Upaya Iran untuk menghilangkan lebih dari selusin perangkat pemantau bisa menjadi "pukulan fatal" untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, kata Kepala Pengawas Nuklir PBB IAEA Rafael Grossi.
Iklan
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan pada Kamis (09/06) bahwa Iran telah mulai menghapus 27 peralatan pemantauan pengawas PBB yang telah dipasang di bawah kesepakatan nuklir 2015.
Perjanjian nuklir 2015 menjadi Rencana Aksi Komprehensif Gabungan yang bertujuan untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir. Pengungkapan IAEA muncul ketika ketegangan meningkat dengan Iran atas program nuklirnya, dengan Teheran memperkaya uranium untuk penggunaan senjata nuklir.
Lika-Liku Kesepakatan Nuklir Iran
Donald Trump telah secara resmi menarik AS dari perjanjian nuklir internasional dengan Iran. Pemerintah AS terdahulu telah dengan susah payah menegosiasikannya selama bertahun-tahun dengan lima mitra internasional.
Foto: picture-alliance/epa/D. Calma
Yang menjadi masalah
Fasilitas nuklir Iran Bushehr adalah salah satu dari lima fasilitas yang dikenal oleh pengamat internasional. Israel, Amerika Serikat dan negara-negara sekutu telah sepakat bahwa usaha Iran memperkaya uranium - untuk keperluan energi domestik, menurut para pejabat di Teheran - dapat menjadi ancaman bagi kawasan jika hal itu berujung pada pengembangan senjata nuklir.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir dari masalah
Pada 2006, lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Cina, Rusia, Prancis, Inggris) dan Jerman (P5+1) memulai proses negosiasi yang melelahkan dengan Iran yang akhirnya mencapai kesepakatan pada 14 Juli 2015. Negara-negara tersebut sepakat memberikan kelonggaran sanksi pada Iran. Sebagai gantinya, pengayaan uranium Iran harus terus dipantau.
Foto: picture alliance / landov
Rakyat Iran setuju
Di Teheran dan kota-kota lain di Iran, warga merayakan apa yang mereka yakini sebagai akhir dari isolasi ekonomi bertahun-tahun yang memberi efek serius pada kesehatan dan gizi masyarakat karena kurangnya akses ke pasokan medis dan makanan untuk warga biasa. Banyak juga yang melihat perjanjian itu sebagai bukti bahwa Presiden Hassan Rouhani berusaha untuk membuka Iran ke dunia dengan cara lain.
Foto: picture alliance/AA/F. Bahrami
Peran IAEA
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) ditugaskan untuk memantau kepatuhan Iran kepada kesepakatan itu. Direktur Jenderal IAEA Yukiya Amano (kiri) pergi ke Teheran untuk bertemu dengan Rouhani pada bulan Desember 2016, hampir satu setengah tahun setelah kesepakatan itu ditandatangani. Dalam laporan yang disampaikan setiap tiga bulan, IAEA berulang kali menyertifikasi kepatuhan Iran.
Foto: picture alliance/AA/Iranian Presidency
Sang oponen
Setelah delapan tahun dengan Barack Obama, PM Israel Benjamin Netanyahu menemukan sosok presiden AS yang ia inginkan dalam Donald Trump. Meski Trump tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi dan ilmu nuklir, ia menyebut perjanjian internasional tersebut sebagai "kesepakatan terburuk yang pernah dinegosiasikan." Hal ini juga menjadi pokok kampanye pemilunya di 2016.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Siapa yang masih ada?
Meskipun ada sertifikasi IAEA dan protes dari Kemlu AS, Trump tetap menarik AS dari perjanjian pada 8 Mei. Pihak-pihak lain telah berjanji untuk tetap berada dalam kesepakatan. Diplomat top Uni Eropa, Federica Mogherini (kiri), sudah melakukan pembicaraan dengan para menteri luar negeri dari (ki-ka) Iran, Prancis, Jerman dan Inggris.
Foto: picture-alliance/Photoshot
6 foto1 | 6
Pada Rabu (08/06), dewan gubernur IAEA mengecam Teheran karena gagal memberikan "informasi yang dapat dipercaya" mengenai bahan nuklir buatan yang ditemukan di tiga lokasi yang tidak diumumkan di negara itu. Kecaman itu diajukan oleh Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat ke Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan didukung oleh 30 negara di dewan pengawas. Namun, hanya Cina dan Rusia yang menentang kecaman tersebut. Sementara, Iran mengkritik resolusi IAEA dan menuding tuduhan PBB sebagai sesuatu yang "tergesa-gesa" dan "tidak seimbang."
Iklan
Sebuah 'pukulan fatal' untuk kesepakatan 2015
Kepala IAEA Rafael Grossi mengatakan dalam konferensi pers bahwa penghapusan kamera menimbulkan "tantangan serius" bagi kemampuan PBB untuk memantau program nuklir Iran. Itu berarti "kurang transparansi, lebih banyak keraguan, lebih banyak ketidakpastian" seputar program nuklir Iran, tambah Grossi.
"Kami berada dalam situasi yang sangat tegang," Grossi menekankan. Jika Iran menolak untuk memasang kembali beberapa peralatan pemantau, Grossi mengatakan itu akan menjadi "pukulan fatal" dalam pembicaraan yang sedang berlangsung untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015.
AS desak Iran untuk bekerja sama dengan IAEA
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mendesak Iran pada Kamis (09/06) untuk bekerja sama dengan IAEA. Blinken menggemakan pernyataan Grossi, dengan mengatakan tindakan Iran mengancam kemungkinan pemulihan kesepakatan nuklir 2015.
"Satu-satunya hasil dari jalan seperti itu adalah krisis nuklir yang semakin dalam dan isolasi ekonomi dan politik lebih lanjut untuk Iran," katanya.
Selain itu, Blinken mengatakan bahwa negosiasi kesepakatan nuklir Iran hanya dapat diselesaikan jika Teheran membatalkan tuntutan asingnya.
Di bawah mantan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2018 dan mulai menerapkan kembali sanksi terhadap Iran. Pembicaraan di Wina tentang menghidupkan kembali perjanjian telah terhenti sejak April.