Parlemen Korea Selatan Desak Pemakzulan Presiden Yoon
4 Desember 2024
Para anggota parlemen Korea Selatan menyerukan pemakzulan Presiden Yoon setelah ia mengumumkan keadaan darurat militer. Pengumuman itu memicu krisis politik terbesar dalam beberapa dekade.
Iklan
Deklarasi mendadak pada hari Selasa (03/12) malam waktu setempat memicu kebuntuan dan kericuhan saat parlemen Korea Selatan menolak upaya Presiden Yoon Suk Yeol untuk melarang aktivitas politik dan menyensor media. Di saat yang sama, pasukan bersenjata memaksa masuk ke gedung Majelis Nasional di Seoul.
Sebuah koalisi anggota parlemen dari partai-partai oposisi mengatakan bahwa mereka berencana mengajukan RUU untuk memakzulkan Yoon pada hari Rabu (04/12) yang harus diputuskan dalam waktu 72 jam.
"Parlemen harus fokus untuk segera menangguhkan kepentingan presiden untuk meloloskan RUU pemakzulan secepatnya,” kata Hwang Un-ha, salah satu anggota parlemen dalam koalisi, kepada para wartawan.
Kepala staf dan sekretaris senior Yoon menawarkan untuk mengundurkan diri secara massal, kata seorang pejabat kepresidenan.
Dalam pidatonya di televisi, Yoon mengatakan kepada rakyat Korea Selatan bahwa darurat militer diperlukan untuk mempertahankan negara dari Korea Utara yang bersenjata nuklir dan pasukan anti negara pro-Utara, serta melindungi tatanan konstitusional yang bebas, meskipun ia tidak menyebutkan adanya ancaman khusus.
Pasukan bersenjata masuk ke gedung parlemen
Kekacauan terjadi ketika pasukan bersenjata masuk ke gedung parlemen melalui jendela dan helikopter militer terbang di atas gedung tersebut. Para staf anggota parlemen menyemprotkan alat pemadam kebakaran untuk mendorong mundur tentara, sementara massa pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di luar gedung.
Iklan
Pihak militer mengatakan bahwa kegiatan parlemen dan partai politik akan dilarang, serta media-media akan berada di bawah kendali komando darurat militer.
Namun, dalam beberapa jam setelah deklarasi tersebut, parlemen Korea Selatan, dengan 190 dari 300 anggota yang hadir, dengan suara bulat meloloskan mosi yang meminta agar darurat militer dicabut. Presiden Yoon kemudian membatalkan deklarasi tersebut.
Para pengunjuk rasa di luar Majelis Nasional berteriak dan bertepuk tangan.
"Kami menang!,” teriak mereka.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Pasar keuangan bergejolak, saham Korea Selatan turun
Kedutaan besar AS mendesak warganya di Korea Selatan untuk menghindari daerah-daerah di mana protes sedang berlangsung, sementara beberapa perusahaan besar termasuk Naver Corp dan LG Electronics Inc, menyarankan para karyawannya untuk bekerja dari rumah.
Pasar keuangan bergejolak dengan saham Korea Selatan turun sekitar 2% pada hari Rabu (04/12), sementara won stabil diperdagangkan di kisaran 1.418 terhadap dolar, setelah jatuh ke level terendah dalam dua tahun.
Menteri Keuangan Choi Sang-mok dan Gubernur Bank of Korea Rhee Chang-yong mengadakan pertemuan darurat semalam membahas langkah-langkah untuk menopang pasar jika diperlukan.
"Kami akan menyuntikkan likuiditas tak terbatas ke dalam saham, obligasi, pasar uang jangka pendek dan juga pasar valuta asing untuk sementara waktu sampai mereka sepenuhnya normal,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan.
Otoritas valuta asing Korea Selatan dicurigai menjual dolar AS di pasar lokal untuk membatasi penurunan won, kata dua pedagang.
Presiden Yoon didesak untuk mundur
Oposisi utama Partai Demokrat menyerukan agar Yoon, yang telah menjabat sejak 2022, mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan atas deklarasi darurat militer, yang pertama kali terjadi di Korea Selatan sejak 1980.
"Bahkan jika darurat militer dicabut, dia tidak dapat menghindari tuduhan pengkhianatan. Sudah jelas terlihat oleh seluruh bangsa bahwa Presiden Yoon tidak bisa lagi menjalankan negara secara normal. Dia harus mundur,” kata anggota parlemen senior Park Chan-dae dalam sebuah pernyataan.
Majelis Nasional dapat memakzulkan presiden jika lebih dari dua pertiga anggota parlemen memberikan suara setuju. Persidangan kemudian diadakan oleh Mahkamah Konstitusi, yang dapat mengesahkannya dengan pemungutan suara oleh enam dari sembilan hakim.
Partai Yoon menguasai 108 kursi di badan legislatif yang beranggotakan 300 orang. Jika Yoon mengundurkan diri atau dicopot dari jabatannya, Perdana Menteri Han Duck-soo akan menjadi pemimpin hingga pemilu baru diadakan.
"Korea Selatan sebagai sebuah negara berhasil menghindari peluru, tetapi Presiden Yoon mungkin telah menembak dirinya sendiri,” kata Danny Russel, wakil presiden dari lembaga think tank Asia Society Policy Institute di Amerika Serikat (AS).
Darurat militer Korea Selatan mengundang kekhawatiran internasional
Krisis di Korsel yang telah menjadi negara demokrasi sejak tahun 1980-an, dan merupakan sekutu AS dan ekonomi utama Asia, menyebabkan kekhawatiran internasional.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa ia menyambut baik keputusan Yoon untuk membatalkan deklarasi darurat militer.
"Kami terus mengharapkan perselisihan politik dapat diselesaikan secara damai dan sesuai dengan aturan hukum,” kata Blinken dalam sebuah pernyataan.