1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB Bongkar 'Kejahatan' Iran Terhadap Para Pengunjuk Rasa

21 Maret 2024

Misi pencari fakta PBB menyebut aksi kekerasan brutal pemerintah Iran terhadap para demonstran pembela hak perempuan merupakan "kejahatan terhadap kemanusiaan."

Protes terhadap kematian Jina Mahsa Amini di Iran
Protes besar-besaranndi seluruh Iran pada akhir tahun 2022 dipicu oleh kematian Jina Mahsa Amini saat dalam tahanan polisi moralitas Iran.Foto: Middle East Images/picture alliance

Hasil dari misi pencari fakta independen dan internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai tindakan keras Iran terhadap aksi protes nasional, dipublikasikan di depan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB dalam sesi pertemuan rutinnya di Jenewa tanggal 18 Maret.

Dalam laporan setebal lebih dari 300 halaman itu, para penyelidik PBB menjabarkan bagaimana pemerintah Iran melakukan kampanye penindasan yang brutal terhadap para demonstran, yang menurut ketua tim penyelidik Sara Hossain, dalam beberapa kasus merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dua bulan setelah kematian Jina Mahsa Amini yang berusia 22 tahun, yang memicu aksi protes luas di seluruh wilayah Iran, pada November 2022 lalu Dewan HAM PBB membentuk misi pencari fakta mengenai "situasi HAM yang memburuk" di Iran, untuk mendokumentasikan potensi kejahatan brutal terhadap rakyat Iran.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Pada saat itu, sudah ada kecurigaan bahwa pihak berwenang Iran diduga menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, demi menindak aksi protes "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan".

"Kejahatan telah dilakukan," kata Hossain kepada Dewan Hak Aasai Manusia PBB di Jenewa pada hari Senin (18/02). Dia menyebut sejumlah pembunuhan "ekstrajudisial", penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga penganiayaan berbasis gender, sebagai contoh tindakan kejahatan yang dilakukan pemerintah Iran.

Therean terus membantah bertanggung jawab atas kematian Amini, dan mengatakan bahwa Amini tidak pernah dipukuli dalam tahanan. Misi pencari fakta PBB justru menilai bahwa Amini dipukuli hingga tewas "saat berada dalam tahanan polisi moral Iran."

Banyak pengunjuk rasa perempuan yang menentang pihak berwenang dengan tidak mengenakan jilbab di depan umumFoto: SalamPix/abaca/picture alliance

Ada lebih dari 100 pernyataan saksi

Hossain mengatakan kepada DW, Komisi PBB telah memeriksa dan mengevaluasi beragami sumber untuk menyusun laporan ratusan halaman tersebut.

"Kami menganalisis dokumen-dokumen pemerintah dan pernyataan-pernyataan publik dari para pejabat pemerintah. Kami juga meninjau sejumlah laporan yang disiapkan oleh Dewan Tinggi Hak Asasi Manusia Iran," jelas Hossain, yang merupakan seorang pengacara di Mahkamah Agung Bangladesh.

Hossain menambahkan bahwa misi pencari fakta PBB telah mengevaluasi 134 pernyataan saksi secara langsung untuk laporan akhir. Para penyelidik juga menganalisis sejumlah informasi dengan sumber terbuka, seperti rekam medis digital dan dokumen-dokumen hukum lainnya.

"Semua ini menjadi dasar dari materi kami. Hal ini memungkinkan kami untuk menggunakan bukti langsung dan bukti yang menguatkan dari sumber-sumber primer dan sekunder, dan memberikan kami dasar yang kuat bagi investigasi dan temuan kami," kata Hossain.

Beberapa saksi mata yang bersaksi di hadapan komisi, sebelumnya juga menunjukkan adanya bekas luka tembakan yang sengaja diarahkan kepada mereka oleh pasukan pengamanan Iran.

Kosar Eftekhari, salah satu korbannya. Perempuan berusia 24 tahun dari Teheran itu, terkena tembakan peluru karet di matanya saat melakukan aksi protes tahun 2022 silam. Akibat kejadian itu, matanya kini menjadi buta. Seolah-olah trauma itu belum cukup, Eftekhari dibawa ke Pengadilan Revolusioner di Teheran dengan tuduhan "berkumpul dan berkonspirasi melawan keamanan negara" dan "menggelar propaganda melawan rezim pemerintah."

Eftekhari mengatakan kepada DW, "karena penindasan yang luar biasa itu, saya akhirnya melarikan diri dari negara (Iran) dua bulan lalu. Eftekhari kini tinggal di Jerman dan memberikan kesaksiannya di hadapan para komisi di Jenewa.

"Saya ikut serta dalam aksi protes damai yang ditumpas secara brutal oleh pasukan keamanan (Iran). Mereka dengan sengaja menembak mata saya dari jarak dekat. Sangat penting bagi saya, sebagai saksi mata, untuk menceritakan kepada dunia apa yang kami alami dan bagaimana para pengunjuk rasa ini justru ditindas," tegasnya.

'Serangan sistematis terhadap penduduk sipil'

Menurut laporan misi pencari fakta PBB, sebanyak 551 orang dibunuh oleh pasukan keamanan Iran, termasuk diantaranya 49 perempuan dan 68 anak-anak. Perempuan, anak-anak, dan anggota etnis atau agama minoritas, telah menjadi sasaran khusus bagi pelanggaran hak asasi manusia itu.

Cara-cara itu menjadi bagian dari "serangan sistematis terhadap penduduk sipil," ujar Hossain dalam sidang Dewan HAM PBB di Jenewa.

Badan pencari fakta tersebut meminta pemerintah Iran untuk menghentikan eksekusi terhadap para pengunjuk rasa, membebaskan semua tahanan yang berhubungan dengan aksi protes tersebut, menghentikan pelecehan terhadap para korban dan keluarganya, serta memberikan ganti rugi kepada mereka.

Pengacara HAM Iran, Saeid Dehghan, mengatakan bahwa tugas pencari fakta PBB ini begitu krusial bagi para penduduk sipil di Iran.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Islam Iran, kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa terhadap rakyatnya berhasil didokumentasikan. Ini adalah pertama kalinya istilah 'kejahatan terhadap kemanusiaan' digunakan dalam laporan resmi tentang situasi di Iran. Hal itu memiliki makna yang historis," ungkap Dehghan kepada DW.

Dehghan, yang menetap di Kanada sejak 2022, telah mendirikan jaringan pengacara Iran di seluruh dunia. Dia menjalankan sebuah pusat hukum bernama Parsi Law, yang menawarkan jasa konsultasi hukum kepada warga Iran. Pusat hukum yang dikepalainya juga mendukung organisasi internasional seperti PBB, yang mempromosikan HAM untuk warga Iran.

Meskipun Iran menolak temuan dalam laporan tersebut, para pejabat Iran yang menetap di negara-negara Barat masih bisa diadili, dibekukan asetnya, atau bahkan ditolak masuk ke negara itu berdasarkan hasil laporan tersebut.

Faktanya, pemerintah Iran malah mempososikan diri sebagai korban, dengan mengklaim bahwa tugas misi pencari fakta PBB itu bermotif politik.

Teheran mengutuk keras temuan badan PBB tersebut, dengan mengatakan bahwa "tuduhan itu tidak berdasar" dan "informasinya salah dan bias, serta tanpa dasar hukum apa pun."

Pihak berwenang Iran menolak untuk bekerja sama dengan misi pencari fakta PBB, bahkan ingin mencegah agar tugas badan ini tidak diperpanjang.

Mandat misi ini akan berakhir pada 5 April 2024 mendatang. Organisasi-organisasi HAM Iran dan internasional juga telah menyerukan agar mandat itu diperpanjang. Dewan HAM PBB akan melakukan pemungutan suara mengenai perpanjangan mandat itu dan juga seluruh resolusi yang masih tertunda, pada pertemuan rutin berikutnya di awal bulan April mendatang.

(kp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait