1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Paradoks Umat Beragama

22 April 2023

Meski agama dianggap fundamental oleh masyarakat, banyak praktik dalam kehidupan sosial-masyarakat sehari-hari justru “tidak agamais” atau jauh dari nilai-nilai fundamental-universal agama. Opini Sumanto al Qurtubi.

Simbol agama dalam gambar
Gambar ilustrasi simbol agama-agamaFoto: Robert Harding/picture alliance

Menarik memperhatikan fenomena paradoks umat beragama atau masyarakat agama di Indonesia. Hasil survei global yang melibatkan ribuan partisipan dari berbagai negara yang dirilis oleh Gallup International ditemukan data yang menarik meskipun sebetulnya tidak mengagetkan. Survei itu, antara lain, merilis daftar negara yang penduduknya menganggap agama itu penting atau tidak penting dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut hasil survei tersebut, negara-negara yang masuk daftar "top 10” yang warganya menganggap agama tidak penting adalah sebagai berikut: Cina, Jepang, Estonia, Swedia, Norwegia, Republik Ceko, Hong Kong, Belanda, Israel dan Inggris. Jika ditarik ke "top 20”, maka sejumlah negara maju di Eropa dan lainnya masuk daftar (misalnya, Jerman, Denmark, Luksemburg, Australia, Salandia Baru, Kanada, atau Perancis).

Sementara itu negara yang masuk daftar "top 10” yang penduduknya memandang agama itu penting adalah sebagai berikut: Bangladesh, Ethiopia, Niger, Somalia, Indonesia, Yaman, Srilanka, Malawi, Burundi, dan Mauritania. Indonesia masuk ranking lima dengan persentasi 99 persen warganya menyatakan agama itu penting dalam kehidupan sehari-hari. Yang menarik dari data ini dari negara-negara Arab di Timur Tengah, hanya Yaman yang masuk daftar. Di antara negara maju yang sebagian besar warganya memandang agama itu penting adalah Amerika Serikat meskipun persentasenya di bawah 90 persen. Di Amerika sendiri kecenderungan fanatisme agama atau tren beragama mulai menurun di survei Gallup paling mutakhir. 

Masyarakat Indonesia dan Agama

Saya kira hasil survei itu valid. Walaupun survei tidak menyatakan pemeluk agama apa yang disurvei (setidaknya tidak dirilis di media) tetapi bisa dipastikan kalau umat Islam yang banyak ikut berpartisipasi dalam poll tersebut mengingat mayoritas penduduk Indonesia (sekitar 87 persen) secara nominal menyatakan beragama Islam.

Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, sejak beberapa tahun terakhir ini memang sedang gegap gempita merayakan agama. Di mana-mana ada label agama. Di hampir semua sektor, agama dijadikan sebagai ukuran untuk menyeleksi sesuatu, misalnya beasiswa, pangkat, jabatan, pegawai/karyawan, masuk sekolah/kuliah dan seterusnya. Agama juga dijadikan alat untuk memobilisasi massa di arena politik lokal, regional, maupun nasional.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Politik identitas berbasis agama juga berkembang biak di Indonesia, terutama sejak pilkada tahun 2017 di Jakarta, yang merupakan Pilkada gubernur terburuk sepanjang sejarah sosial-politik Indonesia kontemporer. Belum pernah ada dalam sejarah sosial Indonesia, Pilgub begitu mencekam bukan sebuah "pesta rakyat” yang menyenangkan. Hal itu karena ulah sekelompok elite politik, agama, dan bisnis yang bersekongkol menggunakan identitas Islam untuk kemenangan atau demi memenangkan kandidat (paslon) yang mereka usung.

Politik identitas berbasis agama ini terulang lagi saat Pemilu Presiden  (Pilpres) 2019 yang skalanya lebih masif. Meskipun eksplotasi agama dalam politik dan ajang pemilihan umum (baik Pilgub maupun Pilpres) sudah berlangsung lama tetapi tingkat keluasan, kebrutalan, dan kebiadaban belum ada yang menandingi Pilgub 2017 dan Pilpres 2019.   

Tidak cukup sampai di situ saja. Euforia agama juga menjalar di bidang-bidang yang "remeh temeh” dan tidak bermutu. Misalnya, memberi label "halal” di semua produk budaya material dari kulkas sampai kompor gas.

Di dunia wisata, juga marak jargon-jargon "wisata halal”. Dunia televisi dan media sosial seperti YouTube penuh bertaburan dengan acara-acara beraroma (agama) Islam. Begitu pula di dunia hunian tempat tinggal mulai dari kos-kosan sampai kompleks perumahan ramai dengan label-label "syar'i”, "islami,” atau "khusus muslim/muslimah.”

Yang paling hiruk-pikuk dengan label Islam adalah dunia tata busana. (Sebagian) umat Islam sibuk dengan perbincangan dan praktik mengenai pentingnya "busana syar'i” dengan hijab, jilbab, dan bahkan cadar, atau jubah bagi yang laki-laki. Para muslimah yang sudah berhijab atau berkerudung pun, oleh sekelompok Islam tertentu, dianggap belum syar'i atau belum islami.  

Ini hanya sekedar atau sekelumit contoh untuk menunjukkan kalau umat Islam Indonesia memang sedang gegap gempita dengan yang namanya agama.

Fenomena Paradoks

Tetapi menariknya, meskipun agama dianggap sangat fundamental oleh masyarakat, banyak praktik dalam kehidupan sosial-masyarakat sehari-hari justru "tidak agamais” atau jauh dari nilai-nilai fundamental-universal agama. Praktik kejahatan marak di mana-mana: dari pembunuhan, korupsi, dan penyuapan sampai tindakan intoleransi, kekerasan, penipuan, ujaran kebencian dan sebagainya.

Jargon Islam yang indah sebagai "agama rahmat bagi seluruh alam semesta” seolah sirna dari bumi pertiwi Indonesia karena praktik-praktik yang jauh dari rahmat yang ditunjukkan oleh sebagian kelompok muslim. Alih-alih ingin mewujudkan rahmat, yang terjadi justru praktik "laknat” bagi masyarakat dan alam semesta. Mereka rajin berkampanye "Islam agama rahmat” tetapi moralitas, perilaku, dan praktik dalam berelasi sosial dan bermasyarakat apalagi berbangsa dan bernegara justru bertolak belakang.

Pula, mereka tidak segan-segan menipu sesama umat Islam dan mengemplang uang mereka dengan berkedok umroh, sedekah, investasi, bisnis islami, solidaritas Islam atau bantuan untuk saudara-saudara muslim yang kesusahan di negara-negara lain dan lain-lain.

Kenapa fenomena paradoks ini terjadi? Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa fenomena ini terjadi. Salah satu faktor yang paling mendasar adalah karena mereka (umat agama) lebih sibuk mengurusi "masalah ekstrinsik” (bagian luar/kulit) dari agama.

Dunia ekstrinsik agama (dan entitas apapun seperti ideologi) memang sering menipu dan mudah dijadikan sebagai alat untuk menipu atau mengelabuhi publik. Dengan memberi label Islam, syar'i, atau halal, atau dengan mengenakan busana tertentu (misalnya jilbab gelombor, hijab panjang, gamis, dlsb), atau dengan tampilan fisik tertentu (misalnya berjenggot panjang), atau dengan praktik tertentu (misalnya berpoligami) dianggap sudah religius. Padahal belum tentu. Atau dengan menujukkan praktik ibadah di ruang publik (misalnya salat di jalan raya, ramai-ramai membaca Alquran di trotoar dan seterusnya) seolah sudah religius. Padahal belum tentu.

Sepanjang atau selama umat Islam Indonesia masih terpesona dengan dunia ekstrinsik agama, maka mereka akan sulit untuk bertransformasi menjadi umat kosmopolitan dan warga global yang berpikiran maju dan inklusif-pluralis. 

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

  

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait