk kelompok yang berisiko tinggi. 

"Begitu perusahaan, organisasi, dan pemerintah semakin banyak beralih ke solusi digital untuk mengatasi kebijakan jarak sosial, larangan bepergian, dan efek lockdown lainnya, semua harus belajar menggunakan teknologi digital dengan cara baru yang tidak biasa mereka lakukan sebelumnya," kata Fredriksson.  

"Jadi, begitu ekonomi meningkat lagi nanti, kita akan melihat lebih banyak ekonomi digital dan lebih banyak masyarakat digital, terutama di negara-negara yang telah dapat mengambil keuntungan dari alat-alat digital. Tetapi negara-negara yang tidak begitu siap untuk melakukan itu akan tertinggal jauh", tambah kepala ekonomi digital UNCTAD itu. 

Ketika lebih dari setengah populasi dunia terhubung ke internet, di banyak negara yang kurang berkembang, hanya satu dari lima orang yang dapat menggunakan fasilitas seperti itu, lapor UNCTAD. Di negara-negara termiskin, kurang dari 5% populasi yang melakukan belanja online, bandingkan dengan 60-80% populasi di negara maju yang melakukan online shopping. 

Kesenjangan digital antar perusahaan 

Akses buruk ke internet dan platform digital lainnya membuat hampir tidak mungkin bagi negara-negara termiskin untuk memanfaatkan potensi digitalisasi seperti yang dilakukan di negara-negara lain selama krisis corona. 

"Kita harus mulai memberikan perhatian penuh pada dimensi digital dan ketahanan ekonomi suatu negara, apakah itu berurusan dengan bencana alam, krisis kesehatan atau krisis lainnya," kata Fredriksson lebih lanjut. "Selama mereka (negara-negara miskin) tertinggal jauh dalam hal kesiapan digital, sangat sulit bagi mereka untuk menggunakan alat-alat ini dalam mengatasi masalah." 

Situasi saat ini telah memperkuat posisi pasar dari beberapa platform megadigital, kata UNCTAD. Badan PBB itu dalam laporan tahun 2019 sudah menyebutkan, ada tujuh perusahaan digital terbesar dunia – yaitu Microsoft, Apple, Google, Facebook, Amazon, Tencent dan Alibaba – yang menguasai dua pertiga omset platform digital global pada tahun 2017. 

Covid-19 memacu digitalisasi 

Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara berkembang telah berusaha keras untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari digitalisasi, dengan investasi di bidang infrastruktur dan aksesibilitas. Pandemi corona kini memacu berbagai kebijakan ke arah itu lebih cepat lagi. 

Fredriksson menyebut contoh menteri perdagangan Senegal, yang telah mengundang para pemangku kepentingan di negaranya untuk memberikan saran bagaimana mempromosikan pengiriman makanan, alat-alat kebersihan,dan produk kesehatan yang diperlukan di rumah untuk memerangi virus corona. 

"Pandemi ini memicu kebijakan di tingkat politik, terkait kebutuhan untuk mencari cara bagaimana memanfaatkan teknologi digital yang telah ada," katanya. "Tetapi dalam waktu dekat, dibutuhkan juga cara untuk mengatasi berbagai kelemahan dan hambatan yang munculd ari kesenjangan digital", pungkas Fredriksson. 

(hp/as)