Pandemi Tumbuhkan Bibit Otoritarianisme Di Seluruh Dunia
25 Juni 2020
Wabah COVID-19 menyisakan ancaman terhadap demokrasi. Berbagai pemerintahan di dunia diyakini memanfaatkan status darurat kesehatan untuk membangun struktur otoritarianisme dan melucuti hak-hak sipil.
Iklan
Pandemi Covid-19 turut menyuburkan praktik otoriter oleh pemerintahan di sejumlah negara di dunia. Fenomena ini dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, demikian kesimpulan 500 tokoh masyarakat yang disampaikan melalui sebuah surat terbuka.
Sejak wabah corona berkecamuk di Cina, Desember silam, negara-negara Eropa, Asia, Amerika dan Afrika bereaksi dengan membatasi hak sipil, antara lain pembatasan kebebasan berpergian, kebebasan berbicara dan juga kebebasan berkumpul.
“Rejim otoriter memanfaatkan krisis ini untuk membungkam kritik dan memperkuat kekuasaan politiknya,” tulis para tokoh, termasuk 60 bekas kepala negara, serta pemenang penghargaan nobel, dalam sebuah surat yang digalang Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) di Stockholm, Swedia.
“Bahkan pemerintahan-pemerintahan yang dipilih secara demokratis berusaha menanggulangi pandemi dengan mengaktifkan kekuasaan darurat yang membatasi Hak Asasi Manusia dan meningkatkan pengawasan publik tanpa kerangka hukum atau kontrol oleh parlemen.”
Lebih dari 80 negara tercatat memberlakukan status darurat nasional, menurut lembaga nirlaba AS, International Center for Non-Profit Law. Larangan keluar rumah, denda bagi pelanggaran, pengawasan ekstra, penyensoran dan penguatan wewenang eksekutif merupakan indikator paling mencolok.
Alhasil norma demokrasi perlahan tergerus yang sekaligus berdampak pada kebebasan politik, serta kemampuan pemerintahan menanggulangi darurat kesehatan di masa depan, kata Sekretaris Jendral IDEA, Kevin Casas-Zamora.
Bibit Otoritarianisme
Di antara negara yang menjadi contoh kemunculan praktik otoritarianisme yang ditandai penambahan kekuasaan pemerintah tanpa diimbangi pengawasan adalah Filipina, Hungaria, El Salvador dan Turki.
“Ada alasan yang legitim untuk mengaktifkan kewenangan darurat bagi pemerintah. Yang bermasalah adalah ketika pemerintah menggunakan kewenangan darurat untuk membungkam media independen dan hak-hak fundamental lain,” kata pria yang pernah menjabat sebagai wakil presiden Costa Rica itu.
“Kami ingin menarik perhatian publik pada ancaman terhadap demokrasi di tengah krisis ini. Bukan untuk melindungi demokrasi, tetapi bahwa demokrasi memiliki niai dasar dalam menanggulangi pandemi dan menyiapkan diri untuk menghadapi krisis di masa depan,” imbuhnya.
Di antara para penandatangan petisi adalah bekas Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso, dan Jeb Bush, bekas Gubernur Florida yang juga adik bekas Presiden AS George W. Bush.
Menurut catatan IDEA, pandemi Covid-19 sudah menunda atau membatalkan 66 pemilihan umum di seluruh dunia. Bahkan sepertiganya adalah pemilihan berskala nasional. Hampir 50 negara membatasi kebebasan pers, 21 di antaranya dilakukan oleh pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Di Indonesia wabah corona menunda Pemilihan Kepala Daerah di sembilan provinsi, 209 dari 224 kabupaten dan 37 kota. Diperkirakan sebanyak 100 juta pemilih terdampak. Saat ini Komisi Pemilihan Umum mengklaim sedang menggodok tata cara pemilihan baru agar sesuai dengan protokol wabah yang telah diputuskan pemerintah.
rzn/vlz (afp,scmp,rtr)
Hari-hari Penuh Kekerasan di Hong Kong
Selama setengah tahun, para mahasiswa di Hong Kong berdemonstrasi menuntut kebebasan dan demokrasi. Protes pun semakin radikal. Terakhir, pecah bentrokan di Universitas Politeknik Hong Kong.
Foto: Reuters/T. Siu
Protes di Kampus Politeknik
Inilah kampus Universitas Politeknik. Para demonstran dipukul mundur di sini dan terlibat dalam bentrokan dengan polisi selama lebih dari 24 jam. Di kampus, ratusan orang berbekal senjata alat pembakar dan senjata rakitan sendiri. Untuk menangkal polisi, mereka menyalakan api besar-besar.
Foto: Getty Images/AFP/Ye Aung Thu
Diringkus dan ditangkap
Aktivis melaporkan bahwa polisi mencoba menyerbu gedung universitas. Karena gagal, aparat pun menciduk para demonstran di sekitaran universitas. Mahasiswa yang ingin meninggalkan kampus ditangkap. Polisi mengatakan mereka menembakkan amunisi di dekat universitas pada pagi hari, tetapi tidak ada yang tertembak.
Foto: Reuters/T. Siu
Gagal melarikan diri
Di luar kampus, polisi bersiaga dengan meriam air. Asosiasi mahasiswa melaporkan bahwa sekitar 100 mahasiswa mencoba meninggalkan gedung universitas. Namun mereka terpaksa kembali ke dalam gedung kampus ketika polisi menembakkan gas air mata ke arah mereka.
Foto: Reuters/T. Peter
Lokasi strategis penting
Universitas Politeknik menjadi penting dan strategis bagi para demonstran karena terletak di pintu masuk terowongan yang menghubungkan daerah itu dengan pulau Hong Kong. Dalam beberapa hari terakhir, pengunjuk rasa telah mendirikan barikade di luar terowongan untuk memblokir pasukan polisi. Ini adalah bagian dari taktik baru untuk melumpuhkan kota dan meningkatkan tekanan pada pemerintah.
Foto: Reuters/T. Peter
Apa tuntutannya?
Protes di Wilayah Administratif Khusus ini telah berlangsung selama lebih dari lima bulan. Tuntutan para demonstran antara lain yaitu pemilihan umum yang bebas dan penyelidikan kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Perwakilan pemerintahan Beijing di Hong Kong belum menanggapi kedua tuntutan ini.
Foto: Reuters/T. Peter
Peningkatan kekerasan
Protes yang awalnya damai kini berubah menjadi penuh kekerasan. Polisi menindak tegas dan mengancam akan menggunakan amunisi tajam. Aktivis Hong Kong berbicara tentang adanya 4.000 penangkapan sejak protes dimulai. Para demonstran sendiri melawan dengan melempari batu, melemparkan bom Molotov dan menggunakan busur serta anak panah.
Foto: Reuters/T. Siu
Busur dan anak panah untuk melawan
Seorang polisi terluka pada hari Minggu (17/11) akibat tusukan anak panah di kakinya. Aktivis terkenal Hong Kong, Joshua Wong, membenarkan kekerasan yang dilakukan para demonstran. "Dengan protes yang damai, kami tidak akan mencapai tujuan kami. Dengan kekerasan saja juga tidak mungkin, kami membutuhkan keduanya," kata Wong kepada media Jerman, Süddeutsche Zeitung.
Foto: picture-alliance/dpa/Hong Kong Police Dept.
Sembunyikan identitas
Pemerintah Hong Kong telah melarang pemakaian topeng. Banyak demonstran memakai masker gas untuk perlindungan terhadap serangan gas air mata. Yang lain mengikat kain di depan wajah mereka untuk menyembunyikan identitas. Mereka takut penangkapan dan konsekuensinya jika mereka sampai dikenali.
Foto: Reuters/T. Siu
Khawatir militer turun tangan
Eskalasi kekerasan juga makin berlanjut. Kehadiran beberapa tentara Cina pada hari Sabtu (16/11) di Hong Kong menyebabkan kekhawatiran. Para tentara ini diturunkan untuk membantu membersihkan serakan batu. Di antara para demonstran, muncul kekhawatiran besar bahwa Cina bisa saja menggunakan militernya untuk mengakhiri protes di Hong Kong. (ae/pkp)