Paus Fransiskus mengadakan kunjungan di Myanmar di tengah krisis Rohingya. Sebagian orang menasehati Sri Paus untuk tidak menyebut Rohingya selama kunjungannya. Sebagian lagi menuntut agar Rohingya dibahas.
Iklan
Kunjungan Paus Fransiskus ke Myanmar dan Bangladesh diadakan di tengah krisis yang melanda Rohingya. Kekerasan dan pengusiran yang dihadapi warga Rohingya di Rakhine, di bagian barat Myanmar, mendapat kritik tajam dari berbagai negara.
Paus Fransiskus yang terkenal sebagai pembela hak asasi manusia telah berulang kali menyerukan solidaritas bagi warga Rohingya, yang dianggap sebagai salah satu kelompok etnis yang paling ditindas di dunia. Agustus lalu, Sri Paus menyerukan penghentian kekerasan terhadap warga Rohingya, dan menuntut agar mereka mendapat "hak sepenuhnya" sebagai warga. Ia juga menyatakan rasa dekat dengan penderitaan warga Rohingya, yang disebutnya "saudara saya."
Diminta tidak menyebut Rohingya
Sebelum Sri Paus memulai kunjungan di Myanmar, Uskup Agung Yangon, Charles Bo bertemu dengannya di Roma. Menurut laporan, Uskup Agung Charles Bo mendorong pemimpin gereja Katolik sedunia itu untuk tidak menggunakan kata "Rohingya" yang dinilai kontroversial. Untuk menghindari protes, Sri Paus disarankan untuk menggunakan sebutan "kaum Muslim di daerah Rakhine", mengingat sejumlah besar warga Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha menolak sebutan Rohingya, dan tidak menganggap mereka sebagai warga negara Myanmar dan sebuah kelompok etnis.
Bahkan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, yang juga pernah mendapat Nobel Perdamaian, juga mengindikasikan bahwa Sri Paus sebaliknya tidak menggunakan kata "Rohingya". Namun demikian sejumlah kelompok hak asasi mendesak Paus Fransiskus untuk mengangkat isu ini selama kunjungannya.
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)
Foto: DW/J. Owens
8 foto1 | 8
Menjaga keseimbangan
Menurut Uskup Agung Charles Bo, kunjungan Sri Paus akan difokuskan pada koeksistensi damai antar komunitas agama yang berbeda-beda. Demikian dikutip Radio Vatikan. Mengingat situasi sosial Myanmar yang diliputi konflik selama bertahun-tahun, ia menekankan, Paus Fransiskus bisa membantu menghentikan spiral kekerasan.
Pemeluk agama Katolik adalah salah satu kelompok minoritas paling kecil di Myanmar. Jumlah mereka hanya sekitar 1,2% dari seluruh penduduk Myanmar yang berjumlah 53 juta orang.
Penulis: Rodion Ebbighausen (ml/hp)
Kisah Pengungsi Rohingya Di Perbatasan Myanmar
Dari Rakhine, Myanmar, lebih dari tiga setengah juga pengungsi Rohingya tiba di Teknaf, Bangladesh. Bagaimana hidup mereka yang penuh penderitaan dan kenangan menyedihkan?
Foto: DW/M.M. Rahman
Pengungsi Rohingya di daerah Teknaf yang sudah banyak menerima pengungsi.
Foto: DW/M.M. Rahman
Banyak anggota keluarga yang sakit dan yang sudah tua mereka gotong dan akhirnya tiba di Teknaf.
Foto: DW/M.M. Rahman
Sebagian besar pengungsi Rohingya adalah perempuan dan anak-anak.
Foto: DW/M.M. Rahman
Wanita dan anak-anak Rohingya juga harus melewati sungai, di jalan yang panjang untuk mencapai Bangladesh.
Foto: DW/M.M. Rahman
Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR) sekitar 2,5 juta pengungsi Rohingya telah tiba di Bangladesh sejak 25 Agustus 2017.
Foto: DW/M.M. Rahman
Rumah-rumah keluarga Rohingya di daerah Maungdaw dan Rasidong dibakar selama tiga hari. Gambar diambil dari Pulau Shahpiar.
Foto: DW/M.M. Rahman
Banyak orang terpaksa berhenti di sisi jalan, setelah melintasi malam di bawah langit terbuka.
Foto: DW/M.M. Rahman
Pemerintah Bangladesh berupaya menampung semua pengungsi di tempat penampungan yang luas.
Foto: DW/M.M. Rahman
Lebih dari 200.000 bayi Rohingya kini berada di Bangladesh. Menurut UNHCR lebih dari 1.100 anak datang dari Rakhine tanpa disertai orang tua.
Foto: DW/M.M. Rahman
Rohingya yang cari perlindungan di daerah Teknaf menderita kekurangan makanan akut. Untuk dapat makanan mereka harus berebutan. Penulis: Mustafiz Manun (ml/hp)