"Bumi rumah kita, kian lama semakin menjadi onggokan sampah raksasa." Dalam ensiklik yang dipublikasikan Vatikan, Paus Fransiskus mengecam gaya hidup konsumtif dan kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh masyatakat modern.
Dalam tulisan berjudul "Laudato Si" itu, Sri Paus mewanti-wanti "semua manusia di planet ini," bahwa konsumsi, pemborosan dan pengrusakan lingkungan telah melampaui kapasitas planet dan "gaya hidup seperti ini cuma akan berujung pada bencana."
Pesan Fransiskus muncul saat dunia sedang menanti terobosan besar pada konferensi iklim yang akan digelar Desember mendatang di Paris. Menurutnya umat manusia harus mengembangkan program untuk mengurangi efek gas rumah kaca. "Perubahan iklim adalah tantangan terpenting saat ini buat kemanusiaan."
"Perintah untuk Advokasi"
Dalam dalih teologinya, Sri Paus mengusung konsep "ekologi integral," yang menempatkan isu lingkungan ke dalam agenda utama ajaran Katolik. Pandangan tersebut menautkan kehancuran alam dengan ketidakadilan sosial seperti kemiskinan dan kelaparan yang merendahkan martabat manusia.
Ketua umum konfrensi keuskupan AS, Joseph Kurtz menyebut Laudato Si sebagai "perintah untuk advokasi." Selama proses penulisan, Fransiskus melibatkan lusinan peneliti iklim, termasuk Hans Joachim Schellnhuber dari Institut Penelitian Dampak Perubahan Iklim di Potsdam, Jerman.
Menurutnya surat edaran setebal 200 halaman itu mencerminkan semua temuan ilmiah teranyar. "Mereka yang paling sedikit diuntungkan dari eksploitasi minyak dan pengrusakan alam, justru yang paling parah terkena dampaknya," ujar Schellnhuber mengamini surat Paus.
"Tidak ada nilai tambah"
Surat Paus secara umum ditanggapi positif. "Inilah yang kita butuhkan selama ini," kata ilmuwan Texas Institute of Technology, Katherine Hayhoe yang beragamakan Protestan. "Kita membutuhkan pemimpin yang berbicara soal nilai, menghubungkan titik antara nilai dan perubahan iklim," tuturnya.
Banyak pula yang memuji, Ensiklik Fransiskus "memiliki kekuatan untuk mentransformasi gereja dan menata ulang kebijakan politik," kata Austen Ivereigh, penulis biografi Sri Paus.
Tapi upaya Fransiskus memulai debat serius soal iklim di kalangan rohaniawan juga mendulang kritik. Terutama politisi konservatif AS dari Partai Republik menilai agama tidak memiliki tempat dalam kebijakan iklim.
"Tidak, maaf, ini adalah isu politik," kata Rob Bishop, Ketua Komite Sumber Daya Alam di parlemen. "Sebagian besar orang telah memiliki opininya sendiri terhadap isu ini. Jadi lebih banyak retorika sebenarnya tidak memiliki nilai tambah apapun."
Paus Fransiskus diyakini akan mengangkat isu lingkungan saat berpidato di depan Kongres AS, November mendatang.
rzn/vlz (ap,dpa,rtr)
Kendati mencatat kemunduran, Indeks Perlindungan Iklim 2015 memastikan bahwa untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan meningkatnya emisi CO2. Berikut negara-negara pendosa iklim terbesar di dunia.
Foto: ReutersLevel emisi yang diproduksi negeri para Emir ini tidak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Namun bukan itu yang menjadi masalah terbesar. Perekonomian Arab Saudi masih banyak bertumpu pada penjualan minyak mentah. Terlebih, niat pemerintah memproduksi 50 Gigawatt listrik dari energi terbarukan hingga 2032 sejauh ini cuma terwujud di atas kertas.
Foto: picture-alliance/dpaPemerintahan konservatif di bawah Tony Abott ternyata serius mencoret perlindungan iklim dari agenda utama Australia. Peringkat negeri kangguru itu pun merosot 21 tempat. Organisasi Germanwatch menetapkan lima indikator buat menyusun indeks iklim, yakni level emisi (30%), pertumbuhan emisi (30%), pembangunan energi terbarukan (10%), efisiensi energi (10%) dan kebijakan iklim (20%).
Foto: picture-alliance/dpaNegeri kaya minyak dan gas ini sebenarnya getol menelurkan undang-undang perlindungan iklim. Kazakhstan adalah negara bekas Uni Soviet pertama yang menerapkan sistem perdagangan emisi karbon. Namun aktivis lingkungan mengeluhkan, implementasi kebijakan iklim tidak menyentuh pendosa terbesar, yakni industri minyak dan gas.
Foto: REUTERSGermanwatch kecewa pada program perlindungan iklim Kanada yang sedang mengalami stagnasi. Ambisi pengurangan emisi CO2 yang ditargetkan Canberra hingga 2020 diyakini akan meleset sebanyak 20 persen. Transportasi dan industri hingga kini masih menyumbangkan jejak emisi terbesar, tanpa adanya upaya serius untuk menggenjot efisiensi energi di kedua sektor tersebut.
Foto: dapdSebenarnya pemerintahan baru di Teheran mulai banyak berbuat untuk perlindungan iklim, antara lain dengan menelurkan sederet undang-undang dan menggariskan sasaran iklim baru yang lebih ambisius. Iran misalnya berniat menggenjot pembangunan infrastruktur energi terbarukan hingga 2020. Kendati mendapat nilai merah, Iran memperoleh catatan positif terkait perspektif perlindungan iklim di masa depan
Foto: ISNAMenurut Departemen Energi AS, Rusia menyumbangkan 5,6 persen terhadap emisi karbon global. Sebagian besar berasal dari penggunaan bahan bakar oleh industri dan produksi listrik. Gas, batu bara dan nuklir adalah tiga pilar pasokan energi negeri beruang ini. Pemerintah di Moskow sebenarnya sudah menggariskan efisiensi produksi energi. Namun implementasinya belum berdampak pada neraca karbon Rusia
Foto: picture-alliance/dpaNegeri kaya di semenanjung Korea ini sedang memasuki puncak industrialisasi. Batu bara dan minyak bumi adalah tulang punggung pasokan energi di Korea Selatan. Sebab itu pemerintah berupaya memangkas emisi karbon dengan menetapkan pajak lingkungan, merangsang efisiensi energi melalui teknologi baru dan mencanangkan industri IT hijau. Sayangnya upaya tersebut belum berdampak pada neraca iklimnya.
Foto: Fotolia/Marzky RagsacSeperti yang bisa diduga, sebagian besar emisi karbon milik Taiwan berasal dari sektor manufaktur dan energi. Kendati mencatat perkembangan positif dalam hal efisiensi energi dan neraca karbon, adalah kebijakan iklim yang dinilai terlalu berpihak pada industri yang menyeret posisi Taiwan ke peringkat delapan dalam daftar hitam pendosa iklim.
Foto: picture alliance/ChromorangeTiga faktor membuat posisi Jepang melorot tajam, yakni level emisi, efisiensi energi dan kebijakan iklim. Negeri Sakura itu kini sangat bergantung pada energi fosil pasca insiden di Fukushima. Terlebih, Tokyo juga merevisi sasaran iklimnya dengan membatasi kenaikan emisi sebesar 3,8 persen dari level 2005. Sebelumnya Jepang berambisi memangkas 25 % emisi karbon hingga 2020
Foto: picture-alliance/APMenurut klaim pemerintah, nyaris 90 persen emisi CO2 Malaysia berasal dari asap kendaraan bermotor. Namun faktor terbesar yang menambah dosa emisi negeri jiran ini sebenarnya adalah laju industrialisasi, pembukaan lahan hutan dan emisi dari limbah pabrik. Padahal Malaysia berambisi memangkas emisi karbondioksidanya sebanyak 40 persen hingga tahun 2020.
Foto: Manan Vatsyayana/AFP/Getty ImagesDirunut berdasarkan jumlah emisi, maka Cina adalah pendosa iklim terbesar di muka bumi dengan sumbangan sebesar 26,4 persen terhadap emisi global. Tapi di balik itu Cina adalah investor terbesar untuk teknologi energi terbarukan. Selain itu kesediaan Beijing membuat komitmen pengurangan emisi yang disepakati bersama dengan Amerika Serikat beberapa pekan lalu juga menyisakan catatan positif.
Foto: ReutersAmerika Serikat menyumbangkan emisi karbon terbesar kedua di dunia dengan 17 persen. Tapi di sisi lain AS berhasil memangkas emisi karbon dari sektor transportasi. Rendahnya pertumbuhan emisi adalah satu-satunya catatan positif buat AS. Terkait kebijakan iklim, bercokolnya kelompok konservatif di parlemen mempersulit upaya pemerintahan Barack Obama meregulasi emisi di tingkat federal
Foto: Reuters/Erik De CastroDi mata Germanwatch, Indonesia memiliki catatan hijau terkait perlindungan iklim. Pertumbuhan emisi dan efisiensi energi adalah dua faktor yang mencuatkan posisi kita di dalam indeks perlindungan iklim. Namun begitu sejumlah masalah masih belum terselesaikan, yakni emisi kendaraan bermotor dan giatnya pembukaan lahan untuk industri.
Foto: Reuters