1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Pandemi dan Fantasi Otoritarianisme

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
25 Desember 2021

Indonesia melaporkan temuan kasus varian Omicron. Kasus tersebut ditemukan pada Rabu (15/12/2021) pada seorang pekerja di Wisma Atlet. Diketahui, pasien tersebut tak mengalami gejala COVID-19 sama sekali.

Gambar ilustrasi pandemiFoto: Robert Kneschke/Zoonar/picture alliance

Apakah keliru bila mengatakan kita semua pernah memimpikan negara berkuasa penuh di tengah pandemi Covid-19? Bahwa negara seharusnya dapat mengatur apa yang dilakukan rakyat seutuhnya sehingga wabah terkendali? Rasanya tidak. Pikiran itu muncul, bahkan dari antara kawan-kawan yang jarang berceloteh soal politik. Melihat sulitnya keputusan darurat diambil di hadapan wabah yang menyebar kencang, melihat lambannya birokrasi dalam menangani pandemi, kita memimpikan seandainya saja kita punya negara yang bisa bertindak tegas, tak perlu terlalu mengindahkan hukum atau aspirasi banyak orang.

Di sisi lain, obsesi terhadap otoritarianisme ini semakin menjadi-jadi melihat warga yang tak selalu satu frekuensi ketika diminta untuk mengurangi mobilitas dan aktivitas sosial. "Orang-orang tak bisa diatur,” ujar satu teman, "semestinya negara tegas saja, langsung hukum seberat-beratnya mereka yang tak bisa diatur.” Otoritarianisme menjadi sesuatu yang nampak menggoda dalam situasi ini, seakan ia panasea untuk mengatasi pandemi.

Obsesi "Pemerintah Tegas”

Obsesi ini mencerminkan hasrat yang biasa muncul di situasi-situasi di mana kita merasa tidak aman sebagai warga negara. Katakanlah, ketika ada ormas yang main hakim sendiri dan menyebabkan perasaan tidak aman atau tindakan kriminalitas mendadak banyak diberitakan.

Pada momen-momen seperti ini, orang-orang mengharapkan pemerintah mengambil "tindakan tegas”. Dengan tindakan tegas, maksudnya, pemerintah dibayangkan seyogianya menghabisi saja para pemantik kericuhan dan penjahat. Pemerintah tak perlu mengindahkan aturan hukum atau kemanusiaan dan menegakkan dark justice. Dan imajinasi yang muncul biasanya adalah penembakan misterius yang marak pada tahun 1980-an.

Seandainya saja aparat tak segan-segan menembak para pembuat onar, Indonesia akan aman. Demikian banyak orang tak jarang berangan-angan. Namun, kita tahu, kenyataannya tidak sesederhana angan-angan ini, baik terkait penanganan pandemi maupun kejahatan.

Bila negara dapat menghabisi warganya tanpa melalui proses hukum, itu berarti negara juga memiliki kuasa untuk menggunakannya untuk mematahkan apa yang dipandangnya mengancam. Dan apa yang dianggap mengancam bisa mencakup kritik dari masyarakat sipil. Seandainya negara dapat memelintir hukum tanpa kontrol, siapa yang dapat mengontrolnya ketika otoritas ini digunakan untuk menunaikan kepentingan segelintir?

Hal inilah yang terjadi dalam pembuatan sejumlah produk hukum kontroversial sejak tahun 2019. Sejumlah produk hukum ini bermasalah karena hanya menguntungkan segelintir pihak, biasanya pengusaha besar. Proses pembuatannya tidak melibatkan pemangku kepentingan dan unjuk rasa mengkritiknya dihadapkan dengan aparat yang represif. Bahkan, jumlah demonstran yang meninggal dalam gelombang unjuk rasa tersebut tak bisa dikatakan sedikit.

Penanganan pandemi memang menuntut tindakan yang cepat. Survei menunjukkan bahkan di negara demokratis sekalipun, pemerintah harus menciptakan aturan baru tanpa berkonsultasi dengan legislatif atau masyarakat sipil agar dapat bertindak sebelum kondisi semakin gawat. Wabah bergerak dalam kecepatan yang berbeda dengan pengambilan keputusan negara.

Namun, ada waktunya di mana pandemi menjadi dalih tindakan nondemokratis yang melayani kepentingan segelintir alih-alih untuk kesehatan warga. Contoh sohornya, penangkapan Rizieq Shihab lantaran melanggar protokol kesehatan selagi kelompok yang dekat dengan pemerintah dapat leluasa melanggarnya.

Dan kasus yang juga disinyalir marak terjadi adalah represi terhadap aktivisme warga dengan dalih pandemi. Salah satu yang terjadi adalah aktivis HAM dan lingkungan digeledah dan pihak yang melakukannya beralasan mereka perlu melakukan swab test. Penanganan pandemi dengan langkah-langkah otoriter artinya bisa dengan mudah berbalik menjadi otoritarianisme atas nama penanganan pandemi.

Apakah Efektif?

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemerintahan yang otoriter memang lebih efektif dalam menangani pandemi? Pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan sederhana. Namun, saya setidaknya dapat merespons, otoritarianisme tidak sama keefektifan memerintah.

Salah satu permasalahan penanganan pandemi di Indonesia adalah birokrasi yang lamban. Birokrasi yang lamban berdampak pada berbagai langkah fatal seperti terlambatnya pemesanan vaksin. Bayangkan berapa banyak nyawa yang bisa diselamatkan seandainya kita sudah memiliki stok vaksin yang lebih baik sebelum gelombang kedua bulan Juli silam.

Dan bila kita telisik secara historis, birokrasi yang tidak efektif di Indonesia punya akar yang panjang. Rezim Orde Baru punya kontribusi besar dengan menggemukkan birokrasi agar bisa mengontrol masyarakat dan menggalang suara dalam pemilu. Orde Baru yang otoriter memiliki 32 tahun untuk membangun birokrasi yang efisien tapi itu tidak dilakukan, pasalnya birokrasi yang gemuk berguna untuk kekuasaannya.

Bahkan kalau kita mau konsisten, langkah-langkah karantina pemerintah untuk menangani pandemi tidak memiliki landasan hukum yang sah, yang artinya mereka dapat dikatakan tidak demokratis. Kerangka hukum karantina kesehatan adalah UU Kekarantinaan Kesehatan tahun 2018. Dalam menerapkan karantina, UU ini memandatkan negara untuk menjamin kehidupan rakyatnya.

Namun, langkah yang diambil pemerintah adalah menerapkan kerangka legal baru yang membebaskan mereka dari kewajiban menjamin kesejahteraan warganya—dari PSBB hingga PPKM. Walhasil, penerapan karantina tidak efektif lantaran warga tetap harus mencari penghidupan dalam situasi yang mencekik. Apakah manuver penghematan anggaran yang tak didasari hukum tersebut berujung penanganan pandemi yang memadai? Saya rasa, tidak.

Langkah-langkah nondemokratis tidak sama dengan penanganan pandemi yang efektif. Ketika kebijakan yang absen dari pemantauan publik diterapkan, tidak ada jaminan ujungnya akan lebih baik untuk publik. Bahkan, risiko-risiko pelanggaran hak publik justru sangat terbuka.

Kita nampaknya perlu lebih berhati-hati dengan fantasi otoritarianisme kita.

 

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.