1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pasang Surut Tinggal di Asrama Mahasiswa di Jerman

25 Desember 2020

Pengalaman tinggal di asrama mahasiswa jerman memang campur aduk rasanya. Ada rasa kesal, senang, pengalaman baru, sampai yang menyebalkan pun ada. Oleh Sonia Eveliana.

Sonia Eveliana berfoto di Berlin, 2018
Sonia Eveliana berfoto di Berlin, 2018Foto: Privat

Sudah menjadi kebiasaan bagi mahasiswa di Jerman untuk merantau dari kota asalnya ke kota lain ketika memutuskan untuk kuliah. Jarang sekali ada orang jerman yang menetap di kota asal atau di kota tempat orang tuanya tinggal. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka permintaan penyewaan asrama mahasiswa.

Selain orang jerman yang pindah kota, terdapat banyak mahasiswa internasional yang berasal dari berbagai negara yang memilih untuk tinggal di asrama mahasiswa. Tujuan mahasiswa internasional ini beragam. Selain kuliah mulai dari S1 sampai S3, ada mahasiswa yang sedang mengikuti pertukaran pelajar dengan lama waktu tinggal mulai dari satu hingga enam bulan. Ada juga yang sedang Studienkolleg. Studienkolleg adalah persiapan penyetaraan SMA bagi mahasiswa asing sebelum memulai kuliah. Pilihan untuk Studienkolleg ada empat, yaitu: Teknik, Kedokteran, Ekonomi, atau Bahasa.

Alhasil, jumlah mahasiswa yang ingin tinggal di asrama mahasiswa lebih tinggi dari ketersediaan asrama itu sendiri. Asrama mahasiswa menjadi pilihan favorit karena harganya terjangkau dibanding menyewa apartemen privat. Selain itu, harga sewa asrama mahasiswa biasanya sudah termasuk biaya listrik dan air.

Karena namanya "asrama mahasiswa" atau dalam bahasa jermannya Studentenwohnheim, maka hanya mahasiswa yang diperbolehkan mengajukan lamaran untuk tinggal di sana. Ya, di Jerman kalau mau tinggal di asrama, harus mengajukan lamaran yang berisi formulir berupa data pribadi dan surat pernyataan dari kampus. Surat pernyataan ini menjelaskan bahwa kami memang benar-benar sedang kuliah di kampus tersebut di semester ini.

Ketika saya dinyatakan diterima di HTWG Konstanz, saya pun mengajukan lamaran untuk tinggal di asrama mahasiswa. Hal ini saya lakukan ketika masih di Indonesia. Untuk asrama mahasiswa, terdapat orang yang khusus bertugas mengurus mahasiswa asing yang masih berada di negaranya masing-masing. Semuanya diurus secara online. Karena yang mau menyewa asrama sangat banyak, maka saya sudah mengajukan lamaran pada bulan Mei untuk bisa menyewa tempat tinggal pada bulan September. Sebab pada bulan September saya akan tiba di Jerman.

Saya kedapatan tinggal di asrama mahasiswa yang terdiri dari tiga kamar, dua kamar mandi, dan satu dapur. Itu berarti saya mempunyai dua Mitbewohnerinnen atau tetangga satu asrama. Dua-duanya adalah perempuan asal Jerman. Yang satu bernama Anna berasal dari Karlsruhe. Satunya lagi bernama Jenny berasal dari Friedrichshafen. Dua kota ini jaraknya dekat dari Konstanz. Itu sebabnya mereka sering pulang ke rumah masing-masing pada hari Jumat, kemudian kembali ke asrama pada Minggu sore.

Hidup di asrama dengan mahasiswa Jerman

Anna merupakan mahasiswi S1 jurusan hukum, sedangkan Jenny mahasiswi S1 jurusan biologi. Mereka berdua memiliki kepribadian yang berbeda. Anna anak rumahan, kalau tidak sedang ngampus, dia memilih untuk tinggal di asrama untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang menumpuk. Sedangkan Jenny lebih suka menyelesaikan tugasnya di perpustakaan kampus. Jadi bagi Jenny, asrama hanya tempat untuk istirahat.

Sementara saya, gabungan dari keduanya. Tergantung suasana hati ingin mengerjakan tugas di perpustakaan atau di rumah. Bagi Jenny asrama adalah tempat istirahat dan melepas penat, maka dia senang sekali mengundang teman-temannya untuk berpesta. Bagi saya yang suka menyendiri, ini sangat mengganggu. Apalagi ketika saya sedang ingin belajar di rumah. Sebagai kompromi, saya akan berbicara dengan Jenny, kapan saya ada ujian atau presentasi, sehingga dia tidak akan menggelar pesta di asrama.

Selain itu, kebersihan asrama harus dijaga. Bapak Kos bisa datang pada waktu yang tak terduga. Untuk mengecek kerapian dan kebersihan asrama. Ketika musim dingin akan segera tiba, dia akan datang mengecek pemanas ruangan untuk memastikan bahwa tidak ada masalah. Ketika musim dingin, suhu udara bisa sampai minus 5 derajat celcius. Pada saat seperti itu, pemanas ruangan harus bekerja secara maksimal.

Penampakan kamar kosong di asrama mahasiswa Konstanz, 2017Foto: Privat

Tinggal jauh dari orangtua dan sanak saudara berarti harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri. Karena kami tinggal bertiga, maka tugas pun dibagi tiga, yaitu antara menyapu dan mengepel, membuang sampah atau membersihkan dapur. Tiga tugas ini digilir seminggu sekali. Perihal membuang sampah, kami harus menyortir sampah ke berbagai kantong plastik dan tempat sampah. Misalnya gelber Sack merupakan kantong plastik khusus kemasan berbagai produk. Sedangkan untuk kertas yang sudah terpakai, harus dibuang ke tempat sampah khusus kertas. Kalau sampah botol, harus disortir lagi berdasarkan warnanya. Ada Biomüll untuk sampah sayuran dan buah-buahan. Ada juga Restmüll untuk sampah yang tidak dapat didaur ulang misalnya debu dari kantung penyedot debu.

Untuk urusan sepele seperti bersih-bersih, kadang para tetangga saling menyalahkan satu sama lain. Anna bilang kalau Jenny malas mencuci piring. Berhari-hari dibiarkan kotor begitu saja di dapur. Hari yang lain, Jenny bilang kalau saya belum membuang sampah organik. Padahal isi sampah itu punya dia semua. Lain hari, Jenny menyalahkan Anna karena isi kulkas penuh dengan makanan Anna semua, sehingga tidak ada tempat lagi.

Selain tugas bersih-bersih yang telah dibagi tiga, kami juga harus masak dan mencuci baju sendiri. Karena saya orang Asia sendiri di antara kami bertiga, bahkan cara memasak pun mengakibatkan culture shock. Misalnya ketika saya masak nasi dengan magic jar. Mereka tidak pernah melihat ini sebelumnya dan terheran-heran. Juga ketika saya membuat mie instan dengan telur. Mereka kaget karena belum pernah melihat orang merebus telur tanpa cangkang berbarengan dengan mie.

Dapur bersama di asrama mahasiswa di Konstanz, 2017Foto: Privat

Mahasiswa Jerman tidak suka nongkrong di mall

Bicara soal kebiasaan, anak muda jerman suka sekali kumpul di asrama mahasiswa salah satu teman. Sebab menongkrong di mall atau café bukanlah budaya anak muda di Jerman. Kalau makan di restoran atau ngopi, mereka akan meninggalkan restoran ketika makanan sudah habis. Tak akan ada acara berlama-lama ngobrol, padahal makanan sudah habis sejak tiga jam yang lalu.

Mengenai menongkrong bersama teman-teman di asrama, ketika malam tahun baru tiba, saya dan sembilan teman lainnya memutuskan untuk makan-makan di asrama salah satu teman saya. Karena kami berasal dari berbagai negara dan tuan rumahnya orang jerman, maka kami memutuskan untuk membuat raclette, risoles, dan kerupuk. Sebuah perpaduan makanan yang tak akan ditemukan di restoran manapun. Sebuah pengalaman yang unik dan menarik.

Tinggal di asrama mahasiswa di Jerman memang banyak dramanya, tapi saya belajar banyak. Karena latar budaya yang berbeda dan menjadi minoritas, saya belajar toleransi. Saya juga belajar betapa pentingnya berkompromi dan tidak membesar-besarkan masalah.

* Sonia Eveliana adalah alumna HTWG Konstanz program studi Bisnis dan Manajemen Pariwisata

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait