1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Pasien Cuci Darah Usia Muda Makin Tinggi, Benahi Gaya Hidup!

30 Juli 2024

Pasien cuci darah akibat gagal ginjal di Indonesia bertambah muda. Triliunan rupiah anggaran terserap tiap tahunnya untuk pengobatan gagal ginjal. Saatnya yang muda mengubah gaya hidup!

Sepasang tangan memegang kertas merah yang dipotong menyerupai bentuk ginjal
Ilustrasi ginjalFoto: Berit Kessler/Zoonar/picture alliance

Prevalensi cuci darah di usia muda makin meningkat. Bahkan beberapa waktu lalu, banyak anak kecil yang juga menderita gagal ginjal sehingga harus melakukan cuci darah seumur hidupnya. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan.

Menanggapi hal ini, Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam mengungkapkan gaya hidup yang buruk adalah biang kerok gagal ginjal.

"Jadi memang lifestyle, kita tahu bahwa cenderung mengonsumsi gula dari kecil, gula sehingga jadi obesitas dan akhirnya lebih rentan diabetes dan gagal ginjal," katanya kepada DW Indonesia.

Prof. Ari menambahkan bahwa sebenarnya tidak semua pasien gagal ginjal harus cuci darah, tergantung stadiumnya. Pasien yang diwajibkan cuci darah jika sudah berada di staging 5 dan fungsi ginjalnya di bawah 5% maka memang harus cuci darah seumur hidup.

"Kecuali kalau cangkok ginjal. Di Indonesia sudah banyak rumah sakit yang bisa tapi terkendala biayanya."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Sebagai upaya pencegahan dan pengendalian gagal ginjal di usia muda, termasuk pada anak-anak, kontrol berat badan, menghindari makanan manis, cokelat, dan keju, serta menambah konsumsi buah harus dilakukan. Selain itu, olahraga teratur dan menambah aktivitas fisik atau menghindari gaya hidup jarang bergerak juga penting dilakukan.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi dalam siaran Kementerian Kesehatan RI, dr. Pringgodigdo Nugroho, saat Hari Ginjal Sedunia 14 Maret 2024 menyebut bahwa "biasanya penyebab paling sering adalah dengan peradangan ginjal, tidak bergejala. Tapi ada perubahan urine, berbusa berlebih karena kelebihan protein ada kemerahan di urine karena sel darah merah. Di anak-anak biasanya disebabkan glomerulonefritis."

"Laundry day" ginjal seminggu dua kali

Ade Ramadhan adalah salah satunya. Pria berusia 36 tahun ini pertama kali divonis gagal ginjal sejak usia 33 tahun. Kepada DW Indonesia dia bercerita, semua ini dimulai saat dia divonis diabetes sejak SMA dan harus mendapatkan insulin.

"Saat itu insulin mahal, jadi sempat stop sampai akhirnya menikah dan menemukan luka. Cek ke dokter dan angka gulanya melonjak sampai 400 atau 500. Enggak kaget sih dan akhirnya sudah ada insulin BPJS jadi suntik seminggu sekali," katanya.

Pandemi Covid-19 kala itu semakin membuat pengobatannya berantakan. Karena diabetes, dia pun tak bisa sembarangan mendapatkan vaksin. Saat dicek untuk mendapatkan vaksin, tekanan darahnya sangatlah tinggi. Dokter memintanya melakukan diet protein. Sayangnya tak ada perubahan berarti, dia pun dirujuk untuk menemui dokter ginjal.

"Saat itulah, dokter bilang saya gagal ginjal kronis dan harus cuci darah. Tapi saya cari second opinion, sayangnya hasilnya sama."

Saat itu dia mengaku masih belum bisa menerima kenyataan selama 5-6 bulan. Puncaknya, saat dia terserang demam berdarah. Kala diopname, dalam satu minggu, berat badannya melonjak sampai 14 kg dan tak bisa buang air kecil. "Dari situ, saya sadar, enggak ada jalan lain, harus cuci darah seminggu dua kali."

"Februari 2025 nanti, pas 3 tahun cuci darah. Saya sih sebutnya laundry day, biar enggak seram." 

Dia pun berjuang untuk menerima keadaan. Mau tak mau mengubah gaya hidupnya. Dari seorang pencinta makanan asin dan manis yang menyebabkan hipertensi dan diabetes, dia harus menakar jumlah air minum yang dikonsumsi, mengurangi asupan tepung, roti, mi, dan keju.

"Sekarang sih dijalani saja. Karena belum ada solusi lainnya. Kalau mau hidup ya harus cuci darah. Biar nggak jadi beban pikiran."

"Saat proses cuci darahnya sendiri sebenarnya enggak terlalu seram. Masih bisa melakukan hal lain juga. Karena lama kan 5 jam. Buat saya usai cuci darahnya nggak ada efek apa-apa. Saya masih bisa aktivitas normal dan bekerja freelance, tapi sering kali jadi gampang capek saja."

Cuci darah di usia 28 tahun

Cerita senada juga diungkapkan oleh Mardiana. Perempuan kelahiran tahun 1991 ini divonis gagal ginjal kronis pada usia 28 tahun. Dia mengaku gemar menikmati aneka minuman kemasan manis dan asupan kopi, tapi tak diimbangi dengan asupan air putih yang cukup.

"Karena di kantor kan ber-AC jadi mager mau ambil minum ke dispenser," ucapnya kepada DW Indonesia.

Dia menyebut vonis gagal ginjalnya terjadi setelah Lebaran. Saat itu dia yang berpuasa sebulan penuh, mengalami masalah lambung dan mengonsumsi obat lambung. Tak cuma itu, dia juga sempat mengalami batuk. Orang tuanya lalu membelikan obat batuk racikan apoteker.

"Saya minum itu dua kali lalu tiba-tiba hari kelima setelah Lebaran kok badannya jadi bengkak. Saya tanya teman yang juga dokter, dia bilang mungkin keracunan obat. Saya periksa ke IGD ternyata kreatininnya sudah 2 dari yang normalnya di bawah 1, ureumnya juga tinggi."

"Saya divonis gagal ginjal akut pada 2020." 

Triliunan rupian per tahun untuk obati gagal ginjal

Dokter menyarankan Mardiana untuk melakukan cuci darah atau dialisis, namun saat itu dia tak langsung setuju. Dia mencoba mencari cara lain untuk tidak cuci darah, apalagi kakak pertamanya juga pasien cuci darah sejak 2019.

Dia pun mencoba pengobatan lain di klinik dengan asupan vitamin, obat ginjal dan lainnya. Namun pada 2023, dia merasakan perubahan yang menurun pada kondisi tubuhnya. Saat sedikit lelah, dia pusing dan ngos-ngosan saat berjalan.

"Setelah dicek fungsi ginjalnya makin turun, batuk ada bercak darah, Hb sangat rendah, dan jantung bengkak."

Berdasarkan data Riskesdas 2018, pasien gagal ginjal kronis meningkat menjadi 3,8% atau sekitar 739.208 jiwa. Dengan meningkatnya kasus, dana yang dkeluarkan untuk gagal ginjal kronis termasuk cuci darah juga baik.

Dr. Eva Susanti, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes mengungkapkan di 2022, pembiayaan kasus gagal ginjal kronis termasuk untuk cuci darah untuk 1,32 juta kasus membutuhkan biaya Rp2,1 triliun. Sementara di 2023 untuk 1,5 juta kasus membutuhkan biaya Rp2,92 triliun.

Mardiana sempat merasa down

Mardiana mengaku bahwa vonis cuci darah di usia 28 tahun sempat membuatnya merasa down dan marah. Dia mengaku sempat marah kepada diri sendiri dan Tuhan.

"Kenapa saya yang harus diuji seperti ini, apa dosa saya? Ditambah saat itu ada masalah pribadi juga. Rasanya udah sakit masih juga disakitin. Butuh sekitar 6 bulan untuk menerima keadaan."

Dari situlah Mardiana akhirnya memutuskan untuk cuci darah 2 kali seminggu usai prosedur transfusi darah dan pemasangan CDL di leher. Menerima kondisi, kata dia adalah jalan satu-satunya untuk membuat perjalanan perawatannya menjadi lebih mulus.

Usai menjalani cuci darah selama 1 tahun, dia paham bahwa ketika dia stres ataupun makan terlalu banyak garam dan minum terlalu banyak, proses hemodialisisnya akan berakhir dengan kelelahan atau pusing.

Bagaimana kondisinya sekarang? Masihkan ia marah kepada kenyataan hidupnya?

"Sekarang sih menjalani saja, jadi sering mengingatkan teman-teman juga, jangan malas minum air putih. Susah nanti kalau punya masalah ginjal, minum harus dibatasi. Seperti aku, sekarang kalau haus harus makan es batu." (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait