Menyusul lengsernya PM Paetongtarn, partai penguasa di Thailand menyatakan niatnya untuk membubarkan parlemen dan menggelar pemilu baru.
Suasana pemilihan perdana menteri di Parlemen Thailand. Foto diambil pada 22 Agustus 2023Foto: LILLIAN SUWANRUMPHA/AFP/Getty Images
Iklan
Partai penguasa di Thailand, Pheu Thai, menyatakan telah meminta persetujuan kerajaan untuk membubarkan parlemen dan menggelar pemilu baru. Langkah ini diumumkan beberapa saat setelah penguasa parlemen menyatakan dukungannya kepada partai oposisi untuk membentuk pemerintahan baru.
Kepada Reuters, Ketua Fraksi Pheu Thai mengatakan bahwa partainya telah memutuskan untuk menggelar pemilu sesegera mungkin. Pheu Thai telah kehilangan Perdana Menterinya, Paetongtarn Shinawatra, pada akhir Agustus 2025 lalu.
Sebelumnya, Partai Rakyat, yang menguasai hampir sepertiga kursi di majelis rendah, menyatakan telah mendukung pemimpin ambisius dari Partai Bhumjaithai, Anutin Charnvirakul, untuk maju menjadi perdana menteri. Dukungan tersebut berpotensi menjadi titik balik yang bisa memecah kebuntuan politik di Thailand selama beberapa waktu ini.
Parade Pride di Thailand, Ajang Protes dan Selebrasi
Bulan Pride yang merayakan hak-hak LGBTQ+ dirayakan di berbagai belahan dunia dengan ragam parade. Untuk pertama kalinya Thailand menggelar selebrasi serupa, setelah negara tersebut melegalisasi pernikahan sesama jenis.
Foto: Chalinee Thirasupa/REUTERS
Lautan Pelangi
Ribuan orang menggunakan busana warna-warni memenuhi jalanan ibukota, merayakan Bulan Pride pertama mereka. Sebagian menari, sebagian berpawai keliling kota melambaikan bendera warna-warni.
Foto: Adryel Talamantes/ZUMA Press Wire/IMAGO
Berpawai memberi dukungan
Acara Pride diselenggarakan pada Minggu (1/6) dibuka dengan partisipasi Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra (foto tengah, berjubah putih) berpartisipasi dalam pawai. Ia adalah perdana menteri kedua yang berpartisipasi dalam perayaan LGBTQ+. Perayaan terkait LGBTQ+ diselenggarakan pertama kalinya tahun 1999 dengan nama Bangkok Gay Festival.
Foto: Chalinee Thirasupa/REUTERS
'Festival Pride terbesar di Asia'
Digadang sebagai “Festival Pride terbesar di Asia,” penyelenggara memperkirakan aacra ini dihadiri lebih dari 300.000 orang. Pawai membentang sepanjang 3 kilometer melalui pusat kota Bangkok, melewati sejumlah landmark terkemuka seperti kuil Wat Pathum Wanaram.
Foto: Adryel Talamantes/ZUMA Press Wire/IMAGO
Kali pertama untuk Thailand dan dunia
Sorotan pawai tahun ini adalah arak-arakan bendera pelangi kurang lebih 200 meter - “yang pertama untuk Thailand dan dunia,” menurut Pemerintah Kota Bangkok.
Foto: REUTERS
Thailand ranking 10 sepuluh besar dunia
Sebuah survei tahun 2025 oleh World Population Review memperkirakan bahwa sekitar 10% dari 71,6 juta penduduk Thailand mengidentifikasi diri mereka sebagai lesbian, gay, biseksual, panseksual, omniseksual, atau aseksual - menempatkan Thailand dalam ranking 10 besar dunia - proporsi tertinggi individu LGBTQ+.
Foto: Sakchai Lalit/AP Photo/picture alliance
Pernikahan sesama jenis yang membuka jalan baru
Thailand menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis melalui Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan, 23 Januari 2025 lalu, menapaki jejak yang sama dengan negara asia lainnya, Taiwan dan Nepal. Ribuan orang merayakan tonggak bersejarah ini dengan mengikat janji pernikahan, termasuk aktor Thailand Apiwat “Porsch” Apiwatsayree (kiri) dan Sappanyoo “Arm” Panatkool.
Foto: Chanakarn Laosarakham/AFP/Getty Images
Rancangan Undang-Undang Pengakuan Gender
Kaum transgender dan interseks masih menghadapi tantangan untuk menikah - dokumen resmi mencantumkan jenis kelamin terkadang tidak sesuai dengan identitas mereka. Aktivis mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU Pengakuan Gender, yang akan memungkinkan seseorang memilih opsi gender netral. Empat versi RUU tersebut saat ini masih dalam pembahasan.
Foto: Sakchai Lalit/AP/picture alliance
Dalam progres
Kesetaraan hak bagi LGBTQ+ di Thailand masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, kata salah satu penyelenggara Pride, Puncharus “Candy” Talert pada hari Minggu. “Saya ingin pemerintah mengesahkan undang-undang, seperti Undang-Undang Pengakuan Gender, yang sedang dalam proses, Undang-Undang Non-diskriminasi dan undang-undang lain yang mempromosikan kesetaraan gender,” jelasnya
Foto: Adryel Talamantes/ZUMA Press Wire/IMAGO
Kerusuhan Stonewall menjadi katalisator gerakan hak-hak gay modern
Perayaan Pride yang berlangsung selama sebulan penuh di seluruh dunia ini bermula dari Gay Pride Week, Juni 1970 - yang diselenggarakan satu tahun setelah polisi menggerebek Stonewall Inn, sebuah bar gay di New York. Penggerebekan memicu bentrokan antara pelanggan dan pengunjung. Hal ini pada akhirnya mendorong terbentuknya kelompok aktivis baru dan lahirnya gerakan hak-hak kaum gay modern.
Sementara mantan sekutu koalisinya, Partai Bhumjaithai, justru melancarkan manuver berani untuk membentuk pemerintahannya sendiri.
Pencopotan ini menjadi babak terbaru dalam pertarungan politik selama dua dekade antara para elit yang bersaing di Thailand. Paetongtarn merupakan perdana menteri keenam dari keluarga miliarder Shinawatra, yang digulingkan militer atau peradilan, dan yang kedua dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Langkah Pheu Thai untuk membubarkan parlemen dilakukan di tengah merosotnya dukungan terhadap partai populis yang tadinya sempat dominan. Tak hanya itu, protes pun kian gencar dilakukan publik yang menentang pemerintahannya.
Partai itu sendiri didirikan oleh Thaksin Shinawatra, ayah Paetongtarn, yang juga seorang miliarder.
Namun, sejumlah pakar hukum di Thailand berbeda pendapat mengenai kewenangan pemerintahan sementara untuk meminta pembubaran parlemen.
Pemimpin Partai Rakyat, Natthaphong Ruengpanyawut, mengatakan partainya mendukung Partai Bhumjaithai demi mencegah kembalinya pemerintahan koalisi lama yang dianggap tidak layak memerintah lagi. Meski demikian, dia menegaskan bahwa partainya tidak akan bergabung dalam pemerintahan baru tersebut.
Dia menyebut pemungutan suara parlemen untuk memilih perdana menteri baru bisa digelar pada Jumat (05/09).
"Ada risiko kembalinya koalisi lama yang gagal memimpin negara dalam dua tahun terakhir, dan juga risiko kembalinya pelaku kudeta sebagai perdana menteri,” katanya dalam konferensi pers, merujuk pada Prayuth Chan-ocha, jenderal yang merebut kekuasaan pada 2014 dan masih memenuhi syarat untuk menjadi perdana menteri meski sudah pensiun.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris