Dunia Khawatirkan Nasionalisasi Sumber Daya di Indonesia
3 Agustus 2018
Setelah blok Mahakam, pemerintah kini menggusur Chevron dari blok Rotan dan memberikan hak pengelolaan kepada Pertamina. Kebijakan nasionalistik tersebut dikhawatirkan bakal menjauhkan investor asing.
Iklan
Nasionalisasi sumber daya menjelang Pemilihan Umum Kepresidenan 2019 memicu kekhawatiran pasar. Isu tersebut kembali menguat setelah pemerintah Indonesia memilih Pertamina dan menggusur Chevron sebagai operator blok Rokan pada 2021. Dengan langkah tersebut Indonesia berharap bisa memangkas impor bahan bakar hingga seperempatnya, kata Daniel Syahputra Purba, Wakil Presiden bidang Pertumbuhan Strategis di Pertamina.
Pengambilalihan blok Rokan diumumkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, yang mengklaim proposal Pertamina "jauh lebih baik" ketimbang yang diajukan Chevron. Perusahaan pelat merah itu antara lain menjanjikan kucuran dana investasi senilai US$ 500 juta untuk pengembangan produksi dalam lima tahun ke depan.
Namun Jonan tidak merinci kenapa proposal Chevron dinilai tidak memuaskan.
Raksasa migas asal California, AS, itu menjadi korban terakhir komitmen pemerintah menasionalisasi sumber daya alam. Chevron yang terusir dari blok Rotan bernasib serupa dengan perusahaan Perancis Total yang juga kehilangan blok Mahakam Desember 2017 silam. Pertamina sempat menawarkan berbagi hak pengelolaan blok Mahakam dengan Total. Namun tawaran tersebut ditolak.
Kebijakan nasionalisasi SDA Indonesia memicu kekhawatiran di luar negeri. Harian Wall Street Journal misalnya menyebut kebijakan "populis" tersebut berkaitan dengan dinamika politik. "Musim pemilu di Indonesia menyebabkan masalah bagi perusahaan asing, dengan Chevron sebagai perusahaan terakhir yang kehilangan aset berharga kepada perusahaan pemerintah."
Ilusi Kekayaan Alam Indonesia
Kekayaan alam Indonesia yang banyak dikumandangkan ternyata cuma ilusi belaka. Dari berbagai jenis komoditi mineral, jumlah cadangan dan produksi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara lain
Foto: picture-alliance/dpa/Omer Saleem
1. Emas
Dari hampir 3000 ton emas yang diproduksi dunia per tahun, 450 ton di antaranya ditambang di Cina. Sementara Australia (274 ton), Rusia (247) dan Amerika Serikat (210) mengekor di lima besar. Adapun Indonesia berada di urutan ke-11 negara produsen emas terbesar di dunia dengan kapasitas produksi 69 ton per tahun.
Foto: Fotolia/Scanrail
2. Tembaga
Chile merajai pasar tembaga dunia. Saat ini negara di Amerika Selatan itu memproduksi 3,4 juta ton setiap tahunnya. Di peringkat kedua menyusul Cina, Peru dan Australia yang masing-masing memproduksi sekitar 1 juta ton per tahun. Adapun Indonesia berada di peringkat 11 dengan kapasitas produksi sekitar 400 ribu ton per tahun.
Foto: picture-alliance/dpa
3. Perak
Tahun 2014 silam Indonesia berada di urutan 15 dalam daftar negara produsen perak terbesar di dunia. Saat ini pasar perak masih dikuasai Meksiko dengan kapasitas 5.400 ton per tahun, disusul Cina (4.000 ton) dan Peru (3.500 ton). Sementara Australia dan Rusia melengkapi daftar lima besar.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Kalaene
4. Aluminium
Cina adalah produsen aluminium terbesar di dunia dengan kapasitas 24,5 juta ton per tahun. Sementara Rusia dan Kanada menguntit di belakang dengan jumlah produksi antara 3 hingga 3,5 juta ton setiap tahunnya. Adapun Indonesia yang 2014 silam memproduksi 250 ribu ton aluminium jauh tertinggal di posisi 24 .
Foto: dapd
5. Bauksit
Seperti pada banyak komodtas mineral lain, Australia dan Cina berada di urutan teratas. Untuk produksi bauksit (bauxit) misalnya, Australia mencatat kapasitas tahunan sebesar 81 juta ton, sementara Cina 47 juta ton. Brazil melengkapi daftar tiga besar dengan produksi 32,5 juta ton pada tahun 2014 silam. Adapun Indonesia berada di urutan 13 dengan kapasitas 500.000 ton per tahun.
Foto: Getty Images/AFP/M. Vatsyayana
6. Bijih Besi
Lagi-lagi Cina menempati posisi teratas untuk komoditas bijih besi dengan kapasitas produksi 1,5 milyar ton per tahun. Australia berada di tempat kedua dengan 660 juta ton yang diikuti Brazil dengan 320 juta ton. Adapun Indonesia berada di posisi 39 dengan jumlah produksi berada di kisaran 50 ribu ton per tahun.
Foto: picture-alliance/Imaginechina/Y. Fangping
7. Timah
Indonesia boleh lega karena memiliki cadangan timah yang termasuk tertinggi di dunia. Tahun 2014 silam, Indonesia tercatat sebagai produsen timah terbesar kedua di dunia setelah Cina. Dari sekitar 300.000 ton produksi timah dunia, 125.000 diantaranya berasal dari Cina dan 95.000 diproduksi di Indonesia.
Foto: Steven Wassenaar
7 foto1 | 7
Hal serupa ditulis The Jakarta Post yang mengritik cara pemerintah memperlakukan Chevron yang telah berbisnis di Indonesia sejak lebih dari 90 tahun. "Perlakuan buruk ini mungkin akan menurunkan ketertarikan investor terhadap industri hidrokarbon di Indonesia," tulis harian berbahasa Inggris tersebut.
Nasionalisme ekonomi bukan kebijakan baru di Indonesia. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memulai kebijakan tersebut, antara lain dengan menerbitkan Undang Undang No. 4/2009 tentang Minerba yang menggantikan UU No. 11/1967 yang lebih liberal.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengikuti tren nasionalistik dalam pengelolaan sumber daya. Republik Demokratik Kongo yang merupakan produsen tembaga terbesar di Afrika mewajibkan penambang asing membayar pajak yang lebih mahal dengan Undang-undang baru. "Isu yang paling signifikan di industri pertambangan saat ini adalah nasionalisme sumber daya," kata Presiden Direktur Rio Tinto Jean Sebastien-Jacques kepada Financial Times.
"Dari Republik Demokratik Kongo dan Afrika Selatan, hingga Mongolia dan Australia, kebijakan ini sedang mendapatkan momentumnya."
Perjudian Buntu di Tambang Grasberg
Kemelut antara Indonesia dan PT Freeport berpotensi cuma akan menghasilkan pecundang. Kedua pihak terjebak dalam pertaruhan besar seputar tambang Grasberg, tanpa ada jalan keluar.
Harus diakui, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang paling kontroversial di Indonesia. Hubungan antara perusahaan yang bermarkas di Phoenix, AS, dengan pemerintah selama ini dipenuhi kekisruhan dan perseteruan. Tidak heran jika jelang negosiasi perpanjangan kontrak, kedua pihak kembali bersitegang.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Bola Api dari Jakarta
Terakhir, raksasa tambang AS itu berseteru dengan pemerintah soal Kontrak Karya dan izin ekspor. Kontrak yang ada saat ini akan berakhir tahun 2021 dan Jakarta enggan memperpanjang karena khawatir merugi. Sebab itu Kementerian Energi dan SDM mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Freeport buat memperpanjang kontrak.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Simalakama Freeport
Tahun 2017 pemerintah mengubah status Kontrak Karya yang dikantongi Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bersamanya Freeport wajib membangun fasilitas pemurnian alias smelter dalam waktu lima tahun dan menyerahkan 51% saham tambang Grasberg pada Indonesia. Namun Freeport menolak klausul tersebut karena dinilai merugikan.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Menyambung Nyawa
Lantaran gagal memenuhi persyaratan yang diajukan, pemerintah mencabut izin ekspor Freeport dan sejak 2015 hanya memberikan izin sementara yang berlaku selama enam bulan. Situasi ini menyudutkan Freeport karena tidak bisa mengekspor ketika harga Tembaga sedang melambung. Terlebih tambang terbuka Grasberg nyaris habis masa pakainya dan Freeport harus mulai menambang tembaga di bawah tanah.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Tekanan Pasar
Lantaran sikap keras Jakarta, Freeport merumahkan 12.000 pegawai akibat penurunan produksi. Kemelut di Indonesia akhirnya berimbas negatif pada saham Freeport. Analis pasar menganjurkan investor jangka panjang untuk tidak membeli saham Freeport hingga kisruh kontrak diselesaikan. JP Morgan bahkan menurunkan status Freeport dari "Overweight" menjadi "Neutral."
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Gali Lubang Demi Utang
Tekanan pasar pada Freeport bertambah besar lantaran ketidakjelasan soal izin ekspor. Tahun ini Freeport merencanakan kapasitas produksi tambang Grasberg sebesar 32% dari total volume produksi perusahaan. Demi membiayai produksi dan menutup utang, perusahaan itu telah menjual sahamnya di tambang-tambang Afrika, dan mulai menambang tembaga berkualitas tinggi di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/T.Eranius
Terganjal Regulasi
Freeport berdalih akan berinvestasi senilai 15 miliar Dollar AS untuk mengubah Grasberg menjadi tambang bawah tanah. Untuk itu mereka menginginkan kepastian perpanjangan Kontrak Karya hingga 2041. Namun menurut UU Minerba, Indonesia hanya bisa menegosiasikan kontrak dua tahun sebelum masa berlakunya berakhir, dalam hal ini tahun 2019.
Foto: AFP/Getty Image
Jalan Buntu buat Dua Pihak
Akhirnya kedua pihak tidak bisa mengalah dan berniat membawa kasus Grasberg ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Buat Freeport, menerima IUPK berarti kehilangan kuasa atas salah satu sumber pemasukan terbesarnya. Sementara pemerintah Indonesia juga enggan mundur dari tuntutannya karena terancam merugi dan kehilangan muka di hadapan publik. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)