Partai politik konservatif baru memanfaatkan ketidakpuasan kaum pria yang diharuskan melaksanakan wajib militer selama 18 bulan, sementara perempuan tidak.
Iklan
Sebuah partai konservatif baru di Korea Selatan memicu perdebatan tentang masa depan wajib militer di negara itu menjelang pemilihan umum (pemilu) Korea Selatan (Korsel) pada bulan April mendatang. Partai itu menyerukan agar perempuan juga ikut menyelesaikan wajib militer, jika mereka ingin berkarir di kepolisian, pemadam kebakaran, atau lembaga pemasyarakatan.
Aturan saat ini, semua laki-laki Korea yang sehat jasmani, diwajibkan untuk mengabdi setidaknya selama 18 bulan di salah satu cabang angkatan bersenjata Korsel, tapi ini tidak diwajibkan bagi perempuan.
Namun, dihadapkan dengan populasi yang terus menyusut, kebijakan tersebut bisa saja tidak memadai lagi untuk pertahanan nasional, ungkap para pemimpin Partai "New Choice” baru-baru ini saat memulai kampanyenya.
Pada akhir Januari lalu, pendiri partai Keum Tae-sup dan Ryu Ho-jeong mengatakan bahwa wajib militer bagi perempuan akan membantu menyelesaikan konflik gender dalam masyarakat Korsel dan memperkuat militer negara itu.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Militer Korea Selatan kekurangan personel
Hanya ada sekitar 360.000 laki-laki dan perempuan yang saat ini bertugas di angkatan darat Korea Selatan, yang harus menghadapi 1,1 juta tentara Korea Utara di benteng terkuat perbatasan.
Iklan
Karena angka kelahiran di Korea Selatan semakin menurun, diperkirakan pasukan militer negara itu akan menyusut menjadi 290.000 personel dalam satu dekade, dan hanya 190.000 personel dalam 20 tahun mendatang. Sementara Korea Utara masih akan memiliki lebih dari 1 juta tentaranya, baik laki-laki mau pun perempuan.
"Gender adalah topik perbincangan hangat di Korea Selatan saat ini, terutama saat kita semakin dekat dengan pemilihan umum," kata Kim Seong-kyung, profesor di Universitas Studi Korea Utara di Seoul.
"Dalam pemilu terakhir, ancaman yang ditimbulkan oleh Korea Utara menjadi agenda utama dan menjadi kemenangan atau pun kekalahan bagi partai-partai, tetapi kami juga melihat perempuan semakin mendapatkan suaranya... banyak perempuan menentang perundungan di dunia maya hanya karena jenis kelamin mereka dan isu-isu lain yang serupa," katanya kepada DW.
"Namun, ketika para perempuan muda mulai bersuara dan kita melihat adanya gerakan "MeToo” di sini, para pria juga ikut bereaksi menentang itu," katanya. "Mereka adalah para pria muda yang merasa bahwa sistem patriarki di negara ini sudah tidak ada lagi, bahwa hidup mereka juga sulit, bahwa hanya mereka yang harus bertanggung jawab, dan karena hanya kaum pria yang waijb bertugas di militer."
Menargetkan ketidakpuasan kaum laki-laki
Partai konservatif populis yang baru tanpa segan menargetkan ketidakpuasan laki-laki yang berusia 20-30 tahun ini. Kebijakan Partai "New Choice” lainnya, dan terbukti berhasil, adalah proposal untuk menghapus fasilitas para pensiunan melakukan perjalanan gratis dengan sistem kereta bawah tanah Seoul, yang digambarkan oleh partai tersebut sebagai menambah beban bagi para pria yang masih bekerja.
Han Ye-jung, seorang pengacara di Seoul, menentang keras usulan tersebut. "Pihak mereka mengatakan bahwa hal itu dilakukan untuk menjamin kesetaraan gender? Itu tidak benar," katanya. "Ini adalah masyarakat yang didominasi oleh laki-laki, di mana laki-laki adalah prioritas dan menikmati semua hak istimewa hanya karena mereka laki-laki," katanya. "Bagi saya, harga yang harus mereka bayar untuk hak istimewa itu adalah waktu yang mereka miliki untuk bertugas di militer."
Han yakin bahwa wajib militer harus tetap menjadi pilihan dan bukan kewajiban bagi perempuan, dan tidak boleh ada hubungan antara wajib militer dan peluang kerja di masa depan di sektor publik. Tetapi dia mengatakan bahwa masalah ini tidak perlu ditangani lebih jauh dalam waktu dekat.
"Partai tersebut tidak akan memenangkan banyak suara dalam pemilu pada bulan April nanti, karena mereka tidak memiliki cukup dukungan untuk kebijakannya, hal yang tidak mengherankan karena mereka tidak melakukan apa pun untuk menarik para pemilih perempuan," ujarnya.
Wajib Militer di Berbagai Negara
Isu wajib militer di Indonesia mengemuka ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengusulkannya ke Kementerian Pertahanan. Di Eropa, 21 negara telah meninggalkan program ini. Negara mana yang masih aktif?
Foto: picture-alliance/dpa/V. Moilanen
Prancis: penggagas wamil
Wajib militer atau wamil pertama kali diberlakukan pemerintah Prancis pada masa Revolusi Prancis. Program itu sempat dihentikan tahun 1996, sebelum dimulai lagi oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron, April 2019. Berbeda dengan sebelumnya, peserta wamil berusia 16 tahun, dan hanya mengikuti pelatihan sebulan. Mereka juga bisa memilih ikut kegiatan militer atau mengikuti kegiatan sosial.
Foto: Getty Images/AFP/L. Marin
Swiss: bebas jika tinggal di luar negeri
Semua laki-laki Swiss yang berbadan sehat dan mencapai usia dewasa, maka harus mengikuti Militärdienst atau wajib militer, sementara perempuan bisa mengikutinya secara sukarela. Setiap tahun Swiss membutuhkan 18.000 tentara baru. Bagi yang tinggal di luar negeri tidak harus ikut wamil pada masa damai, sementara mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda masih harus ikut.
Foto: Fabrice Coffrini/AFP/Getty Images
Denmark: minat tinggi tapi...
Denmark, negara Skandinavia berpopulasi 5,7 juta jiwa, memiliki angkatan berbasis wajib militer berjumlah 15.500 tentara aktif. Setelah usia 18, semua pemuda dipanggil untuk dinilai apakah mereka cocok untuk dinas militer. Perempuan Denmark tidak diwajibkan secara hukum untuk masuk militer. Meski minat tinggi, survei tahun 2017 mengungkap 48% pemuda tidak layak ikut karena alasan kesehatan.
Foto: picture-alliance/ dpa/T. Borchert
Finnlandia: denda menanti
Data dari Angkatan Bersenjata Finnlandia menyebutkan 80% pria di negara itu saat sampai usia 30 tahun telah menyelesaikan program wamil. Jika warga menolak baik wajib militer atau layanan sosial, maka ia akan dikenai sanksi berupa ditahan selama 173 hari, dikurangi masa pelayanan. Masa pelatihan militer beragam mulai dari 165, 255 atau 347 hari.
Foto: picture-alliance/dpa/V. Moilanen
Rusia: demi pengembangan mental
Negara yang dipimpin Vladimir Putin ini mengharuskan semua warga negara di umur 18 sampai 27 tahun untuk mengikuti wajib militer tanpa kecuali. Mulanya, jangka waktu dalam pengembangan mental dan karakter pemuda asal Rusia ini adalah 18 bulan, namun sejak 2008 dipangkas menjadi 12 bulan.
Foto: picture-alliance/dpa/G. Zimarev
Mesir: dilarang ke luar negeri
Di Mesir warga negara berusia 18 sampai 30 tahun wajib mengikuti pelatihan militer, dengan kurun waktu 12 hingga 30 bulan. Untuk menghindari pelanggaran, pemerintah Mesir tidak mengizinkan warganya yang berumur kurang dari 25 tahun bepergian ke luar negeri tanpa persetujuan Kementerian Pertahanan dan Keamanan.
Foto: picture-alliance/Photoshot/M. Tao
Uni Emirat Arab: ijazah penentu durasi wamil
Pria berusia 17 tahun diizinkan mendaftar untuk wajib militer secara sukarela karena program ini baru wajib setelah 18 tahun. Jika mengikuti wamil hingga usia 30 tahun, maka masa pengabdian adalah sembilan bulan. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki ijazah SMA, peserta harus mengabdi selama dua tahun. Sementara itu, wajib militer bagi perempuan bersifat sukarela.
Foto: Getty Images/AFP/K. Sahib
Singapur : daftar dini
National Service di Singapura wajib bagi seluruh pria. Mereka harus mendaftar ketika berusia 16,5 tahun, namun baru akan mengikuti wamil saat berusia 18 tahun. Program national service ini memiliki jangka waktu 22 hingga 24 bulan di seluruh matra tentara atau kepolisian.
Foto: picture-alliance/robertharding
Thailand: ikut wamil lewat undian
Negeri Seribu Pagoda ini mewajibkan warga berumur 21 hingga 27 tahun ikut pelatihan militer, termasuk transgender. Data Univesitas Hong Kong, 1 dari 165 pria di Thailand menjadi transgender. Mereka bisa bebas wamil, karena ada dua yang diterapkan yakni sukarela dan Draft Day. Peserta wajib militer dapat ambil satu kartu, jika kartu hitam artinya bebas, jika kartu merah harus mengabdi dua tahun.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Korea Selatan: boyband tak bisa lolos
Pria berusia 19 tahun hingga 35 tahun akan mendapat surat panggilan untuk masuk militer di Korea Selatan. Semua tanpa terkecuali! Termasuk anggota boyband dan aktor-aktor Korea. Mereka boleh menunda wamil yang berdurasi sekitar 21 bulan itu, dengan alasan belajar, atau ada anggota yang masih wamil. Namun, bila menolak, jeruji besi sudah siap menunggu.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS
Korea Utara : wajib militer terlama
Baik laki-laki maupun perempuan harus mengikuti wajib militer di negara yang dipimpin Kom Jong Un ini. Bahkan laki-laki harus mengikuti wajib militer hingga 10 tahun, sementara perempuan harus menjalani program ini selama tujuh tahun. Korea Utara adalah negara dengan wajib militer terlama di dunia.
Foto: picture-alliance/Newscom
Turki: program askerlik
Wajib militer di Turki dikenal dengan sebutan 'askerlik'. Semua warga yang memiliki KTP Turki, maupun diaspora yang memegang paspor Turki, wajib mengikuti program wamil. Sejak 2018, parlemen Turki beri kelonggaran, wamil bisa diselesaikan dalam waktu 21 hari, alih-alih 12 bulan bila mereka lulusan universitas dan membayar sejumlah uang kepada pemerintah sebagai gantinya.
Foto: picture-alliance/AA/A. Izgi
Israel: peraturan wamil yang unik
Tak seperti negara lainnya yang menerapkan wamil, perempuan di Israel diizinkan menduduki semua posisi termasuk untuk bertempur. Selain itu, umur seseorang saat pertama kali ikut dinas militer, menentukan durasi pelatihan. Jika peserta berusia 18 tahun, maka wajib ikuti wamil hingga 32 bulan, namun bila berusia 28 tahun maka bisa dibebastugaskan. Ed:ts/hp (dari berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/Zuma/N. Alon
13 foto1 | 13
Solusi alternatif
Beberapa analis telah mengajukan solusi alternatif untuk mengatasi masalah penurunan populasi di Korea Selatan yang semakin tidak dapat diprediksi. Solusi yang diajukan termasuk periode wajib militer yang lebih lama dan peningkatan integrasi teknologi ke dalam angkatan bersenjata, tetapi kedua usulan itu memiliki kelemahan masing-masing.
Laki-laki tidak ingin memperpanjang masa tugas militer mereka lebih lama lagi, sementara pengembangan teknologi robotik membutuhkan biaya yang mahal dan jauh dari sempurna, dan sistem yang ada kini juga masih membutuhkan pengawasan manusia.
Tak satu pun dari dua partai utama Korea Selatan, baik Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa di bawah kepemimpinan Presiden Yoon Suk-yeol mau pun Partai Demokrat yang beroposisi, berkomitmen untuk menerapkan wajib militer bagi perempuan.
Kementerian Pertahanan Korsel pekan ini juga mengatakan bahwa pihaknya tidak menyusun rencana untuk mengharuskan wajib militer bagi kaum perempuan.
Kim Seong-kyung setuju bahwa Partai "New Choice” tidak mungkin menarik suara yang cukup di parlemen baru, meski masalah yang dihadapi angkatan bersenjata Korsel masih perlu ditangani cepat atau lambat.
"Tidak ada punya cukup banyak orang di Korea Selatan, saat ketegangan dengan Korea Utara semakin memburuk," katanya. "Ini adalah fakta dan kita juga perlu merefleksikan perubahan pola pikir di kalangan generasi muda. Kita perlu berdiskusi tentang apakah perempuan juga harus bertugas di militer dan masalah ini akan menjadi diskusi panas dalam beberapa tahun ke depan."