1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Panjang Lebar Penjelasan Pemerintah soal UU Cipta Kerja

Detik News
8 Oktober 2020

Pemerintah melalui beberapa menteri akhirnya mengklarifikasi berbagai isu UU Cipta Kerja yang berkembang di masyarakat. Dari isu upah minimum, pesangon dan hak cuti, hingga klarifikasi terkait perlindungan lingkungan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto
Foto: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga HartartoFoto: picture-alliance/dpa/B. Indahono

Pengesahan UU Cipta Kerja memunculkan gejolak publik, mulai dari aksi massa hingga protes di media sosial. Pemerintah melalui beberapa menteri pun memberi penjelasan terkait hal ini.

Usai disahkannya UU Cipta Kerja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan banyak informasi bohong atau hoax menyangkut beleid tersebut. Salah satu yang banyak terserang hoax adalah mengenai klaster pekerjaan.

"Kami akan menjelaskan isu yang beredar, agar masyarakat yang belum sempat membaca UU secara lengkap, setidaknya mendapatkan pemahaman mengenai isi klaster dalam UU dan juga tidak mudah percaya dengan hoax yang sudah sangat banyak beredar di masyarakat terkait UU Cipta Kerja," kata Airlangga dalam video conference, Jakarta, Rabu (07/10).

Klarifikasi terkait isu upah minimum, pesangon, dan hak cuti

Airlangga membantah mengenai isu upah minimum dihapuskan. Menurut dia, upah minimum tetap ada dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Maka upah tidak akan turun. UU Ciptaker mengatur upah pekerja harus lebih tinggi dari upah minimum," jelasnya.

Isu selanjutnya yang diluruskan Airlangga adalah terkait pesangon. Dalam aturan sapu jagad ini para pekerja mendapatkan kepastian pembayaran pesangon dan mendapat tambahan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Selain itu, kata Airlangga, UU Cipta Kerja mengatur agar pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mendapatkan manfaat lain berupa peningkatan kompetensi atau upskilling serta akses pada kesempatan kerja yang baru.

"Terkait waktu kerja yang eksploitatif, dapat kami sampaikan bahwa dalam UU Cipta Kerja, pengaturan mengenai waktu kerja, istirahat jam kerja dan istirahat minggu tetap seperti UU lama di Pasal 77 dan 79," katanya.

Selanjutnya, mengenai jenis pekerjaan yang sifatnya tertentu atau fleksibel waktu, contoh misalnya e-commerce, diatur dalam perjanjian kerja sesuai aturan dalam Pasal 77.

"Mengenai isu hak cuti haid dan cuti melahirkan dihapus, kami tegaskan bahwa pengusaha wajib memberikan cuti dan waktu istirahat. Waktu ibadah, cuti haid, cuti melahirkan, waktu menyusui, kami tegaskan tidak dihapus dan tetap sesuai UU lama," katanya.

Isu lain yang diluruskan juga mengenai pekerja outsourcing diganti dengan kontrak seumur hidup dan tidak mendapatkan jaminan pensiun. Mantan Menteri Perindustrian ini mengatakan di UU Ciptaker, pekerja outsourcing baik yang kontrak maupun yang tetap akan mendapatkan jaminan perlindungan upah dan kesejahteraan. Ia juga menyebut hak pekerja juga harus tetap dilindungi apabila terjadi pergantian perusahaan outsourcing seperti diatur dalam Pasal 66.

"Terkait isu tenaga kerja asing (TKA) bebas masuk ke Indonesia, maka kami tegaskan bahwa dalam UU Ciptaker diatur tenaga kerja asing yang dapat bekerja di Indonesia hanya untuk jabatan tertentu, waktu tertentu dan harus punya kompetensi tertentu. Kemudian, perusahaan yang mempekerjakan TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)," ungkapnya.

Menteri LHK tepis anggapan Omnibus Law kemunduran bagi perlindungan lingkungan

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menjelaskan secara panjang-lebar mengenai izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Penjelasan ini sekaligus menepis anggapan bahwa terjadi kemunduran perlindungan lingkungan dalam aturan tersebut.

Pernyataan itu disampaikan Siti dalam konferensi pers bersama sejumlah menteri di gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (07/10). Siti mengawali penjelasannya dengan penegasan bahwa UU Cipta Kerja ini tidak menghapus izin lingkungan.

"Berkaitan dengan amdal, tidak benar bahwa ada anggapan terjadi kemunduran dengan perlindungan lingkungan. Tidak benar. Kenapa? Karena prinsip dan konsep dasar pengaturan amdal di dalam UU ini tidak ada perubahan. Yang berubah adalah kebijakan dan prosedurnya. Kenapa? karena dia harus disederhanakan supaya sesuai dengan tujuan dari UU Cipta Kerja ini. Artinya apa? Harus diberikan kemudahan kepada pelaku usaha," kata Siti.

Siti mengatakan UU Cipta Kerja ini mengintegrasikan izin lingkungan kepada izin berusaha. Selain itu, kata Siti, penegakan hukum lebih diperkuat dalam aturan tersebut.

"Mengapa dia memperkuat penegakan hukum, karena kalau di waktu yang lalu ada masalah dengan lingkungan, izin lingkungannya dicabut, tetapi perusahaannya bisa saja berjalan, sekarang berarti lebih kuat. Kenapa? Karena kalau ada masalah di lingkungan karena dia menjadi dasar dalam perizinan berusaha lalu digugat perizinan perusahaannya karena ada masalah lingkungan jadi itu bisa langsung kena kepada perizinan berusaha," ujar Siti.

Siti juga menepis anggapan bahwa UU Cipta Kerja ini tidak membuka ruang untuk pengajuan gugatan karena ada masalah lingkungan. Justru, kata Siti, aturan ini membolehkan gugatan terhadap izin perusahaannya.

"Oleh karena itu seperti yang saya katakan izin jadi makin kuat, kenapa? karena di dalam pasal, di dalam UU disebutkan bahwa perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila satu persyaratan yang diajukan dalam permohonan perizinan berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, ketidakbenaran atau pemalsuan data dokumen dan atau informasi," ujar dia.

Siti juga mengklarifikasi isu lain yang berkembang di masyarakat terkait pergantian sistem komisi penilaian amdal menjadi sistem uji kelayakan. Sistem ini diganti, menurut Siti, setelah pihaknya melakukan evaluasi dan berdasarkan praktik empiris.

"Oleh karena itu, ini disesuaikan prosedurnya, sistemnya disesuaikan yaitu dengan penerapan sistem uji kelayakan oleh lembaga uji kelayakan sehingga terjadilah standarisasi sistem. Konsepnya dilakukan uji kelayakan yang dibentuk pemerintah pusat dalam melaksanakan tugasnya dia membantu Gubernur, Bupati, Wali Kota melaksanakan, menerbitkan persetujuan lingkungan," tutur Siti.

Dengan adanya sistem ini, sambung Siti, uji kelayakan dilaksanakan sesuai Norma Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Untuk tim yang terlibat nanti adalah sejumlah ahli yang mempunyai sertifikat yang dapat dipertanggungjawabkan.

Isu lain yang juga diluruskan oleh Siti adalah mengenai keterlibatan masyarakat yang minim. Siti menjelaskan masyarakat tetap terlibat dalam penyusunan amdal, terutama mereka yang terkena dampak langsung. Siti juga menepis anggapan soal pemerintah pusat melonggarkan pengawasan mengenai amdal ini. Menurut dia, pemerintah tetap bertanggung jawab mengawasi izin usaha. (Ed: gtp/ha)

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

Airlangga Sebut Banyak Hoax Beredar soal Isi UU Cipta Kerja

Penjelasan Panjang-Lebar Menteri LHK soal Izin Amdal di UU Cipta Kerja
 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait