1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

COP27: Paviliun Indonesia Resmi Ditutup

18 November 2022

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong resmi menutup Paviliun Indonesia di KTT Perubahan Iklim COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir. Beberapa kebijakan pemerintah masih dipersoalkan organisasi lingkungan.

Paviliun Indonesiaa jadi showcase kebjikanan iklim
Paviliun Indonesia di COP27 MesirFoto: Ayu Purwaningsih/DW

Selama kurang lebih dua pekan, Paviliun Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP27 UNFCCC di Sharm El Sheikh, Mesir memajang berbagai kebijakan pemerintah dan aksi penanganan perubahan iklim. Dalam pernyataannya Wakil Menteri LHK Alue Dohong menyampaikan , "Paviliun Indonesia menunjukkan apa yang telah kita lakukan dalam negosiasi global dan menyajikan berbagai pembelajaran dari lapangan dan berbagai pemangku kepentingan." 

Sesi Paviliun Indonesia tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga ditransmisikan secara virtual untuk menyebarkan informasi secara global. Wamen Alue menyampaikan, selama gelaran Paviliun Indonesia terjadi pertukaran informasi, pandangan, dan pemikiran tentang program pengendalian perubahan iklim oleh Pemerintah Indonesia dengan pihak lain. "Kami telah menyuarakan aksi, strategi, dan inovasi Indonesia kepada dunia internasional, sebagai wujud nyata dari bersama-sama memimpin aksi iklim untuk mencegah kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius," ujarnya.

Selain FoLU NET SINK 2030, Paviliun Indonesia juga membahas berbagai aspek, termasuk implementasi NDC menuju Net Zero Emission 2060, pembiayaan iklim untuk pembangunan berkelanjutan, peluang dan tantangan perubahan iklim dan ekosistem.

FOLU Net Sink 2030 merupakan sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, di mana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi. Sedangkan NDC adalah Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC), yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui badan iklim PBB, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Selain itu turut dibahas isu lain seperti pengelolaan kebakaran hutan, gender dalam perubahan iklim, memanfaatkan solusi berbasis alam, gerakan pemuda, pengakuan pasar yang lebih luas, pengelolaan mangrove yang terintegrasi dan berkelanjutan, meningkatkan sinergi dan strategi pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam, aksi iklim yang inklusif dan kolaboratif, pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, dan pengelolaan sampah plastik. "Berbagai topik yang sangat penting untuk aksi iklim telah kita diskusikan. Meski begitu, kami tidak ingin pembahasan isu-isu tersebut berhenti pada penutupan Paviliun Indonesia di COP27 UNFCCC. Kita harus melanjutkan diskusi dan menerapkan apa yang kita tangani untuk melangkah maju mencapai emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% tanpa syarat, dan 43,20% bersyarat pada tahun 2030, sebagaimana tercantum dalam Enhanced NDC Indonesia," tambah Wamen Alue.

Tarian yang disajikan di Paviliun IndonesiaFoto: Ayu Purwaningsih/DW

Dalam laporannya, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK, sekaligus Ketua Penyelenggara Paviliun Indonesia, Agus Justianto, mengatakan Paviliun Indonesia telah menyelenggarakan total 66 sesi dengan 323 narasumber. Para narasumber terdiri dari 220 penutur laki-laki dan 103 penutur perempuan; serta 238 pembicara Indonesia dan 85 pembicara internasional. "Dilihat dari jumlah peserta, kami perkirakan Paviliun Indonesia telah dikunjungi lebih dari 3500 delegasi," ujarnya.

Menanti keseriusan pemerintah dalam implementasi

Menyoroti pencapaian pemerintah dalam krisis iklim, organisasi lingkungan WALHI menilai pemerintah Indonesia juga menjadi bagian dari pihak yang belum secara serius dan ambisius mengimplementasikan aksi iklim. "Kebijakan dan aksi iklim Indonesia belum mengarah pada peta jalan pengurangan emisi berdasar rekomendasi berbasis sains," papar perwakilan WALHi di COP27, Parid Ridwanuddin.

Ditambahkan WALHI, gagasan mendorong kontribusi semua pihak sesuai kapasitas dengan semangat burden sharing yang disampaikan pemerintah memang patut diapresiasi. Namun semangat berbagi beban ini perlu dilihat secara kritis sebagai upaya negara maju menghindari tanggung jawabnya sebagai pihak paling besar kontribusinya pada krisis iklim. Sementara negara berkembang dan miskin masih dibiarkan sendirian menanggung dampak krisis iklim berupa berbagai bencana seperti siklon tropis, gelompang panas, banjir rob, kekeringan, dan lainnya.

Dalam pidatonya pekan lalu di COP27, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia sebagai salah satu langkah nyata lead by example. Namun menurut WALHI, jika ingin memimpin dengan contoh, Indonesia seharusnya tidak membebankan kontribusi pengurangan emisi hingga sebesar 60 persen pada sektor kehutanan. Di lain pihak, dalam wawancara dengan DW, Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Krisdianto menyebutkan: "Kalau sektor kehutanan jelas. Ada 15 ruang lingkup dalam FOLU Net Sink 2030, yang diharapkan itu akan meningkatkan ketersediaan tanaman untuk mengisap karbon dioksida atau gas emisi lainnya."

Pemberlakuan pajak karbon

Selain itu, WALHI juga menyoroti soal penundaan pemberlakuan pajak karbon hingga 2025. "Penundaan penerapan pajak karbon telah terjadi berulang kali dari rencana pemberlakuan terhitung per 1 April 2022 sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," tutur Parid Ridwanuddin, yang menyebutkan jikapun pada akhirnya diterapkan, pajak karbon masih terlalu longgar untuk digunakan sebagai instrumen efektif guna menurunkan emisi.

Terkait dengan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, situasi pembangkit listrik masih didominasi oleh energi fosil dan ratusan ribu hektar kawasan ekosistem esensial telah dan akan mengalami kehancuran akibat pertambangan nikel. Maka proyek kendaraan listrik bukanlah agenda transisi energi yang berkeadilan, demikian penekanan dari WALHI. Saat ini 80 persen pembangkit listrik masih berbasis energi fosil, sehingga emisi yang akan dihasilkan, terutama untuk pengisian baterai kendaraan listrik, masih sangat tinggi.

Manager Kampanye WALHI Fanny Tri Jambore menjelaskan, Indonesia telah kehilangan banyak ekosistem penting akibat pemberian konsesi pertambangan nikel yang menjadi bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik. Diperkirakan 900.000 hektar lahan di Indonesia telah diberikan untuk izin pertambangan nikel. Lebih dari 600.000 hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan: "Padahal ketiga hal utama yang dibutuhkan manusia: udara, energi dan pangan, dijaga oleh kawasan hutan. Artinya kerusakan kawasan hutan yang semakin besar itu akan mengancam kehidupan manusia," tandas Fanny.

Dalam pertemuan puncak G20 di Bali, Indonesia mendapat komitmen bantuan baru untuk transisi energi sekitar 300 triliun rupiah dari Amerika Serikat dan pihak lain. WALHI mengingatkan kembali bahwa seluruh mekanisme yang telah dan akan dikembangkan untuk transisi energi harus efektif menurunkan emisi, tidak boleh merusak lingkungan, juga merampas hak masyarakat.

WALHI menyayangkan berbagai inisiatif berbasis masyarakat lokal dan adat dalam aksi mitigasi dan adaptasi iklim kurang ditonjolkan pemerintah dalam COP27. "Bahkan, klaim Indonesia bahwa perhelatan G20 contoh pemulihan hijau yang inklusif juga patut dipertanyakan. G20 berkesan elitis, eksklusif dan jauh dari persoalan mendasar rakyat, pungkas Parid. (ap/hp)

*Sumber informasi tambahan press release KLHK dan WALHI

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait