Parlemen Rusia akan Gelar Sidang Luar Biasa di Tengah Perang
12 Juli 2022
Majelis Rendah Parlemen Rusia akan mengadakan sidang luar biasa pada 15 Juli 2022, setelah Presiden Vladimir Putin mengatakan pemerintahannya bahkan ''belum mulai serius dalam perang di Ukraina."
Iklan
Duma Negara atau Majelis Rendah Parlemen Rusia akan menggelar sidang luar biasa pada Jumat (15/07), demikian keputusan dewan pada hari Senin (11/07). Rencana ini diumumkan setelah Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa pemerintahannya bahkan belum mulai serius dalam perang di Ukraina.
Putin mengadakan pertemuan dengan para pemimpin parlemen pada hari Kamis (07/07) untuk menentang Amerika Serikat dan sekutunya yang mencoba mengalahkan Rusia di Ukraina. Para pemimpin parlemen mengapresiasi keputusan Putin tersebut.
Sejauh ini, parlemen Rusia, yang didominasi oleh partai yang selalu mendukung Putin, mencantumkan beberapa perubahan kebijakan dan informasi, yang akan dibahas dalam sidang luar biasa pekan ini.
Ketua Partai Rusia Bersatu Vladimir Vasiliev, dengan mayoritas 325 kursi dari total 450 kursi parlemen, mengatakan anggota parlemen akan membahas lebih dari 60 isu dalam sesi tersebut.
"Proses yang sekarang sedang berlangsung perlu mendapat tanggapan hukum,” kata Vasilyev di saluran Telegram.
"Jadi dewan akan membahas agenda pada 15 Juli 2022. Kami berencana untuk mempertimbangkan lebih dari 60 isu,” tambahnya tanpa mengatakan rincian masalahnya. Selain itu, Partai Komunis menyebut lebih dari 80 rancangan undang-undang akan dibahas.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Putin sebut perang di Ukraina adalah Rusia melawan AS
Dalam pertemuan dengan Putin pada hari Kamis (07/07), Presiden Duma Vyacheslav Volodin mengatakan bahwa parlemen Rusia akan membantu dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina, yaitu Donetsk (DPR) dan Luhansk (LPR), untuk mengembangkan sistem hukum mereka sendiri.
Iklan
Putin menyebut "operasi militer khusus” di Ukraina perlu dilakukan karena Moskow harus membela orang-orang yang berbahasa Rusia dari tindakan penganiayaan, yang menurutnya telah diabaikan oleh Barat.
Ukraina dan pendukung Baratnya mengatakan Putin tidak memiliki pembenaran atas apa yang dia katakan sebagai perampasan tanah bergaya kekaisaran terhadap negara yang perbatasannya diakui Moskow sebagai Uni Soviet.
Putin menegaskan perang di Ukraina sebagai pertempuran antara Rusia dan Amerika Serikat, yang menurutnya telah mempermalukan Rusia sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991 dengan mendorong NATO ke timur dan menggunakan Ukraina untuk mengancam Rusia.
Amerika Serikat telah berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak ingin berperang dengan Rusia. Setelah Presiden Joe Biden mengatakan pada Maret lalu bahwa Putin tidak dapat tetap berkuasa. Gedung Putih kemudian mengatakan pernyataan itu tidak berarti Washington sedang mencari perubahan rezim di Moskow.