Move Forward adalah partai terbesar di parlemen Thailand. Namun agenda reformisnya telah menempatkannya melawan elit konservatif pro monarki di negara tersebut.
Iklan
Move Forward Party (MFP) memenangkan kursi terbanyak di parlemen pada pemilu Thailand tahun lalu. Tapi menurut banyak analis dan komentator politik, partai itu sekarang terancam dibubarkan karena agenda politiknya menyerang pihak kerajaan..
Mahkamah Konstitusi di Thailand minggu lalu memutuskan bahwa MFP harus membatalkan janji politiknya untuk mengubah undang-undang tentang "pencemaran nama baik kerajaan", yang sering dikiritik di luar negeri dan oleh aktivis HAM di Thailand. Sembilan hakim pengadilan menganggap, adalah tidak konstitusional untuk menganjurkan perubahan Pasal 112 dalam hukum pidana Thailand – yang juga dikenal sebagai undang-undang Lese-majeste.
Undang-undang Pasal 112 melindungi monarki Thailand dari kritik dengan mengancam hukuman berat bagi mereka yang terbukti melanggar, termasuk hukuman hingga 15 tahun penjara untuk setiap pelanggaran. Para kritikus mengatakan, undang-undang itu sering digunakan sebagai alat untuk meredam perbedaan pendapat politik.
Thai court clears Pita of violating election law
02:14
Petisi menuntut pembubaran MFP
Menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi, muncul serangkaian gugatan dan tuntutan yang meminta pembubaran MFP dan hukuman seumur hidup bagi puluhan anggota parlemen dari partai itu karena dianggap melanggar konstitusi. Namun MFP membantah tuduhan tersebut dan mengatakan mereka hanya ingin mencegah penyalahgunaan undang-undang Lese-majeste.
Iklan
Napon Jatusripitak, peneliti politik di ISEAS-Yusof Ishak Institute, sebuah lembaga pemikir Asia Tenggara yang berbasis di Singapura mengatakan, pembubaran Move Forward sangat mungkin terjadi.
"Ada kemungkinan yang sangat nyata bahwa MFP akan dibubarkan. Permohonan sudah diajukan ke Komisi Pemilihan Umum,” katanya kepada DW. "Putusan Mahkamah Konstitusi kemungkinan besar akan dijadikan alasan untuk membubarkan partai berdasarkan Pasal 92 undang-undang kepartaian.”
Pasal 92 Undang-Undang Partai Politik Thailand menyatakan, jika pengadilan memutuskan sebuah partai politik bersalah karena berupaya menggulingkan monarki Thailand, komisi pemilihan umum dapat mengumpulkan bukti dan mengajukan petisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan pembubaran partai tersebut dan melarang anggotanya mengikuti pemilu selama 10 tahun.
Humor dan Kreativitas di Tengah Represi Protes Thailand
Ban bebek karet hingga protes bertema Harry Potter, mewarnai unjuk rasa menuntut pengunduran diri PM Prayuth Chan-ocha, reformasi monarki, dan konstitusi baru. Kultur pop aksi protes Thailand menarik perhatian dunia.
Foto: Athit Perawongmetha/REUTERS
Ban bebek karet: simbol baru demokrasi
Ban bebek karet kini muncul sebagai simbol baru gerakan pro demokrasi Thailand. Ban bebek karet itu awalnya digunakan untuk mengolok pihak berwenang yang menutup gedung parlemen, yang terletak di tepi sungai Bangkok. Namun, saat pihak berwenang membubarkan pengunjuk rasa dengan meriam air, ban bebek karet itu spontan digunakan oleh demonstran sebagai perisai.
Foto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images
Salam tiga jari ala The Hunger Games
Salam tiga jari ala film "The Hunger Games" telah menjadi simbol utama perlawanan terhadap monarki. Isyarat perlawanan pertama kali muncul pada tahun 2014 sebagai bentuk pembangkangan diam-diam terhadap rezim militer PM Prayuth Chan-ocha, yang merebut kekuasaan melalui kudeta. Referensi kultur pop ini membantu para demonstran menarik perhatian baik dari komunitas domestik maupun internasional.
Foto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images
Dinosaurus: mentalitas ketinggalan zaman
Selama protes, sekelompok aktivis yang dikenal sebagai "Bad Students" menjuluki pemerintah sebagai "dinosaurus" karena pola pikir mereka yang ketinggalan zaman. Para aktivis menyebut diri mereka sebagai "meteorit" yang dapat membuat para pejabat pemerintah punah jika mereka terus menolak untuk berubah. Para aktivis "Bad Students" ini juga menuntut perbaikan sistem pendidikan Thailand yang lamban.
Foto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images
Protes bertema Harry Potter
Mengkritik monarki adalah hal yang tabu di Thailand. Hukum lese majeste negara itu mengatur bahwa warga negara yang "tak hormat" terhadap monarki dianggap sebagai kejahatan. Demonstran menyindir Raja Maha Vajiralongkorn sebagai Lord Voldemort. Dalam film Harry Potter, Voldemort disebut "You Know Who" atau "Dia yang Tak Harus Disebut Namanya".
Foto: Lauren DeCicca/Getty Images
Surat untuk raja
Reformasi monarki sejauh ini merupakan tuntutan yang paling kencang disampaikan dari protes Thailand. Pada November, pengunjuk rasa berbaris ke istana kerajaan untuk mengirimkan surat tulisan tangan kepada raja. Ketika ditanya apa pendapatnya tentang para pengunjuk rasa, Raja Maha Vajiralongkorn hanya berkata: "Kami mencintai mereka semua" dan menggambarkan Thailand sebagai tanah kompromi.
Banyak demonstran yang geram saat pihak berwenang menggunakan kekuatan berlebihan dalam unjuk rasa damai. Sejauh ini, enam orang mengalami luka tembak dan lebih dari 50 orang luka berat. Setelah bentrokan antara pengunjuk rasa anti-pemerintah dan pihak berwenang terjadi, demonstran bergerak ke markas polisi untuk melempar cat ke gedung tersebut.
Foto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images
Kesetaraan gender dan hak-hak LGBT+
Gerakan pro-demokrasi telah mengumpulkan pengunjuk rasa dari berbagai kelompok dengan latar belakang berbeda. Gerakan protes ini juga mewujudkan keragaman Thailand. Pengunjuk rasa dari kalangan LGBT+ turut bergabung dalam protes. Mereka mendorong kesetaraan gender dan hak-hak LGBT +.
Foto: Athit Perawongmetha/Reuters
Mengecoh pihak berwenang
Demonstran mengubah lokasi unjuk rasa dalam waktu singkat untuk mengecoh polisi. Pihak berwenang pada Rabu (25/11) membentengi gedung Biro Properti Kerajaan di pusat Bangkok dengan kontainer dan kawat berduri. Tetapi pengunjuk rasa mengumumkan pergeseran lokasi ke markas Siam Commercial Bank, di menit terakhir. Raja Maha Vajiralongkorn adalah pemegang saham terbesar di bank tersebut. (pkp/ha)
Foto: Lillian Suwanrumpha/AFP/Getty Images
8 foto1 | 8
Move Forward diblokir dari kekuasaan
MFP muncul sebagai pemenang besar dalam pemilu parlemen tahun 2023. Selama kampanye mereka menjanjikan akan melakukan reformasi politik, termasuk melakukan perubahan pada undang-undang Lese-majeste. Terutama pemilih muda memberikan suara kepada MFP karena janji reformasi dan demokrasi.
Namun Senat Thailand yang dibentuk oleh militer lalu memblokir MFP dari kekuasaan dan menolak ketua MFP, Pita Limjaroenrat, menjadi perdana menteri, sekalipun MFP menguasai mayoritas suara di parlemen. Para senator mengatakan mereka menentang Pita karena niatnya yang ingin menghapuskan monarki. Akhirnya Srettha Thavisin dari partai Pheu Thai, yang punya lebih sedikit kursi di parlemen, disetujui menjadi perdana menteri.
Perkembangan ini menggarisbawahi dominasi militer dan elit konservatif royalis kerajaan di panggung politik dan lembaga peradilan Thailand. Nasib MFP mungkin akan serupa dengan nasib Future Forward Party (FFP), sang sangat populer pada pemilu 2019 dan juga menjanjikan reformasi.
FFP memang tidak memenangkan suara mayoritas dalam pemilu itu, tetapi pemimpinnya Thanathorn Juangroongruangkit didiskualifikasi sebagai anggota parlemen karena dia memiliki saham di sebuah perusahaan media. FPP kemudian dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai melanggar undang-undang pemilu, dan para pemimpin partainya dilarang berpolitik selama 10 tahun.