Gempa yang melanda Afganistan pada Rabu (23/06) telah menjadi gempa terparah dalam dua dekade terakhir. Otoritas setempat mencatat kerusakan parah hingga banyaknya korban tewas, namun bantuan masih terbatas.
Iklan
Saat gempa menguncang tenggara Afganistan pada Rabu (23/06), rumah batu dan lumpur Nahim Gul runtuh menimpanya. Ia mencakar puing-puing di kegelapan dini hari, tersedak debu saat mencari ayah dan dua saudara perempuannya. Dia tidak tahu berapa jam penggalian berlalu sebelum dia melihat sekilas tubuh mereka di bawah reruntuhan. Mereka sudah meninggal.
Sekarang, beberapa hari setelah gempa berkekuatan 6 yang menghancurkan wilayah tenggara terpencil Afganistan dan menewaskan sedikitnya 1.150 orang menurut perkiraan otoritas setempat, daerah Gul tinggal hancur, dan persediaan kebutuhan harian yang terbatas. Gempa juga menyebabkan keponakan Gul tewas akibat tertimpa tembok rumah mereka.
Gempa paling mematikan dalam dua dekade
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyebutkan jumlah korban tewas mencapai 770 jiwa, namun data itu dapat meningkat, karena banyaknya jumlah korban hilang yang belum ditemukan. Banyaknya jumlah korban tewas akibat gempa ini menjadikan gempa tersebut sebagai bencana gempa paling mematikan dalam dua dekade terakhir di Afganistan.
"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita atau bagaimana kita harus memulai kembali hidup kita," kata Gul pada hari Minggu (26/06), tangannya memar dan bahunya terluka. "Kami tidak punya uang untuk membangun kembali.”
Dampak gempa paling parah terjadi di provinsi Paktika dan Khost, di sepanjang pegunungan bergerigi yang membentang di perbatasan Afganistan dengan Pakistan.
Saat ini mereka yang berada di kawasan terpencil belum mendapatkan suplai bantuan. Sulitnya akses membuat bantuan dari pemerintah harus melewati jalanan terjal karena gempa juga memutus akses jalan menuju wilayah terpencil.
Bantuan internasional pascagempa
Taliban sebagai otoritas yang berkuasa di Afganistan saat ini meminta bantuan asing. Pemerintah Taliban meminta AS untuk mencairkan miliaran dolar dana dalam cadangan mata uang Afganistan. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai kelompok bantuan internasional dan negara-negara telah dimobilisasi untuk mengirim bantuan.
Cina menjanjikan hampir 7,5 juta dolar AS (sekitar Rp. 111 miliar) untuk bantuan kemanusiaan darurat. Selain itu, negara lain seperti Iran, Pakistan, Korea Selatan, Uni Emirat Arab dan Qatar telah mengirimkan satu pesawat penuh tenda, handuk, tempat tidur dan pasokan lain yang sangat dibutuhkan korban gempa.
Wakil Perwakilan Khusus PBB Ramiz Alakbarov mengunjungi provinsi Paktika yang dilanda bencana pada Sabtu (25/06) untuk menilai kerusakan dan mendistribusikan makanan, obat-obatan dan tenda. Helikopter dan truk PBB yang sarat dengan roti, tepung, beras, dan selimut telah berhamburan ke daerah-daerah yang dilanda bencana.
"Kunjungan kemarin menegaskan kembali kepada saya penderitaan ekstrem orang-orang di Afganistan dan tekad mereka yang luar biasa dalam menghadapi kesulitan besar,” kata Alakbarov.
Tanpa dukungan, tambahnya, warga Afganistan "akan terus menanggung kesulitan yang tidak perlu dan tak terbayangkan.”
Namun upaya bantuan tetap tidak merata dan terbatas karena keterbatasan dana dan akses. Taliban tampak kewalahan oleh kerumitan logistik dari masalah-masalah seperti pemindahan puing-puing yang akan menjadi ujian utama.
Iklan
Nasib para korban gempa
Warga yang menjadi korban gempa mulai mengguburkan sanak keluarga mereka yang tewas akibat bencana ini. Sebuah kuburan massal disiapkan untuk para korban tewas. Data dari PBB menyebut sekitar 800 keluarga harus bermukim di area terbuka.
Gul menerima tenda dan selimut dari badan amal lokal di distrik Gayan, tetapi dia dan kerabatnya yang masih hidup harus berjuang sendiri. Ketakutan pada gempa susulan masih terjadi. Sebelumnya pada Jumat (24/06) gempa susulan terjadi dan menyebabkan lima korban jiwa. Gul mengatakan anak-anaknya di Gayan menolak untuk masuk ke dalam rumah.
Gempa yang menguncang Afganistan telah menambah beban negara itu setelah krisis ekonomi terjadi sejak Taliban menguasai negara itu ketika AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka. Bantuan asing yang menjadi andalan ekonomi Afganistan selama beberapa dekade berhenti praktis dalam semalam.
Upaya Warga Afganistan Menyelamatkan Diri dari Taliban
Ribuan warga berusaha menyelamatkan diri dari Afganistan setelah Taliban mengambil alih kekuasan. Negara Barat berupaya menerbangkan warga sipil keluar dari bandara Kabul setelah penerbangan komersial dihentikan.
Foto: AFP/Getty Images
Warga Afganistan yang putus asa berusaha masuk bandara Kabul
Banyak keluarga di Afganistan semakin putus asa dan berusaha untuk masuk ke Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul. Terdapat anak-anak di antara kerumunan yang mencoba melakukan upaya terakhir untuk melarikan diri dari Taliban yang berhasil menguasai ibu kota Kabul dengan mudah.
Foto: REUTERS
Rakyat Afganistan hadapi masa depan yang tidak pasti
Sejak penarikan pasukan AS dan NATO dilancarkan, warga Afganistan menghadapi keputusan yang sulit: tetap tinggal dan berharap pasukan pemerintah menahan gerak maju milisi Taliban atau melarikan diri ke negara-negara tetangga. Setelah Taliban merebut Kabul dengan mudah, banyak warga terjebak dalam ketidakpastian, tanpa indikasi yang jelas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Foto: REUTERS
Kerumunan warga di bandara Kabul
Bandara utama Kabul menjadi tempat kerumunan orang yang putus asa. Ribuan orang berharap bisa naik pesawat dan melarikan diri dari kekuasaan Taliban. Negara-negara Barat bergegas mengevakuasi warga mereka sendiri dan beberapa karyawan lokal. Penerbangan komersial dari dan keluar negara itu dihentikan total.
Foto: AFP/Getty Images
Taliban menguasi istana presiden
Setelah jatuhnya ibu kota Kabul dengan mudah, milisi Taliban langsung menguasai istana presiden Afganistan. Rekaman langsung menunjukkan komandan dan anggota Taliban duduk di dalam istana, menyatakan kemenangan mereka setelah pasukan Afganistan menyerah tanpa bertempur.
Foto: Zabi Karim/AP/picture alliance
Takut penerapan aturan Islam garis keras
Banyak yang takut penerapan aturan Islam garis keras. Walau dalam sebuah pernyataan Taliban mengklaim, tidak akan membalas dendam terhadap mereka yang mendukung aliansi dukungan AS. Perempuan sebagian besar dilarang ikut pendidikan selama pemerintahan Taliban sebelumnya di Afganistan (1996-2001). Warga di Kabul buru-buru hapus gambar yang mungkin tak disukai Taliban.
Foto: Kyodo/picture alliance
Melintasi perbatasan ke Pakistan
Di saat ribuan warga yang berusaha kabur menyerbu bandara Hamid Karzai, sejumlah warga Afganistan lainnya menyeberangi perbatasan memasuki Pakistan. Menteri Dalam Negeri Pakistan Sheikh Rashid Ahmed mengatakan kepada DW, pemerintah telah menutup perbatasan dengan Afganistan di Torkham.
Foto: Jafar Khan/AP/picture alliance
Taliban kembali berkuasa setelah penarikan pasukan AS
AS dan sekutunya memasuki Afganistan setelah serangan teror 11 September 2001, dan menaklukan Taliban. Ketika konflik 20 tahun berakhir secara tiba-tiba dengan penarikan pasukan AS dan NATO, pasukan pemerintah Afganistan dengan cepat runtuh tanpa dukungan.
Foto: Hoshang Hashimi/AP Photo/picture alliance
Kepemimpinan Taliban
Taliban memerintah negara itu dari tahun 1996 hingga 2001 dan memberlakukan interpretasi hukum Syariah Islam yang ketat. Taliban didirikan di bawah kepemimpinan Mullah Umar. Haibatullah Akhundzada sekarang menjadi pemimpin tertinggi, sementara salah satu pendiri lainnya Mullah Baradar (foto) mengepalai sayap politik.
Foto: Social Media/REUTERS
Taliban mengibarkan bendera mereka
Taliban mengklaim siap mengendalikan negara itu, dan menyatakan tidak akan membahayakan warga sipil yang telah bekerja sama dengan pasukan Barat. "Kami siap untuk berdialog dengan semua tokoh Afganistan dan akan menjamin perlindungan yang diperlukan," kata juru bicara politik Taliban Mohammad Naeem kepada Al Jazeera. Sebuah klaim yang agak sulit dipercaya semua pihak.
Foto: Gulabuddin Amiri/AP/picture alliance
Wanita dan anak-anak berisiko tinggi
Perempuan, anak-anak dan minoritas lainnya kemungkinan besar akan sangat menderita di bawah rezim Taliban. Perempuan dan anak perempuan dilarang menjalani pendidikan selama pemerintahan Taliban sebelumnya di Afganistan, situasinya berubah setelah dilancarkan invasi yang dipimpin AS pada 2001.
Foto: Paula Bronstein/Getty Images
Presiden Ghani melarikan diri
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani kabur meninggalkan negara itu pada 15 Agustus. "Untuk menghindari pertumpahan darah, saya pikir yang terbaik adalah keluar," katanya, tetapi ia menekankan akan terus berjuang untuk negara.
Foto: Rahmat Gul/AP Photo/picture alliance
Mantan Presiden Karzai desak perdamaian
Para pemimpin Afganistan telah membentuk dewan untuk bertemu dengan Taliban dan mengelola transfer kekuasaan. Mantan Presiden Hamid Karzai, yang merupakan bagian dari dewan mengatakan, ini "untuk mencegah kekacauan dan mengurangi penderitaan rakyat," dan untuk mengelola "pengalihan kekuasaan secara damai".
Foto: Mariam Zuhaib/AP Photo/picture alliance
AS dan Eropa lakukan evakuasi
Jerman mengerahkan pesawat militer untuk membantu evakuasi diplomat, warga negaranya dan staf lokal dari Afganistan setelah menutup kedutaan besarnya di Kabul. AS, Inggris, dan Arab Saudi juga mengevakuasi pasukan, diplomat dan pejabat lain dari negara tersebut.
Foto: Moritz Frankenberg/dpa/picture alliance
13 foto1 | 13
Sejumlah negara di dunia menerapkan sanksi, menghentikan transfer bank dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban. Pemerintahan Joe Biden memutuskan akses Taliban ke cadangan mata uang asing senilai 7 miliar dolar AS yang disimpan di Amerika Serikat.
Saat ia mengunjungi lokasi bencana, Penjabat Menteri Luar Negeri Afghanistan Amir Khan Muttaqi mendesak Gedung Putih untuk mengeluarkan dana "pada saat Afghanistan berada dalam cengkeraman gempa bumi dan banjir” dan untuk mencabut pembatasan perbankan sehingga badan amal dapat lebih mudah memberikan bantuan.
Sementara, negara-negara Barat telah menahan bantuan jangka panjang karena mereka menuntut Taliban mengizinkan aturan yang lebih inklusif dan menghormati hak asasi manusia. Sekarang, sekitar setengah dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa karena kemiskinan. Sebagian besar pegawai negeri sipil, termasuk dokter, perawat, dan guru, belum digaji selama berbulan-bulan.