1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Partisipasi Pertama Militer Jerman dalam Aksi NATO

24 Maret 2009

Awal 1999 militer Jerman membuka babak baru. Pesawat-pesawat Tornado Jerman berpartisipasi dalam serangan udara NATO terhadap berbagai sasaran di Serbia. Tujuannya: agar Milosevic menghentikan serangan di Kosovo.

Tentara Jerman dalam penugasan di Kosovo.Foto: picture-alliance/dpa

Setelah serangan pertama NATO terhadap berbagai sasaran militer di Yugoslavia, kanselir Jerman ketika itu, Gerhard Schröder memberikan penjelasan di depan parlemen, bahwa serangan itu bertujuan mencegah berlanjutnya pelanggaran HAM dan bencana kemanusiaan di Kosovo. Militer Jerman juga berpartisipasi dengan pesawat tempur dalam operasi NATO 'Allied Force'. Selanjutnya Gerhard Schröder mengatakan: "Kita semua tahu, untuk pertama kalinya sejak PD II, tentara Jerman terlibat lagi dalam penugasan perang. Saya pastikan, keputusan ini tidak mudah bagi pemerintah Jerman. Tetapi kita sepakat, dengan dukungan dari mayoritas penduduk Jerman, syukurlah juga dari mayoritas anggota parlemen Jerman, tanpa memandang keanggotaan partainya."

Berminggu-minggu sebelumnya krisis di Kosovo meruncing, bersamaan dengan berakhirnya era Kanselir Helmut Kohl. Pemerintah baru di bawah Kanselir Gerhard Schröder belum lagi dikukuhkan, tetapi sudah harus mengambil keputusan. NATO melancarkan ancaman akan melakukan serangan udara, bila presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic tidak menghentikan pengusiran dan pembunuhan di Kosovo. Untuk itu partisipasi Jerman juga diperlukan. Karena parlemen baru belum dikukuhkan, maka pada bulan Oktober 1998 parlemen lama mengadakan sidang istimewa di Bonn. Dengan suara mayoritas diputuskan, bahwa militer Jerman boleh berpartisipasi dalam serangan udara NATO, dan bila perlu juga tanpa mandat PBB.

Perundingan kemudian berlanjut di Rambouillet, Perancis. Wakil-wakil pemerintah Yugoslavia, Albania-Kosovo dan NATO berupaya mencari penyelesaian. Pemerintah baru Jerman yang belum berpengalaman, tidak memainkan peranan, tetapi mendukung kebijakan NATO.

Setelah perembukan gagal, NATO mulai membomi berbagai sasaran di Beograd dan kota-kota Serbia lainnya. Ke-14 pesawat Tornado Jerman dikerahkan untuk melakukan pengintaian dan menghancurkan sarana penangkis udara Serbia-Yugoslavia.

Dengan demikian tentara Jerman untuk pertama kalinya sejak PD II, berpartisipasi aktif dalam pertempuran. Bahkan tanpa mandat PBB. Oleh sebab itu dalam NATO tidak ada alasan lagi untuk mengecualikan Jerman. Dan mengingat penderitaan warga sipil Kosovo, pemerintah baru Jerman tidak ingin menutup mata. Untuk pertama kalinya pula senjata digunakan sebagai sarana politik di luar wilayah Jerman sendiri.

Bulan Juni 1999 Milosevic mengalah. Dia menarik pasukannya dan membuka jalan bagi penempatan pasukan perdamaian NATO, KFOR. Militer Jerman semakin menjadi pasukan angkatan perang. Sejak saat itu politik keamanan Jerman mengijinkan penggunaan kekerasan militer di luar wilayah teritorialnya, untuk secepat mungkin beralih menjadi penugasan pemelihara perdamaian.

Jendral Klaus Reinhardt, menceritakan pengalamannya sebagai komandan KFOR: "Militer diperlukan untuk untuk menjaga stabilitas di dalam dan di luar. Stabilitas di luar Kosovo juga sangat penting karena Milosevic setiap hari mengatakan akan merebut kembali Kosovo dengan kekerasan. Yang penting adalah menciptakan kondisi dalam negeri yang stabil, administrasi politik, dan memperbaiki prasarana ekonomi atau membangunnya kembali."

Tetapi semua berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan pemerintah Jerman di bawah Kanselir Schröder, yang merupakan koalisi antara Partai SPD dan Partai Hijau. Pemerintahan itu sudah lama digantikan, tetapi di Kosovo sampai sekarang masih terdapat lebih dari 2.500 tentara Jerman. (dgl)