Jebakan Kemiskinan Ancam Negara Pengekspor Komoditas
7 Juli 2021
Meski subur dan kaya mineral, penduduk di negara-negara berkembang terancam oleh “kutukan sumber daya alam” dan jebakan kemiskinan jika terlalu bergantung pada ekspor komoditas.
Iklan
Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam laporan yang dipublikasikan Rabu (07/07) mewanti-wanti negara berkembang, agar tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas, jika tidak ingin "terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan.”
Menurut UNCTAD, perekonomian "berbasis komoditas” biasanya meraih 60 persen pendapatan ekspor dari penjualan komoditas kopi, minyak dan gas atau mineral logam. Namun di negara berkembang, sektor-sektor ini ditandai oleh "produktivitas buruh, tingkat teknologi dan pertumbuhan yang rendah.”
UNCTAD memprediksi "hanya tujuh persen” kemungkinan negara berkembang meniru Malaysia atau Costa Rica yang dianggap berhasil mematahkan "kutukan sumber daya alam”, dan mengembangkan sektor manufaktur serta industri padat karya lain.
Negara "yang lebih bergantung pada ekspor produk pertanian biasanya memiliki level teknologi yang rendah, disusul dengan negara yang mengandalkan ekspor hasil pertambangan, lalu negara yang bergantung pada ekspor minyak dan gas,” tulis UNCTAD.
Sebab itu, meningkatkan produktivitas dan penguasaan teknologi adalah sebuah keharusan, jika perekonomian berbasis komoditas ingin "membebaskan diri dari jebakan yang membuat warga mereka tetap hidup di bawah garis kemiskinan,” menurut lembaga PBB itu.
Perekonomian pascapandemi tetap sulit
Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini mengatakan negara berkembang berpotensi kesulitan memulihkan roda perekonomian pascapandemi, bahkan ketika perekonomian global rata-rata tumbuh 5 hingga 6 persen tahun ini.
Iklan
Hal ini bisa disimak pada sektor pariwisata yang diprediksi akan sulit pulih di sepanjang tahun ini. Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), Senin (05/07) menyatakan hampir 30% perbatasan di seluruh dunia "ditutup sepenuhnya” hingga bulan Juni lalu. Kebanyakan negara itu berada di kawasan Asia Pasifik.
Adapun Program Pangan PBB (WFP) bulan lalu melaporkan kenaikan harga pangan kian menghimpit penduduk di negara-negara miskin. Hal serupa bisa diamati pada krisis ekonomi 2008, ketika lonjakan harga pangan memicu demonstrasi di banyak negara berkembang.
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperingatkan gelombang protes berpotensi kembali melanda negara berkembang, terutama setelah pembatasan terkait pandemi sudah dilonggarkan.
"Angka demonstrasi akan berlipat ganda di seluruh dunia dalam satu dekade pasca krisis ekonomi 2008-09,” tulis organisasi yang bermarkas di Paris, Prancis. "Bertahan hidup akan menjadi kekhawatiran banyak orang,” pascapandemi nanti.
rzn/as (dpa,afp)
7 Pengusaha Yang Raup Untung Selama Pandemi Corona
Banyak industri yang terpukul oleh krisis virus corona. Tetapi ada juga bisnis yang mengeruk keuntungan besar di masa pandemi.
Foto: Pawan Sharma/AFP/Getty Images
Jeff Bezos, Amazon
Pendiri Amazon Jeff Bezos tentu bermain di kelas tersendiri. Perusahaan e-commerce miliknya dengan cepat melejit selama pandemi Covid-19. Nilai saham Amazon terus menerus mencatat rekor baru, membuat Jeff Bezos menjadi orang terkaya, yang makin kaya lagi selama krisis virus corona, dengan nilai kekayaan USD 193 miliar menurut majalah Forbes.
Foto: Dennis Van TIne/Star Max//AP Images/picture alliance
Elon Musk, Tesla
Perusahaan Tesla milik Elon Musk memang membuat mobil, tetapi di bursa harga sahamnya melejit seperti roket meluncur ke antariksa. Tesla termasuk perusahaan yang mengeruk keuntungan dari antusiasme selama pandemi. Beberapa waktu lalu, Elon Musk menyalip Bill Gates (Microsoft) dalam daftar orang terkaya dunia dan kini menempati peringkat kedua, dengan kekayaan sekitar USD 132 miliar.
Foto: Getty Images/M. Hitij
Eric Yuan, Zoom
Meningkatnya jumlah orang yang bekerja dari rumah di masa pandemi, menjadi keuntungan besar bagi Eric Yuan. Pendiri Zoom ini pindah dari Cina ke AS ketika dia berusia 27 tahun. Dia meluncurkan platform komunikasi videonya Zoom di pasar bursa pada 2019. Sejak pecahnya krisis virus corona, nilai sahamnya ibarat meledak. Eric Yuan diperkirakan memiliki kekayaan sekitar USD 19 miliar.
Foto: Kena Betancur/Getty Images
John Foley, Peloton
Tahun 2013, John Foley masih berkeliling kesana-kemari mempromosikan peralatan fitnesnya. Di saat pandemi, ketika banyak orang harus tinggal di rumah dan banyak tempat olahraga ditutup, makin banyak orang yang membeli peralatan olahraga rumah dari Peloton. Saham perusahaan ini melonjak tiga kali lipat selama pandemi, dan membuat John Foley yang berusia hampir 50 tahun menjadi miliarder.
Foto: Mark Lennihan/AP Photo/picture alliance
Tobias Lütke, Shopify
Shopify memungkinkan pedagang membuat toko online mereka sendiri - dikembangkan oleh Tobias Lütke. Lahir di Koblenz, Jerman, dia beremigrasi ke Kanada 2002 dan mengembangkan bisnisnya dari garasi. Saat ini, Shopify adalah perusahaan paling berharga di Kanada. Majalah Forbes menaksir kekayaan Tobias Lütke yang berusia 39 tahun sekitar USD 9 miliar.
Foto: Wikipedia/Union Eleven
Ugur Sahin, BioNTech
Awal Januari, Ugur Sahin mulai mengembangkan vaksid Covid-19, dengan perusahaan yang dia dirikan bersama istrinya, Özlem Türeci: BioNTech. Insting bisnis suami-istri keturunan Turki ini ternyata membuahkan hasil. Nilai saham yang mereka miliki di BioNTech, yang bekerjasama dengan raksasa farmasi AS Pfizewr, diperkirakan mencapai USD 2,4 miliar.
Foto: BIONTECH/AFP
Dominik Richter, HelloFresh
Perusahaan layanan makanan HelloFresh langsung berkembang pesat di masa pandemi Covid-19. Keuntungannya naik lebih dari tiga kali lipat, menurut laporan terbaru yang dirilis awal November. Salah satu pendirinya, Dominik Richter, berhasil memanfaatkan situasi, di mana banyak restoran harus ditutup. Dia memang belum berada di liga para milarder, tetapi sedang menuju ke sana. (hp/as)