Lembaga PBB urusan pengungsi, UNHCR mengatakan jumlah pengungsi akhir 2018 mencapai 70,8 juta orang. Iklim bagi pengungsi makin tidak bersahabat, namun politik terbuka Jerman mendapat pujian.
Iklan
Lebih dari 2 juta orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka tahun lalu, menaikkan angka pengungsi di seluruh dunia mencatat rekor baru 70,8 juta orang, kata badan pengungsi PBB UNHCR dalam laporan terbaru yang dirilis Rabu (19/06).
Angka tersebut termasuk pengungsi, pencari suaka, dan para pengungsi internal pada akhir 2018. Ketika memperkenalkan laporan terbaru"Global Trends", Direktur UNHCR Filippo Grandi mengatakan fenomena pengungsi sedang berkembang "ke arah yang salah."
"Memang benar ada konflik baru, situasi baru yang menghasilkan pengungsi ..., (tapi ada juga) yang lama, yang tidak pernah terselesaikan," katanya. "Kapan konflik terakhir yang kamu ingat bisa diselesaikan?"
Pengungsi Terpaksa Hidup di Hutan dalam Cuaca Dingin
Ratusan pengungsi berkemah di kawasan perbatasan Serbia-Korasia, dalam upaya memasuki Uni Eropa. Kondisi mengenaskan berusaha mereka atasi dengan berbagai cara. Reporter DW melaporkan dari Šid, Serbia.
Foto: Dimitris Tosidis
Tidak termasuk gerombolan
Dragan (tengah) adalah imigran dari Macedonia. Ia bersembunyi di hutan-hutan dekat perbatasan Serbia-Kroasia, ketika ia berusaha menyeberang ke Eropa Tengah dengan imigran dari negara Arab lainnya. Dragan, bersama seorang imigran dari Cina tidak termasuk ratusan pengungsi Suriah dan Afghanistan yang juga terdampar di Šid, Serbia.
Foto: Dimitris Tosidis
Merencanakan langkah berikutnya
Pengungsi dari Afghanistan di atas atap sebuah pabrik yang tidak digunakan lagi di Šid, yang mereka jadikan tempat tinggal sementara. Selama bernaung di situ mereka membuat rencana berikutnya untuk mencapai negara Eropa barat.
Foto: Dimitris Tosidis
Melangkah dengan risiko nyawa
Imigran berjalan di atas jalur kereta api yang menghubungkan Serbia dan Kroasia di dekat Šid, di bagian utara Serbia. Menurut laporan, dua orang ditabrak kereta setelah mereka tertidur di rel kereta api.
Foto: Dimitris Tosidis
Tinggal di "rimba"
Lebih dari 150 orang bersembunyi di apa yang disebut "rimba". Yaitu daerah dengan semak rimbun di dekat rel kereta api yang menghubungkan Serbia dan Kroasia. Sebagian besar dari mereka sudah pernah berusaha menyeberang ke Eropa Barat dengan berbagai cara. Misalnya: dengan bantuan penyelundup, sendirian, berkelompok, naik truk atau bersembunyi di gerbong kereta.
Foto: Dimitris Tosidis
Membersihkan diri
Ibrahim dari Afghanistan mandi dengan air dari sungai yang dingin, di bawah jembatan dekat kota Šid di Serbia. Ratusan pengungsi hidup dalam kondisi mengenaskan, tanpa fasilitas yang hidup yang layak.
Foto: Dimitris Tosidis
Sarapan di atas rel
"Dapur Tanpa Nama" dibuka oleh sekelompok sukarelawan yang membagikan sarapan dan menyediakan bantuan untuk pengungsi yang "terdampar" di perbatasan Serbia-Kroasia. Pemerintah sudah tidak membantu mereka lagi.
Foto: Dimitris Tosidis
Mungkin lain kali
Jadali (22) dari Afghanistan baru kembali lagi ke Šid setelah gagal dalam usahanya masuk ke Eropa Barat. Ia dipenjara dua hari di Kroasia, kemudian dibebaskan lagi. Menurutnya, aparat berwenang memperlakukannya dengan kasar.
Foto: Dimitris Tosidis
Bersyukur jika bisa makan
Menjelang malam, dua orang memasak makanan untuk mereka yang berkumpul di bekas pabrik dekat perbatasan Serbia. Ratusan pengungsi terancam kelaparan juga kekerasan yang bisa timbul kapan saja.
Foto: Dimitris Tosidis
Jalur tetesan air mata
Seorang imigran berjalan mendekati kereta barang. Ia akan berusaha bersembunyi di gerbong yang kosong dan berusaha mencapai negara Eropa lainnya.
Foto: Dimitris Tosidis
Perhentian berikutnya di Eropa Barat?
Mereka yang bisa membayar, menggunakan metode "penyelundupan" dengan membayar taksi yang membawa mereka menyeberangi Kroasia. Ongkos sekali perjalanan sekitar 1, 200 Euro, atau 19 juta Rupiah. Penulis: Dimitris Tosidis (ml/yf)
Foto: Dimitris Tosidis
10 foto1 | 10
Lebih dari seperlima pencari suaka global datang dari Venezuela. Banyak orang melarikan diri dari krisis politik dan ekonomi yang terjadi di negara itu. UNHCR mencatat sekitar 340.000 pencari suaka dari negara-negara di Amerika Selatan, dan mengatakan jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar, karena krisis Venezuela tidak dilaporkan. PBB yakin sekitar 4 juta orang sudah meninggalkan Venezuela sejak awal 2016.
Pesan untuk Trump
Filippo Grandi memuji AS karena menjadi "pendukung terbesar pengungsi" dan donor tunggal terbesar bagi UNHCR. Pada saat yang sama, ia mengecam kebijakan dan retorika politik yang memusuhi pengungsi.
"Di Amerika, seperti juga di Eropa dan di bagian lain dunia, apa yang kita saksikan sekarang adalah penggambaran pengungsi - tidak hanya pengungsi, migran juga – sebagai orang-orang yang merebut pekerjaan yang mengancam keamanan kita, nilai-nilai kita,"kata Filippo Grandi. "Dan saya ingin mengatakan kepada pemerintah AS - kepada presiden - juga kepada para pemimpin dunia lainnya: Ini buruk."
Dia mengkritik prosedur berbelit-belit di AS, sehingga saat ini ada sekitar 719.000 klaim suaka yang masih menunggu untuk diselesaikan.
Pujian untuk Jerman
Sebagai catatan positif, Filippo Grandi memuji kebijakan Jerman menerima migran dan berupaya untuk "menghilangkan mitos" bahwa migrasi dan pengunsi tidak bisa dikelola, "bahkan ketika jumlahnya sangat besar."
"Saya biasanya tidak suka memuji dan lebih banyak mengkritik, tetapi dalam hal ini , saya ingin memuji Jerman untuk apa yang telah dilakukan," kata Filippo Grandi di Jenewa.
Gelombang Migrasi Global
Ada 68 juta manusia yang terpaksa menjadi pengungsi. Mereka tersebar di lima benua dunia. Inilah kisah mereka dalam gambar.
Foto: Imago/ZUMA Press/G. So
Mengungsi dengan truk
Gerakan migrasi paling baru terjadi di Amerika Tengah. Kekerasan dan kelaparan menyebabkan orang-orang dari Honduras, Nikaragua, El Salvador dan Guatemala mengungsi. Tujuannya: Amerika Serikat. Namun di sana, Presiden Trump mengusir para migran tersebut. Sebagian besar pengungsi dari Amerika Tengah itu terdampar di perbatasan Meksiko-Amerika Serikat.
Foto: Reuters/C. Garcia Rawlins
Pengungsi yang dialihkan
Pemerintah konservatif Australia tidak mau menerima pengungsi. Mereka yang benar-benar berhasil mencapai Australia akan langsung dideportasi. Pemerintah Australia telah menandatangani perjanjian dengan beberapa negara Pasifik, termasuk Papua Nugini dan Nauru, untuk menempatkan para pengungsi di kamp di negara-negara tersebut. Pengamat menggambarkan situasi ini sebagai sesuatu yang sangat buruk.
Foto: picture alliance/AP Photo/Hass Hassaballa
Pengungsi yang terlupakan
Hussein Abo Shanan berusia 80 tahun. Dia hidup sebagai pengungsi Palestina di Yordania selama beberapa dekade. Kerajaan ini memiliki hampir sepuluh juta penduduk. Di antara mereka adalah 2,3 juta pengungsi terdaftar dari Palestina. Sebagian dari mereka hidup sejak tahun 1948 di negara itu - setelah berakhirnya perang Arab-Israel. Selain itu, Yordania menampung sekitar 500 ribu pengungsi Suriah.
Foto: Getty Images/AFP/A. Abdo
Diterima oleh tetangga
Kolombia adalah kesempatan terakhir bagi banyak pengungsi dari Venezuela. Di sini mereka tinggal di kamp-kamp seperti "El Camino" di luar ibukota Bogota. Kebijakan Presiden Nicolás Maduro menyebabkan pemerintah Venezuela tidak mampu mendukung warganya. Persediaan makanan dan obat-obatan menipis.
Foto: DW/F. Abondano
Menerjang dingin
Dari waktu ke waktu, mereka yang ingin mengungsi ke Eropa, seperti para lelaki di gambar, mencoba menyeberangi perbatasan Bosnia-Herzegovina ke Kroasia. Kroasia sebagai anggota Uni Eropa adalah tujuan para migran. Rute ini berbahaya, terutama di musim dingin di Balkan. Salju, es dan badai menyulitkan pendakian.
Foto: picture-alliance/A. Emric
Perhentian terakhir: Bangladesh?
Musim hujan di kamp pengungsi Kutupalong di Bangladesh. Para wanita Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar melindungi diri dari hujan dengan payung mereka. Lebih dari satu juta Muslim Rohingya melarikan diri dari pasukan Myanmar ke negara tetangga. Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia, kewalahan dengan situasi ini. Kutupalong saat ini adalah kamp pengungsi terbesar di dunia.
Foto: Jibon Ahmed
Hidup tanpa jalan keluar
Banyak mineral dan tanah yang subur: Republik Afrika Tengah sebenarnya memiliki segalanya untuk membangun masyarakat yang stabil. Namun perang saudara, konflik dengan negara-negara tetangga, pemerintah yang korup dan pemahaman Islam radikal memicu kekerasan di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan banyak orang, seperti tampak pada foto, tinggal di lokasi penampungan di kota Bangui.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Blackwell
Tiba di Spanyol
Dibungkus selimut merah, para pengungsi dirawat oleh petugas Palang Merah setelah tiba di pelabuhan Malaga, Spanyol. 246 migran diselamatkan oleh kapal penyelamat "Guadamar Polimnia". Banyak orang Afrika mengambil rute Mediterania barat dari Aljazair atau Maroko untuk mencapai pantai Eropa.
Foto: picture-alliance/ZUMA Wire/J. Merida
Pengungsi Sudan di Uganda
Untuk waktu yang lama, Uganda adalah negara yang dilanda perang saudara. Namun, situasinya kini telah lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara Afrika lainnya. Bagi para pengungsi dari Sudan Selatan ini, kedatangan mereka di Kuluba mereka berada dalam situasi yang aman. Ratusan ribu orang Sudan Selatan kini menemukan perlindungan di Uganda. (Ed: na/ap)
Foto: Imago/ZUMA Press/G. So
9 foto1 | 9
Dia mengatakan, Kanselir Jerman Angela Merkel memang telah membayar "harga mahal" secara politis ketika menerapkan kebijakan migrasi terbuka, dan ini membuat tindakan itu "bahkan lebih berani" lagi.
Jon Cerezo dari organisasi bantuan Inggris, Oxfam, memperingatkan bahwa di tahun mendatang, angka pengungsi kemungkinan akan meningkat lagi. "Di belakang angka-angka ini, adalah orang-orang seperti Anda dan saya, yang melakukan perjalanan berbahaya yang tidak pernah mereka inginkan, karena ada ancaman terhadap keselamatan mereka dan sebagian besar hak-hak dasar mereka."
Laporan situasi pengungsi INHCR yanfg terbaru juga mencatat bahwa negara-negara berkembang, bukan negara-negara industri kaya, menjadi penerima jumlah pengungsi terbesar.
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.