1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Para Desertir dan Menurunnya Moral Tentara Myanmar

Julian Küng
27 Juni 2024

Junta militer di Myanmar semakin kehilangan kekuasaan. Kian banyak tentara yang meninggalkan angkatan bersenjata. Para desertir melaporkan kondisi menyedihkan di garis depan.

Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) di sebuah desa yang dihancurkan oleh militer
Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) di sebuah desa yang dihancurkan oleh militerFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Setahun lalu, Aung Kyaw hanyalah seorang pekerja pabrik biasa di pinggiran kota Yangon, Myanmar. Namun kini, pemuda tersebut buron dan dianggap sebagai musuh negara. Ia khawatir akan keselamatan nyawanya.

Bersama tentara desertir lainnya, Aung Kyaw bersembunyi di blok apartemen di suatu tempat di wilayah perbatasan antara Myanmar dan Thailand. Aung tidak pernah ingin bergabung di militer. Perjalanannya bergabung dengan militer bermula dari shift kerja yang diperpanjang.

Pilihannya saat itu adalah: Penjara atau militer.

Hidup menyedihkan di zona pertempuran

Sejak itulah, Aung menjadi bagian dari institusi yang sebenarnya dia benci. Setelah enam bulan menjalani pelatihan dasar, pemain berusia 21 tahun itu mendapati dirinya berada di zona pertempuran di timur Myanmar.

Di sana, junta militer berjuang menguasai wilayah perbatasan strategis dan jalur perdagangan yang menguntungkan ke Thailand.

Kondisi di barak hutan sangat menyedihkan. "Banyak korban luka dibiarkan tergeletak," kenang Aung. Rezim sangat kesulitan memasok makanan, amunisi, dan pasokan medis kepada pasukannya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Obat-obatan tidak dapat dikirim karena jalan-jalan diblokir oleh pemberontak." Banyak tentara mengalami demoralisasi, kelelahan, dan tidak lagi ingin berperang, "tetapi atasan mereka mendesak untuk melakukan hal tersebut," tambahnya.

Selain itu, ada desas-desus di seluruh pangkalan bahwa kompensasi yang dijanjikan kepada keluarga tentara yang gugur belum dibayarkan. "Hanya sedikit keluarga yang menerima uang," kata Aung. "Yang lainnya kembali dengan tangan kosong."

Untuk mengatasi penurunan semangat pasukan, stimulan didistribusikan ke seluruh unit. "Setiap tentara menerima empat pil sabu dua kali seminggu," katanya. Beberapa dari mereka terpaksa mengonsumsi campuran berbahaya metamfetamin dan kafein.

Aung tidak sanggup lagi menanggung kondisi ini. Dia melarikan diri dari pangkalan militer dan membelot ke pemberontak. Selama sebulan, dia berjuang melawan rezim militer bersama jajaran Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA), salah satu tentara etnis tertua dan terkuat di Myanmar. 

Desertir tentara Myanmar ditampung di sebuah rumah aman.Foto: Julian Küng

Sekitar 15.000 tentara dan polisi telah bergabung dengan kelompok pemberontak sejak kudeta militer. Demikian perkiraan Naung Yoe dari People's Goal, organisasi yang membantu tentara melakukan desersi. Jumlah pastinya tidak diketahui, tapi asosiasi ini mencatat peningkatan signifikan jumlah tentara desertir sejak musim gugur lalu.

Titik balik: serangan terkoordinasi terhadap junta

Operasi 1027 menandai titik balik dalam perang saudara di Myanmar. Pada akhir Oktober 2023, aliansi tiga tentara etnis minoritas melancarkan serangan terkoordinasi terhadap junta, merebut sebagian besar wilayah di bagian utara negara itu.

Setelah keberhasilan serangan ini, terjadi berbagai serangan serupa terhadap junta di berbagai wilayah negara tersebut. Tentara Myanmar, yang dulunya dianggap tak terkalahkan, menanggung serangkaian kekalahan.

Aliansi antara tentara etnis minoritas dan milisi pendukung demokrasi telah merebut ratusan pos militer, jalur komunikasi dan sejumlah wilayah, termasuk daerah perbatasan utama dengan Cina, India, dan Thailand.

Di dataran rendah pedalaman, wilayah pemukiman mayoritas suku Bamar, militer jelas masih berkuasa. Namun, sebagian besar wilayah mereka telah direbut, kata para ahli. Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar (SAC-M), sebuah kelompok ahli internasional independen, menyimpulkan dalam analisis terbarunya bahwa para pemimpin kudeta tidak dapat lagi menjalankan kendali yang stabil atas 86 persen negara dan 67 persen populasi.

Zeya, berusia pertengahan 40-an, mengungsi di sebuah rumah persembunyian. Dengan kemeja kasual dan celana pendek, dia terlihat seperti penduduk lokal pada umumnya. Namun sikap disiplin dan jawaban yang singkat dan ringkas memberikan gambaran tentang masa lalunya. 

Dia bertugas di militer Myanmar selama 25 tahun. Pertama sebagai prajurit, kemudian sebagai perwira di pasukan telekomunikasi, ia bertindak sebagai penghubung antara garis depan dan pimpinan angkatan darat.

Zeya ditugaskan ke Negara Bagian Shan bagian utara selama "Operasi 1027" untuk menghentikan serangan pemberontak atas perintah junta. Namun operasi tersebut berakhir dengan bencana.

Banyak rekannya tewas atau ditangkap, sementara prajurit di barisan belakang tidak dapat mengetahui kekacauan di zona pertempuran, ungkap Zeya. "Mereka tidak tahu apa yang terjadi di garis depan. Mereka tidak diberi akses terhadap informasi tersebut.”

Pimpinan militer berusaha memanipulasi arus informasi di negara tersebut dengan menggunakan segala cara, ujarnya. Ketika kelompok oposisi menembak jatuh sebuah pesawat tempur, "kerusakan teknis" dilaporkan sebagai penyebabnya.

Kekalahan-kekalahan dan hilangnya wilayah ditutup-tutupi sebagai "kemunduran taktis sementara" atau dianggap sebagai kebohongan. Fakta bahwa ribuan tentara rezim telah tewas sejak dimulainya serangan pemberontak masih dirahasiakan.

Anggota keluarga militer dijadikan jaminan

Untuk mencegah desersi, militer juga menahan kerabat tentara. "Keluarga tentara yang membangkang akan ditekan, diancam, dan harta benda mereka disita," kata Naung Yoe dari organisasi bantuan People's Goal. Selain itu, keluarga tersebut biasanya bergantung pada pembayaran pensiun, yang tidak akan lagi dibayarkan saat tentara meninggalkan militer. 

Myanmar's military junta under increasing pressure, expert says

03:44

This browser does not support the video element.

Hal pertama yang dilakukan Zeya adalah menyembunyikan putri kecilnya bersama ibu mertuanya, serta memberikan alamat palsu kepada komando militer. Karena kendali atasannya ada di mana-mana. "Mereka mengetahui apa yang kita posting di Facebook, nomor ponsel apa yang kita pakai, akun email kita, dan lokasi ponsel kita lewat pelacakan GPS," jelasnya.

Dia mengatur ulang ponselnya dan menukar kartu SIM dengan yang baru dan rahasia. Sebagai perwira karir, dia mengetahui pangkalan dan pos pemeriksaan di wilayah metropolitan dengan sangat baik. Pelariannya pun menjadi sebuah tantangan. "Untuk melintasi ibu kota Naypyidaw, saya harus menempuh tujuh rute berbeda dengan sepeda motor."

Ia melewati banyak desa tempat kelompok perlawanan mendapat dukungan luas dari masyarakat. "Di sana saya meminta nasihat penduduk setempat tentang bagaimana saya bisa melewati pos pemeriksaan berikutnya." Akhirnya dia mencapai wilayah aman dan berlindung di rumah persembunyian.

Dari sini, dia ingin meyakinkan mantan rekannya untuk bergabung dalam perlawanan terhadap rezim. Lebih dari separuh dari mereka bersedia untuk meninggalkan militer, katanya. "Tetapi mereka ingin lihat situasi saya terlebih dahulu, untuk melihat apakah saya baik-baik saja atau tidak."

(ae/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait