Para Ilmuwan Peringatkan Titik Krisis Iklim Sudah Dekat
29 Juli 2021
Sekitar 13.000 ilmuwan menyerukan tindakan segera untuk menanggapi darurat iklim karena pola cuaca ekstrem yang mengejutkan dunia beberapa tahun terakhir. Tercatat sejumlah rekor baru tercipta terkait krisis iklim.
Iklan
Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal BioScience pada Rabu (28/07), ribuan ilmuwan kembali menyerukan tindakan segera untuk mengatasi krisis iklim.
"Peristiwa dan pola iklim ekstrem yang telah kita saksikan selama beberapa tahun terakhir – belum lagi beberapa minggu terakhir – menyoroti urgensi yang meningkat yang harus kita gunakan untuk mengatasi krisis iklim," kata Philip Duffy, salah satu penulis studi tersebut yang juga direktur eksekutif Pusat Penelitian Iklim Woodwell di negara bagian Massachusetts, Amerika Serikat (AS).
Dua tahun lalu, lebih dari 10.000 ilmuwan dari sekitar 150 negara bersama-sama mendeklarasikan kondisi darurat iklim global. Mereka sekarang bergabung dengan lebih dari 2.800 penandatangan lainnya dalam mendesak perlindungan kehidupan di Bumi.
Sejak deklarasi yang dicanangkan tahun 2019 itu, Bumi telah mengalami "lonjakan bencana terkait iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya", catat para peneliti.
Iklan
Apa saja tanda-tandanya?
Untuk studi ini, para peneliti mengandalkan "tanda-tanda vital" untuk mengukur keadaan Bumi, termasuk emisi gas rumah kaca, ketebalan gletser, luasan laut es dan laju penggundulan hutan. Dari 31 tanda yang ada, para ilmuwan menemukan bahwa 18 di antaranya mencapai rekor tertinggi atau terendah.
Cuaca Ekstrem Mematikan Kejutkan Dunia
Dari Jerman, Kanada hingga Cina, gambar-gambar dramatis dari dampak buruk cuaca ekstrem telah mendominasi kepala berita baru-baru ini. Apakah krisis iklim yang menjadi penyebabnya?
Foto: AFP/Getty Images
Banjir bandang dahsyat di Eropa
Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan oleh hujan lebat selama dua hari berturut-turut. Aliran air yang sempit meluap menjadi amukan banjir hanya dalam hitungan jam dan menghantam perumahan warga. Sedikitnya 209 orang tewas di Jerman dan Belgia. Upaya pemulihan rumah, bisnis, dan infrastruktur yang rusak diperkirakan menelan biaya miliaran euro.
Foto: Thomas Lohnes/Getty Images
Musim hujan ekstrem
Banjir juga melanda sebagian wilayah di India dan Cina bagian tengah. Hujan turun sangat lebat, bahkan lebih deras dari yang biasanya turun di musim hujan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan curah hujan yang lebih sering dan intens, karena udara yang lebih hangat menahan lebih banyak air, sehingga menciptakan lebih banyak hujan.
Foto: AFP/Getty Images
Banjir menggenangi Cina bagian tengah
Curah hujan yang memecahkan rekor selama berhari-hari menyebabkan banjir dahsyat di seluruh provinsi Henan, Cina, pada akhir Juli. Puluhan orang tewas, ratusan ribu lainnya mengungsi, dan banyak warga masih dilaporkan hilang. Di Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan, warga terjebak di rel kereta bawah tanah ketika banjir datang. Daerah pedesaan dilaporkan terkena dampak lebih parah.
Foto: Courtesy of Weibo user merakiZz/AFP
Rekor suhu panas di AS dan Kanada
Suhu yang semakin panas juga menjadi lebih umum terjadi. Seperti di negara bagian Washington dan Oregon di AS dan provinsi British Columbia di Kanada pada akhir Juni lalu. Ratusan kematian terkait suhu panas dilaporkan terjadi di sana. Desa Lytton di Kanada bahkan mencatat suhu tertinggi hingga 49,6 Celcius.
Foto: Ted S. Warren/AP/picture alliance
Kebakaran hutan memicu badai petir
Gelombang panas mungkin sudah berakhir tetapi kondisi kering telah memicu salah satu musim kebakaran hutan paling intens di Oregon, AS. Kebakaran yang dijuluki Oregon’s Bootleg Fire itu menghanguskan area seluas Los Angeles hanya dalam waktu dua minggu. Saking besarnya, asap dari kebakaran dilaporkan sampai ke New York.
Foto: National Wildfire Coordinating Group/Inciweb/ZUMA Wire/picture alliance
Amazon mendekati ‘titik kritis’?
Brasil bagian tengah dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun, sehingga meningkatkan risiko kebakaran dan deforestasi lebih lanjut di hutan hujan Amazon. Menurut para ilmuwan, sebagian besar wilayah tenggara Amazon telah berubah fungsi dari yang awalnya menyerap emisi, kini berubah menjadi memancarkan emisi CO2, menempatkan Amazon lebih dekat ke ‘titik kritis’.
Foto: Andre Penner/AP Photo/picture alliance
‘Di ambang bencana kelaparan’
Setelah bertahun-tahun alami kekeringan, lebih dari 1,14 juta orang di Madagaskar mengalami kerawanan pangan. Beberapa dari mereka terpaksa memakan kaktus mentah, daun liar, dan belalang, dalam kondisi yang mirip seperti ‘wabah kelaparan’. Nihilnya bencana atau konflik membuat situasi di sana disebut sebagai kelaparan pertama dalam sejarah modern yang semata-mata disebabkan oleh perubahan iklim.
Foto: Laetitia Bezain/AP photo/picture alliance
Melarikan diri dari bencana
Tahun 2020, jumlah orang yang melarikan diri dari konflik dan bencana alam mencapai level tertinggi dalam 10 tahun. Jumlah orang yang berpindah di dalam negera mereka sendiri mencapai rekor 55 juta, sementara 26 juta lainnya melarikan diri hingga melintasi perbatasan. Sebuah laporan dari pemantau pengungsi pada bulan Mei menemukan tiga perempat dari pengungsi internal adalah korban cuaca ekstrem.
Foto: Fabeha Monir/DW
London terendam banjir
Tidak hanya negara-negara di Eropa utara, Inggris juga dilanda banjir bandang. Beberapa bagian London dibanjiri oleh air yang naik dengan cepat karena hujan lebat dalam satu hari. Stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan juga terendam banjir. Menurut Wali Kota London Sadiq Khan, banjir bandang menunjukkan bahwa “bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.”
Foto: Justin Tallis/AFP/Getty Images
Yunani ‘meleleh’ akibat gelombang panas
Sementara negara-negara di Eropa utara mengalami banjir, negara di bagian selatan seperti Yunani justru dicengkeram oleh gelombang panas di awal musim panas. Di minggu pertama bulan Juli, suhu melonjak hingga 43 derajat Celcius. Tempat-tempat wisata seperti Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sementara panas ekstrem memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images
Sardinia dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya
“Ini adalah kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Sardinia,” kata Gubernur Sardinia Christian Salinas tentang kebakaran hutan di sana. “Sejauh ini, 20.000 hektar hutan yang mewakili sejarah lingkungan selama berabad-abad di pulau kami telah hangus menjadi abu," tambahnya. Sedikitnya 1.200 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut. (gtp/hp)
Foto: Vigili del Fuoco/REUTERS
11 foto1 | 11
Tahun 2020 adalah tahun terpanas kedua sejak pencatatan iklim dimulai, kata para ilmuwan. Sementara awal tahun ini, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer Bumi tercatat paling tinggi sejak pengukuran dimulai.
Sementara itu, tingkat kehilangan tahunan areal hutan Amazon di Brasil mencapai level tertinggi dalam 12 tahun pada tahun 2020.
Tim Lenton, direktur Institut Sistem Global Universitas Exeter dan rekan penulis studi tersebut, mengatakan, gelombang panas yang memecahkan rekor baru-baru ini di AS bagian barat dan Kanada menunjukkan bahwa iklim telah mulai "berperilaku dengan cara yang mengejutkan dan tidak terduga."
"Kita perlu menanggapi bukti bahwa kita mencapai titik kritis iklim dengan tindakan yang sama mendesaknya untuk mendekarbonisasi ekonomi global dan memulai pemulihan alih-alih merusak alam," tegasnya.
Bagaimana kita dapat memerangi krisis iklim?
Para peneliti menyerukan perubahan transformatif, dan menuliskan tiga tanggapan darurat utama yang bisa dilakukan dalam jangka pendek:
Memulihkan ekosistem seperti penyerap karbon dan keanekaragaman hayati
Para penulis juga mengatakan, perubahan iklim harus dimasukkan dalam kurikulum inti di sekolah-sekolah di seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran.
Mereka juga mendesak upaya pengurangan polutan, menstabilkan populasi manusia dan beralih ke pola makan berbasis nabati.
"Kita perlu berhenti memperlakukan darurat iklim sebagai masalah yang berdiri sendiri - pemanasan global bukanlah satu-satunya gejala dari sistem Bumi kita yang tertekan," kata William Ripple, penulis utama studi dan profesor ekologi di College of Forestry Oregon State University.
"Kebijakan untuk memerangi krisis iklim atau gejala lainnya harus mengatasi akar penyebabnya: eksploitasi berlebihan manusia terhadap planet ini."