1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAfrika

Paul Rusesabagina, Pahlawan HAM Yang Memberontak di Rwanda 

7 Oktober 2020

Tokoh oposisi Rwanda, Paul Rusesabagina, mengaku dijebak pemerintah untuk datang dari pengasingannya di luar negeri ke Kigali. Rival Presiden Paul Kagame itu kini menjalani sidang tuduhan makar dan terorisme.

Tokoh oposisi Rwanda, Paul Rusesabagina, selama persidangan di Kigali, 14/09.
Tokoh oposisi Rwanda, Paul Rusesabagina, selama persidangan di Kigali, 14/09.Foto: picture-alliance/AP Photo

Kepadanya dituduhkan delik makar. Paul Rusesabagina kini harus menjalani sidang bersama 16 gerilayawan pemberontak lain di Kigali, Rwanda. Tokoh yang menginspirasi pembuatan film Hotel Rwanda itu didakwa pasal berlapis, antara lain pembiayaan terorisme, bantuan pembunuhan, perekrutan serdadu anak. 

Jika terbukti bersalah, Rusesabagina terancam hukuman kurung maksimal 25 tahun. Pengadilan menolak mengabulkan permohonan bebas dengan uang jaminan bagi terdakwa. Tanggal pasti sidang perdana hingga kini belum diumumkan. 

Kepada harian AS New York Times, dia mengaku “terkejut sendiri,” tentang “bagaimana saya bisa mendarat di sini,” kisahnya saat diwawancara di dalam selnya di Kigali. “Saya sebenarnya tidak datang ke sini.” 

Dia mengaku menumpang sebuah pesawat jet pribadi di Dubai dan mengira akan sedang menuju Burundi. Pesawat itu ternyata mendarat di Kigali. 

Babak baru dalam kehidupan pria yang hidup mengasing di AS itu bahkan mungkin tak terbayangkan buat para pembuat film di Hollyood. Kisah berawal ketika Rusesabagina, seorang pahlawan Rwanda, berhadapan dengan musuh terbesarnya, Presiden Paul Kagame. 

Pahlawan HAM dalam pengasingan 

Rusesabagina dikenal lewat aksi dinginnya mengecoh militan Interahamwe yang datang ke hotelnya, demi melindungi 1.268 pengungsi Hutu dan Tutsi yang bersembunyi.  

Penggalan cerita yang lalu diangkat ke layar lebar itu terjadi di tengah ladang pembantaian terhadap suku Tutsi, di mana hingga satu juta orang dibunuh secara brutal dengan parang dan senjata tajam. 

Sejak itu dia hidup menjemput ketenaran sebagai pahlawan kemanusiaan di AS. Hingga belum lama ini, lapor NY Times, Rusesabagina masih bertemu selebriti papan atas seperti Oprah Winfrey, menerima medali kehormatan Medal of Freedom di Gedung Putih, dan mengantongi upah tinggi untuk berpidato di berbagai negara. 

Presiden Paul Kagame sudah memerintah di Rwanda sejak 2000, setelah Presiden Pasteur Bizimungu mengundurkan diri. Foto: Reuters

Selama karirnya sebagai duta HAM, Rusesabagina banyak mengabarkan tentang kengerian sebuah genosida dan menjadi contoh hidup sebuah perlawanan menghadapi kebiadaban.  

Hingga kini Rwanda masih bergulat mengungkap siapa yang bertanggungjawab atas tragedi tersebut

Sejak berdamai, Rwanda dipimpin oleh bekas komandan Front Patriotik Rwanda (FPR), Paul Kagame. Di bawah pemerintahannya, negeri kecil di Afrika Timur itu menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat, menyusutnya angka kemiskinan dan kemunculan pemimpin-pemimpin perempuan. 

Kagame mencuat sebagai bintang politik Afrika, berteman dengan tokoh dunia setara Bill Gates, atau Bill dan Hillary Clinton. Simpati negara barat yang dulu dianggap berdosa mendiamkan pembantaian di Rwanda, mengucur dalam bentuk bantuan pembangunan. 

Perseteruan dengan Kagame  

Namun belakangan Kagame mulai mengadopsi kebijakan tangan besi. Satu persatu rival politik menghilang atau meninggal dunia dalam kondisi mencurigakan.  

Reputasi Kagame rontok sepenuhnya ketika pada 2010 lalu, laporan Badan HAM PBB mencatat militer Rwanda melakukan penjarahan, pemerkosaan massal dan pembantaian di timur Kongo yang bertetangga, di mana puluhan ribu penduduk meregang nyawa. 

Rusesabagina tampil sebagai tokoh pro-demokrasi yang menentang otoritarianisme Kagame. Sebagian warga pelarian melihatnya sebagai pejuang demokrasi, namun sejumlah grup penyintas menuduhnya cuma mencari keuntungan politik dari penderitaan keluarga korban. 

Saat disidang dalam seragam narapidana berwarna merah muda di Kigali, Senin (5/10), dia mengaku ikut membidani pembentukan sayap bersenjata di bawah Fron Pembebasan Nasional (FLN). “Kami membentuk FLN sebagai sayap bersenjata, bukan sebagai grup teroris seperti yang selalu dikatakan jaksa penuntut,” kata dia. 

Rusesabagina mengakui FLN  beroperasi di bawah partai politiknya sendiri, Gerakan Rwanda Untuk Perubahan Demokratis (MRCD), yang aktif sejak 2017. “Saya tidak membantah FLN melakukan tindakan kriminal, tapi peran saya hanya diplomasi,” imbuhnya. 

Pada pertengahan 2018, kelompok bersenjata menyerang desa-desa terpencil di perbatasan dengan Burundi. Serangan paling mematikan terjadi di desa Nyabimata, di mana tiga orang meninggal dunia. 

Pemerintah menuduh FLN bertanggungjawab atas serangan tersebut. Beberapa bulan berselang, tulis NY Times, Rusesabagina merilis video di mana dia menegaskan akan mewujudkan perubahan “dengan segala cara.” 

Dari balik penjara, dia bersaksi tidak mengingat adanya video itu. 

rzn/hp (rtr, afp, nytimes, bbc) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait