Rekor kenaikan suhu, kekeringan parah, dan pemanasan suhu laut yang cepat memastikan bahwa emisi masih terus meningkat. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengajak dunia berkoalisi untuk capai netralitas karbon.
Iklan
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres membahas soal ancaman perubahan iklim yang mengerikan, pada Rabu (02/12), lewat pidatonya tentang keadaan planet di Universitas Columbia di New York, Amerika Serikat.
"Keadaan planet ini rusak, umat manusia mengobarkan perang terhadap alam," kata Guterres. "Alam selalu menyerang balik, dan melakukannya dengan kekuatan dan amarah,” tambahnya.
Mengacu pada laporan sementara “Keadaan Iklim Global 2020” yang dirilis Rabu (02/12) oleh Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organizations/WMO), Guterres menegaskan kembali bahwa suhu dalam dekade terakhir adalah yang terpanas dalam sejarah.
Dikatakannya bahwa lapisan es menurun, permafrost mencair, kebakaran hutan dan lahan yang luas dan badai yang belum pernah terjadi sebelumnya hanyalah sebagian dari akibatnya.
"Hentikan perampasan," lanjut Guterres, mengacu pada penggundulan hutan yang juga memicu perubahan iklim. "Dan mulailah penyembuhan.”
Menurutnya, kebijakan iklim saat ini telah gagal menjawab tantangan tersebut. Dia mengatakan bahwa emisi pada tahun 2020 tercatat 60% lebih tinggi daripada tahun 1990.
"Kita sedang menuju kenaikan suhu 3 sampai 5 derajat celcius (pada tahun 2100),” sebutnya.
Namun, sekjen WHO itu melihat harapan untuk tahun 2021, dengan mengatakan inilah saatnya untuk "membangun koalisi global menuju netralitas karbon."
Misi ini mendorong energi terbarukan dan menghentikan pembiayaan dan subsidi bahan bakar fosil secara bertahap.
“Tidak ada “vaksin” untuk planet ini,” ujarnya, terkait perlunya membangun gerakan aksi penanganan iklim global.
Iklan
Rekor enam tahun terpanas
Laporan kondisi iklim WMO yang dirujuk oleh Guterres menegaskan bahwa 2020 menjadi tahun terpanas kedua, jika dibandingkan dengan periode yang setara di masa lalu.
Serangkaian gejala planet bumi yang memanas termasuk, seringnya terjadi kekeringan parah, badai besar yang tak tertandingi, es lautan yang mencair, hujan lebat dan banjir di seluruh Asia dan Afrika, serta gelombang panas laut yang luas. Namun, 2016 tetap menjadi tahun terpanas dalam sejarah hingga saat ini.
Empat tahun kemudian, suhu memanas ini terus berlanjut, meskipun fase cuaca La Nina yang lebih dingin terjadi pada bulan September, dan El Nino – kondisi suhu air laut di Samudra Pasifik memanas – menjadi relatif lemah.
Suhu rata-rata global untuk Januari hingga Oktober 2020 adalah sekitar 1,2 derajat celcius, yang berarti di atas suhu rata-rata tahun 1850–1900.
"Dengan 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas dalam catatan, dan enam tahun terakhir 2015-2020, kemungkinan besar menjadi enam tahun terpanas dalam catatan," kata laporan iklim WMO.
Suhu di Arktik Siberia lebih dari 5 derajat celcius di atas rata-rata pada tahun 2020. Suhu mencapai 38 celcius di Verkhoyansk pada akhir Juni, diketahui sebagai suhu tertinggi di utara Lingkaran Arktik.
“Kami melihat suhu ekstrem baru di darat, laut dan terutama di Kutub Utara,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
"Kebakaran hutan melanda wilayah yang luas di Australia, Siberia, Pantai Barat AS dan Amerika Selatan, mengirimkan gumpalan asap ke seluruh dunia,” tambahnya.
Di masa pandemi, gas rumah kaca tetap meningkat
Lockdown yang diterapkan untuk mencegah penyebaran virus corona hanya menghasilkan "pengurangan emisi sementara" pada tahun 2020, menurut laporan itu.
Gas rumah kaca yang sebagian besar dihasilkan oleh pembakaran dari bahan bakar fosil mencapai titik tertinggi baru pada tahun 2019. Tingkat karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) meningkat ke level yang lebih tinggi dari tahun 2018 (2,6 bagian per satu juta), dibandingkan peningkatan dari dua tahun sebelumnya.
"Data real-time dari lokasi tertentu, termasuk Mauna Loa (Hawaii) dan Cape Grim (Tasmania) menunjukkan bahwa tingkat CO2, CH4 dan N2O terus meningkat pada tahun 2020," kata laporan itu.
World Cities Day: Upaya Kota-kota Dunia Atasi Perubahan Iklim
Jumlah orang yang tinggal di perkotaan diperkirakan akan membengkak pada dekade mendatang, menambah tekanan pada kota metropolitan untuk mengurangi jejak karbon. Jadi, bagaimana upaya mengatasinya?
Foto: Reuters/S. Pamungkas
Tantangan pertumbuhan berkelanjutan
Menurut PBB, wilayah perkotaan menghabiskan lebih dari dua pertiga energi dunia dan bertanggung jawab atas 70% emisi karbon. Kota juga merupakan rumah bagi lebih dari separuh penduduk planet ini. Dengan perkiraan peningkatan populasi perkotaan, upaya kota-kota ini menangani air, polusi, limbah, transportasi dan energi menjadi sangat penting unguk mengatasi perubahan iklim.
Foto: Getty Images/AFP/T. Aljibe
Kopenhagen: Komitmen netralitas iklim
Kopenhagen berencana menjadi kota netral karbon pertama di dunia pada tahun 2025. Untuk sampai pada tujuan ini, ibu kota Denmark ini ingin 75% perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, bersepeda atau dengan transportasi umum. Harga parkir mobil pun dinaikkan dan diinvestasikan untuk ratusan kilometer jalan sepeda. Sistem pemanas kota juga beralih menggunakan biomassa ramah lingkugnan.
Foto: Alexander Demianchuk/TASS/dpa/picture-alliance
Bogota: Mobilitas bagi jutaan orang
Data PBB menunjukkan bahwa sistem angkutan cepat bus di ibu kota Kolombia yang diluncurkan sejak tahun 2000 ini berhasil menurunkan emisi CO2 dan meningkatkan kualitas udara. Jaringan TransMilenio di Bogota mengangkut 2,4 juta penumpang setiap harinya dan mencakup 85% wilayah kota. Pemerintah berencana membuka metro pada 2022 dan mengganti bus diesel dengan bus hybrid dan lsitrik pada 2024.
Foto: Transmilenio Colombia
Johannesburg: Bertani di kota
Afrika dengan pertumbuhan kota tercepatnya di dunia menjadi tatanngan baru terkait permasalahan iklim seperti kerawanan pangan dan air. Di Johannesburg, Afrika Selatan, penduduk seperti Lethabo Madela menanam tanaman obat dan sayuran. Pejabat mengatakan kepada Reuters bahwa ada 300 pertanian semacam ini di kota berpenduduk 4,4 juta ini - di atap rumah, halaman belakang dan tanah kosong.
Foto: Guillem Sartorio/Getty Images
Singapura: Ruang hijau
Selain menyediakan makanan, taman juga dapat mendinginkan kota, menyerap CO2 dan mencegah banjir. Pusat bisnis Singapura terkenal akan jaringan area hijau dan taman yang mengesankan, termasuk Gardens by the Bay yang ikonik. Semua bangunan baru di negara-kota padat penduduk ini harus memiliki beberapa bentuk vegetasi, seperti taman gantung atau atap hijau.
Foto: picture-alliance/robertharding/B. Morandi
Oslo: Fokus kepada kualitas udara
Ibu kota Norwegia ingin mengatasi polusi udara dengan membuat semua mobil bebas emisi pada 2030. Oslo, dengan penduduk sekitar 690.000 orang, saat ini memiliki jumlah kendaraan listrik per kapita tertinggi di dunia. Pengemudi mendapatkan fasilitas seperti kredit pajak, akses jalur bus dan perjalanan gratis di jalan tol. Ketika polusi tinggi, kota dapat melarang sementara penggunaan mobil diesel.
Foto: DW/L.Bevanger
Seoul: Berurusan dengan sampah
Seoul berhasil kurangi limbah secara dramatis sejak tahun 1990-an dengan sistem "bayar saat membuang". Kota padat penduduk di Korea Selatan ini mendaur ulang 95% limbah makanannya, misalnya dengan tempat sampah otomatis yang menimbang dan menagih penduduk atas apa yang mereka buang dengan kartu identitas yang bisa dipindai. Limbah makanan kemudian diubah menjadi kompos, pakan ternak atau biofuel.
Foto: CC BY 2.0 kr
Rotterdam: Air dan pasang naik
Rotterdam rentan terhadap ancaman iklim seperti pasang naik karena berada di bawah permukaan laut. Untuk berlindung dari banjir, telah dibangun taman di puncak gedung untuk menyerap limpasan air, "alun-alun air" untuk menampung air hujan dan garasi parkir yang dirancang sebagai waduk. Pemerintah juga membangun struktur terapung - termasuk peternakan sapi ini - untuk menahan air yang merambah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Corder
Reykjavik: 100% energi terbarukan
Islandia dapat menghasilkan energi terbarukan dengan cukup murah berkat melimpahnya sumber daya hidro dan panas bumi. Ibu kotanya, Reykjavik, adalah kota Eropa pertama yang sepenuhnya mengandalkan listrik terbarukan untuk menghangatkan rumah dan kolam renang. Bahan bakar fosil masih digunakan untuk transportasi dan perikanan, tetapi kota ini berharap dapat menghapus emisi tersebut pada tahun 2040.
Foto: picture-alliance/U. Bernhart
Vancouver: Bangunan hijau
Bangunan merupakan sumber utama emisi di kota karena daya yang mereka gunakan untuk penerangan, pendinginan dan pemanas. Vancouver ingin menjadikan semua bangunan baru netral karbon pada tahun 2030 dan bangunan lama pada tahun 2050. Contohmya Vancouver Convention Center yang memiliki atap hijau dengan 400.000 tanaman untuk mengisolasi panas dan menggunakan air laut untuk pemanasan dan pendinginan.
Foto: robertharding/Martin Child/picture-alliance
Surabaya: Sampah botol plastik untuk tiket bus
Sampah plastik merupakan salah satu permasalahan utama. Kota terbesar kedua di Indonesia ini terpilih oleh Guangzhou Institute for Urban Innovation sebagai salah satu kota paling berkelanjutan. Pemerintah kota meluncurkan proyek bus 'Suroboyo' yang memungkinakan penumpang membayar tiket dengan botol plastik bekas dan berhasil mengumpulkan hingga 250 kg sampah plastik tiap harinya. (Ed.: st/ae)
Foto: Reuters/S. Pamungkas
11 foto1 | 11
Gejala pemanasan global yang semakin parah
Laporan tersebut juga mencatat bahwa permukaan laut telah naik lebih tinggi dari tahun ke tahun, sebagian akibat peningkatan pencairan lapisan es di Greenland dan Antartika.
Sementara itu, lebih dari 80% wilayah lautan telah mengalami setidaknya satu gelombang panas pada tahun 2020. Dan 43% wilayah lautan mengalami gelombang panas laut yang tergolong "kuat". Selain itu, suhu panas laut pada tahun 2019 tercatat yang tertinggi.
Hujan deras dan banjir besar melanda sebagian besar wilayah Afrika dan Asia pada tahun 2020, terutama di sebagian besar Sahel, negara-negara di the Greater Horn Afrika, anak benua India, dan daerah sekitarnya, Cina, Korea, dan Jepang. Dengan 30 badai (per 17 November 2020), musim badai Atlantik utara mencatat jumlah badai tertinggi yang pernah ada.
Kekeringan parah memengaruhi sebagian besar bagian Amerika Selatan pada tahun 2020, dengan daerah yang terkena dampak parah termasuk Argentina utara, Paraguay dan daerah perbatasan barat Brasil.
"Peristiwa iklim dan cuaca telah memicu perpindahan penduduk yang signifikan dan sangat memengaruhi orang-orang yang rentan mengungsi, termasuk di kawasan Pasifik dan Amerika Tengah," kata laporan iklim. (pkp/ha)